DALAM resesi orang kan tetap perlu obat. Maka, jumlah perusahaan farmasi di sini pun masih bertahan sebanyak 286 (di antaranya 40 perusahaan modal asing). Midian Sirait, yang menjabat Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan sejak 1978, mengatakan kepada TEMPO, pekan lalu, bahwa belum ada satu pun industri farmasi yang gulung tikar. Kesehatan pabrik-pabrik obat itu rupanya dinilai Masyarakat Kefarmasian Jerman Barat (Deutsche Pharmazeutische Gesellschaft - DPG), yang mempunyai delapan perusahaan di Indonesia, adalah berkat perawatan Dirjen POM Midian Sirait. Itulah sebabnya, awal Oktober lalu, DPG mengundang Sirait ke Braunschweig untuk menerima penghargaan. Di sana ia dikalungi medali Hermann Thoms, penghargaan yang diperkenalkan sejak 1961 untuk memperingati tokoh pendiri DPG, Hermann Friedrich Maria Thoms (1859-1931). Menurut Jap Tjiang Beng, Kepala Departemen Obat-Obatan PT Bayer Indonesia, penilaian terhadap Dirjen POM Midian Sirait telah dilakukan oleh tokoh-tokoh DPG sendiri, antara lain Ketua DPG H. Oelschlager, yang berkunjung ke Indonesia tahun silam. Midian dinilai telah berperan banyak dalam perkembangan peraturan, pengadaan, dan pengawasan obat sehingga pabrik-pabrik farmasi bisa bertahan di Indonesia. Pertumbuhan industri farmasi di Indonesia sebenarnya meningkat pesat jumlahnya di masa jabatan Dirjen POM dipegang Sunarto Prawirosujanto, yang digantikan Sirait, 1978. Di akhir masa jabatan Sunarto, izin pendirian sudah ditutup, demikian pula impor obat sudah dibatasi. Namun Sirait kemudian memperketat dengan menciutkan jumlah jenis obat hingga tinggal 7.200 jenis, untuk lebih memudahkan pengawasan. Namun, Sirait juga dikenal sebagai benteng perlindungan bagi pabrik-pabrik obat. Serangan atas pemakaian bahan baku membahayakan yang dilancarkan Yayasan Lembaga Konsumen, misalnya kliokinol, tak mempan menggerakkan Dirjen POM untuk mencoret daftar obat berbahan baku yang memang cukup laris di Indonesia itu. Sebaliknya, bila kalangan pengusaha farmasi mengeluhkan terjadi kenaikan biaya produksi, dengan cepat Dirjen POM meninjau kembali tarif IHO (Informasi Harga Obat). "Produk farmasi perlu penanganan khusus. Dia kadang diseret prinsip ekonomi, kadang oleh prinsip teknologi, tapi juga merupakan komoditi penting bagi pelayanan kesehatan," tutur Sirait, sepulangnya dari Jerman Barat. Kebijaksanaan yang dijalankannya membuat omset penjualan obat di Indonesia naik terus, rata-rata 10% per tahun. Menurut seorang bos farmasi nasional, hanya 30% omset pemasaran obat dikuasai 246 perusahaan modal dalam negeri, 70% dikuasai perusahaan asing. Delapan pabrik Jerman Barat - misalnya Bayer, Hoechst, Merck, Scherring, dan Naterman - menguasai 10%. Perusahaan asing itu terutama dinilai cekatan mengarahkan tangan dokter praktek untuk menuliskan resep obat mereka. Jap Tjiang Beng, 56, mengakui bahwa keuntungan perusahaan Bayer terutama dari obat-obat resep. Laba bersih PT Bayer Indonesia, yang dilaporkan Agustus lalu, pada periode semester pertama 1985 ini mencapai Rp 4,5 milyar, atau Rp 1,9 milyar lebih tinggi dari laba periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, Bayer aktif menanggulangi penyakit tropis, seperti penyakit malaria dan cacing darah, dan tidak mencari keuntungan di situ. Bayer, Agustus lalu, juga baru saja meresmikan pabrik bahan baku seperti Acetosal (bahan Aspirin) dan Piperazin (bahan obat cacing Upixon). Investasi yang ditanamkannya sebesar US$ 2,5 juta tentu menggembirakan pemerintah yang sedang giat merangsang para penanam modal. PT Naterman Indonesia, yang sejak 1975 berkonsentrasi pada produk obat vitamin, pada November 1983 membuka pabrik bahan baku berupa ekstrak kunyit dan temulawak. Hal itu meningkatkan tenaga kerja, menghemat devisa impor bahan baku, bahkan ikut mencari devisa, karena 90% produksi diekspor. Dengan demikian, mereka tidak lagi sekadar "menjual lisensi" di sini, tapi berani menjual keterampilan teknologi. Soalnya, perusahaan-perusahaan Jerman Barat, yang kini masih di atas angin dalam pemasaran obat, juga sudah merasakan perusahaan lain sudah pintar meniru gaya pemasaran mereka yang gencar dengan iklan, insentif, bahkan simposium yang mahal untuk meyakinkan para dokter. Terjunnya mereka ke industri hulu menempatkan posisi mereka lebih terkemuka. Sebenarnya, ada juga kritik dari mereka terhadap Dirjen POM. Jap Tjiang Beng, yang juga dikenal sebagai pendiriri Jurusan Farmasi FIPIA UI, mengatakan bahwa Bayer ingin berkembang antara lain dengan mengganti preparat obat yang dianggap sudah ketinggalan zaman. Untuk itu diperlukan pendaftaran baru ke Dirjen POM. "Lamban. POM masih harus menambah pegawai," tutur pejabat Bayer yang juga menjadi dosen Universitas Pancasila itu. Max Wangkar Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini