Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

25 tahun setelah hatta

Menurut kwik kian gie, koperasi dalam prakteknya menjadi organisasi raksasa, multinasional, konglomerat-baik dalam perilaku, kepemilikan maupun pembagian laba. anggotanya tidak merasa memiliki, absenteisme.(eb)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah kota, ada 25 pengusaha yang masing-masing menyetor uang Rp 100 juta. Lalu, dengan modal Rp 2,5 milyar ini, mereka mendirikan pabrik pengolahan, untuk membuat susu segar menjadi susu bubuk dan susu siap minum. Mereka juga membeli armada angkutan untuk mengumpulkan susu dari peternak di sekitar pabriknya. Warna organisasi ini -- mengingat beberapa persyaratan telah terpenuhi -- tak syak lagi sebuah koperasi. Tapi apakah demikian ? Begitu pertanyaan Kwik Kian Gie, Ketua Dewan Direktur dan Lektor Institut Manajemen Prasetiya Mulya, dalam makalahnya yang dibacakan pada wisuda dan dies natalis MBA IMPM, Selasa pekan silam. Lalu Kwik membandingkan organisasi itu dengan sekelompok peternak sapi perah di pedesaan yang bekerja sendiri-sendiri tanpa oranisasi. Maka, ditinjau dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1967, 25 orang di kota tadi memenuhi persyaratan koperasi. Baik karena jumlah orangnya, lebih dari 20 orang, maupun porsi pemilikan saham yang sama. "Tapi apakah ditinjau dari sudut jiwanya, usaha skala besar ini sebuah koperasi?" tanya Kwik. Kemudian dijawabnya sendiri: "tidak". Karena usaha bersama ini dari pemodal besar -- bukan penggabungan kekuatan lapisan bawah, para peternak sapi perah. Bahkan kelak, jika saatnya tiba, kelompok petani di desa bisa mengambil alih usaha bermodal besar itu, perkembangannya akan sama: mereka akan tidak rela membagi bisnisnya dengan koperasi yang ada di wilayahnya dan tidak lagi berasas pemilikan bersama. "Faktor keserakahan akan masuk dalam manajemen koperasi. Manajemen ini sudah profesional, rasional, dan sangat efisien, seperti yang kita harapkan semua supaya koperasi menjadi besar, kaya, dan kuat menggaji para manajer yang profesional, rasional, dan efisien," kata Kwik lebih lanjut. Di sinilah soalnya. Dalam pasal 33 UUD 45 ditegaskan bahwa hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan perorangan. "Tidak jelas apakah bentuk organisasi dari pemilikan oleh orang seorang itu haruslah koperasi atau tidak," katanya. Sebab, secara realistis tidak mungkin. Walau pemerintah bisa mengubah pembagian kekuasaan, pada akhirnya hukum ekonomilah yang berlaku. "Tapi hukum dalam artian hukum peri laku bisnis yang ternyata semakin lama semakin membuahkan struktur perekonomian kita yang sangat berbeda dengan yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 45, oleh Bung Hatta, dan oleh undang-undang perkoperasian," kata Kwik pada Antosiasmo dari TEMPO. Baik besarnya, manajemennya, maupun peri lakunya sudah tidak ada bedanya dengan perusahaan raksasa lainnya. Apa bedanya, misalnya, dengan sebuah perusahaan yang mulanya milik keluarga. Lalu, ketika perusahaan mampu berkembang, sahamnya go public hingga 100 ribu orang di luar keluarga -- yang mungkin terdiri dari ibu rumah tangga dan sopir taksi -- memiliki 94% sahamnya. Mirip dengan Philips dan perusahaan-perusahaan raksasa publik lainnya, yang berkembang sangat kapitalistis dengan memanfaatkan segala instrumen kapitalis, seperti bank dan pasar modal. Kenyataannya di dalam masyarakat, meskipun masih bersandar pada undang-undang tentang perkoperasian, dalam prakteknya menjadi organisasi raksasa, multinasional, konglomerat -- baik dalam peri laku, kepemilikan, maupun pembagian labanya. Keduanya, menurut Kwik, akhirnya sama: bisa serakah. Karena demikian besar, anggotanya tidak lagi merasa memiliki, absenteisme, dan bahkan tidak mendapat dividen. Contohnya, perusahaan asuransi Bumi Putera 1912. "Saya anggota tapi tidak mendapatkan dividen. Dia sudah menjadi kapitalis meski bentuknya koperasi," kata Kwik. Dua puluh lima tahun telah lewat ketika Bung Hatta mencanangkan koperasi sebagai satu-satunya bentuk badan usaha dari perekonomian jangka panjang. Kini, untuk bisa melakukan ekspor nonmigas, kita dipaksa mengubah politik perekonomian untuk bersaing di pasaran dunia dengan produk-produk yang dihasilkan dengan unit-unit produksi berskala besar. Artinya, koperasi bukan satu-satunya jawaban. "Hukum-hukum ekonomi ini yang akan membuat kita sengsara apabila kita secara dogmatis berpegang teguh pada koperasi sebagai satu-satunya bentuk badan usaha," ujar Kwik dalam makalahnya. Nah, soalnya, seberapa jauh para pemilik unit produksi ini bisa dikontrol. "Di sinilah pemerintah dengan segala kekuasaan perundang-undangan harus berperan besar. Ketidakadilan harus dikoreksi pemerintah," katanya. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus