Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengincar dahaga

Situasi penjualan minuman ringan di indonesia belum jenuh. malahan semakin meningkat dengan masuknya beberapa minuman ringan luar negeri yang dikemas di indonesia, serta minuman tradisional indonesia.(eb)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM hujan sudah melanda. Tapi itu tidak merupkan halangan bagi Green Spot untuk mengucur kembali. Beberapa minggu berselang, minuman ringan dengan rasa jeruk itu mulai tampak lagi di peredaran, termasuk di gerobak dorong penjual buah di Jakarta. PT Perusahaan Limun Indonesia (PLI), ternyata, sudah mulai merakitnya di Tangerang, dua bulan terakhir. Menurut General Manager PLI Frits W. Triman, Green Spot International (AS) memberikan lisensi perakitan minuman itu kepadanya sejak pertengahan tahun silam, setelah PT Sinar National Bottling Industries (SNBI) melepaskan lisensi. Green Spot semula diproduksi SNBI di Pulogadung, Jakarta Timur, sejak 1970-an. Ternyata, tak menguntungkan bahkan modal SNBI turut larut. Kendati tahun 1984 mendapat suntikan modal lagi dari Metropolitan Group, minuman dalam botol itu hanya bisa terjual 1.600 krat per hari, jauh di bawah titik impas yang diperhitungkan, minimal, 5.000 krat. Akhirnya, uang Rp 1 milyar yang ditanamkan para pernegang saham di SNBI amblas, Green Spot berhenti beredar sejak Januari tahun silam. PLI, yang memproduksi minuman Seven Up dan F&N, ternyata maslh ingin melanjutkan pemasaran minuman AS itu di sini. Menurut Triman, situasi penjualan minuman ringan di Indonesia belum jenuh. Penjualan F&N, sampai Oktober tahun ini, masih mencatat kenaikan 5% dibandingkan periode yang sama tahun silam. Seven Up malah bisa mencapai kenaikan 10%. Sedangkan Coca-Cola, yang dirakit 10 pabrik pembotolan, menurut kalangan Coca-Cola Indonesia, tahun ini pasarnya naik 20%. SNBI dulu tidak bisa untung karena rantai pemasaran Green Spot terlalu panjang. Dengan sistem dulu itu, peluang agen dan penyalur mendapatkan komisi terlalu tipis. Apalagi botol-botol kosong harus dikembalikan, sehingga biaya pemasaran terlalu besar. Tapi kini Green Spot dijual PLI dalam dua kemasan. Separuh akan dijual dalam kemasan kotak -- agar mudah dipasarkan ke daerah-daerah -- separuh lagi dalam botol untuk pasar di kota-kota besar di wilayah Jawa Barat. Green Spot dalam kotak isi 250 ml itulah yang, nantinya, diharapkan memasyarakat. Untuk menghasilkan Green Spot tidak dibutuhkan investasi besar. PLI hanya membeli konsentrat Green Spot dari AS, kemudian memproses menjadi minuman dengan mesin-mesin yang selama ini memproduksi 7-Up dan F&N. Kemasan kotak (tetra) dibeli dari PT Sari Husada. Hanya untuk pengawetannya PLI perlu mesin baru. "Kami hanya menambah investasi sekitar Rp 300 juta," kata Triman. Dengan investasi yang tidak besar itu, tampaknya, Green Spot akan bisa dipasarkan lebih terarah. Target pemasarannya, menurut Triman, bila tercapai omset yang dulu saja, 40.000 krat per bulan, tidak akan rugi lagi. Coca-Cola, yang kini diproduksi sekitar satu juta krat per bulan, belum melihat ancaman minuman ringan seperti Green Spot itu. "Itu 'kan minuman tidak berkarbon," kata T. Moetaryanto dari Tirtaliana Group, pemilik tiga pabrik pembotolan Coca-Cola di Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Malah ia melihat bahwa Green Spot akan susah berkembang tanpa memiliki pabrik sendiri. Coca-Cola sendiri pernah mengalami di Singapura, ketika dibotolkan pada pabrik 7-Up. Untuk lebih memasyarakatkan Coca-Cola di Indonesia, PT Tirtaliana kini menyusun strategi baru. "Mulai tahun depan, kami akan berpromosi langsung ke tempat-tempat penjualan informal. Antara lain dengan memberikan cooler (peti simpanan dingin) kepada tukang tambal ban dan penjual rokok," kata Moetaryanto. Tampaknya, peluang di industri minuman ringan memang belum jenuh. Sejak tahun silam, satu lagi merk minuman ringan luar negeri telah masuk ke Indonesia, Schweppes. Minuman dari Inggris ini masuk dengan memberikan lisensi kepada PT Sinar Sosro, perusahaan nasional yang sukses mengemas sekadar air teh dalam botol dan kotak (tetrapak), dengan omset lebih dari 40.000 krat per bulan. Tapi minuman tradisional Indonesia, ternyata, bisa juga diproduksi tidak kalah dengan merk impor. Bekas Direktur Industri Tekstil Departemen Perindustrian, Soedibjo, membuktikannya. Insinyur lulusan North Caroline University, AS, 1953, ini, setelah pensiun 1979, mendirikan pabrik minuman serbat atau bandrek, gula asam, dan beras kencur di bawah PT Mustika Ratu. SEMULA, minuman itu dijual di salon salon kecantikan sebagai jamu hasil kerajinan rumah tangga Nyonya Moorjati Soedibjo, yang dikenal sebagai ahli kecantikan. Kini, minuman itu diolah dengan mesin-mesin -- sebagian bikinan Indonesia dan sebagian lagi diimpor dari Swedia dan Belanda. "Investasi kami Rp 1,5 milyar," kata Soedibjo. Kini, Mustika Ratu, dengan bantuan 100 karyawan, memproduksi setiap hari 48.000 kotak beras kencur, serbat, dan gula asam. Omsetnya sekitar satu juta kotak per bulan. Dengan harga Rp 300 per kotak, berarti, Mustika Ratu bisa mencatat hasil penjualan Rp 3,6 milyar per tahun. Wajar kalau Soedibjo optimistis bahwa modal usahanya bisa cepat kembali. "Paling dua atau tiga tahun," kata Soedibjo dengan bangga. M.W., Laporan Ahmed Soeriawidjaja & Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus