PERUSAHAAN Inti Rakyat yang sudah populer di bidang perkebunan
kini menular ke bidang lain: perhotelan. Gubernur Sumatera
Utara, E.W.P. Tambunan meletakkan batu pertama pembangunan hotel
di Desa Ajibata, Kecamatan Lumbanjulu, Tapanuli Utara, 20 Mei
lalu. Upacara serupa juga dilaksanakan di Desa Pandan, Kecamatan
Sibolga, Tapanuli Tengah, 3 Juni. "Saya ingin menerapkan
kesempatan kerja dengan model perusahaan inti ini," kata
Tambunan yang 13 Juni nanti menyerahkan jabatannya kepada
Kaharuddin Nasution.
Model perusahaan inti rakyat (PIR) itu sudah dijadikan proyek
nasional di Departemen Pertanian. Tetapi model ini baru pertama
kali diterapkan di bidang perhotelan, dengan pembangunan 180
bungalow di Ajibata, tepi Danau Toba. Sebagai intinya, 45
bungalow dikelola oleh perusahaan Worta Holidays Ltd Medan.
Dibangun pula 135 bungalow, masing-masing "dimiiiki" seorang
penduduk setempat, mengelilingi bungalow inti. Bungalow yang
terdiri 2 kamar dengan perlengkapan hotel mewah itu
masing-masing menghabiskan biaya Rp 15 juta. Bank Pembangunan
Daerah Sumatera Utara mengeluarkan kredit pinjaman Rp 1,9 milyar
untuk areal yang mengelilingi bungalow inti, disebut sebagai
areal plasma. "Bagian intinya ditanggung sendiri oleh Worta
Holidays," kata Joe Aulia Yap, 40 tahun, direktur Worta
Holidays, biro perjalanan yang sudah berpengalaman 10 tahun.
PIR Hotel pertama di Indonesia ini direncanakan selesai dalam 2
tahun. Lokasinya persis di atas tanah yang pernah bikin heboh --
ketika Bupati M.S.M. Sinaga tahun 1977 membebaskan tanah itu.
Areal itu kini dikuasai pemerintah, tetapi bekas pemilik tanah
mendapat prioritas sebagai peserta plasma.
Menurut Joe Aulia Yap, setiap peserta plasma wajib menyerahkan
modal 20 persen dari harga bungalow atau Rp 3 juta kepada Worta.
Sisanya itulah yang merupakan pinjaman dari BPD Sum-Ut dan harus
dicicil dalam masa 7 tahun. Pengelolaan bungalow itu nanti akan
diserahkan kepada Worta Holidays dengan sistem kontrak. "Kontrak
berlangsung sampai cicilan ke bank lunas," kata Yap.
Yap optimistis, 180 bungalow yang akan dikelolanya itu akan
dipenuhi turis. Ia mengambil contoh, dari 600.000 turis asing ke
Indonesia, 10 persen menuju Sumatera Utara. "Setelah bebas visa,
angka itu semakin tinggi tentunya. Hotel di Parapat tak akan
mampu menampung tamu," kata Yap.
Disamping itu, peserta plasma dipekerjakan sebagai karyawan di
bungalownya sendiri. Ini dimaksudkan Yap sebagai salah satu cara
mendidik penduduk setempat, bagaimana mengelola hotel. "Setelah
kontrak selesai, penduduk punya pengalaman. Terserah kemudian
mau dikelola sendiri, membentuk koperasi, dikontrakkan lagi,
silakan," katanya.
Ajibata dan Parapat memang berdekatan, tetapi lain kabupaten.
Keduanya bersaingan dalam menjerat turis yang ingin melihat
keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir. Kebijaksanaan Pemda
Tapanuli Utara yang mengharuskan semua kapal dari Pulau Samosir
merapat di dermaga Ajibata, merupakan penunjang hotel yang baru
dibangun itu.
Walau begitu, penduduk Ajibata yang sehari-hari berkebun dan
berburuh di perkebunan sawit, masih bertanya-tanya soal hotel
itu. Apalagi bagi 69 penduduk yang mendapat prioritas yaitu
bekas pemilik tanah yang dijadikan areal hotel itu. Yang
menyambut gembira, baru M. Sirait, bekas pemilik 1 hektar
tanah. "Saya akan pergunakan kesempatan ini," katanya. "Modal
yang Rp 3 juta akan saya pinjam dari famili."
Penduduk yang lain masih menunggu. Uang Rp 3 juta yang harus
disetor begitu mendaftarkan diri sebagai peserta plasma, bukan
persoalan yang gampang. Karena itu, sampai saat ini, belum ada
nama yang ditetapkan secara pasti sebagai peserta plasma.
Sementara "perkebunan bungalow" itu sudah mulai dibangun, dan
BPD Sum-Ut sudah siap mengeluarkan dana Rp 1,9 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini