USAHA grup Mantrust mendirikan pabrik susu bubuk di Salatiga, akhirnya, mendapat dukungan pemerintah. Yaitu setelah grup itu bersedia menerima pola baru perusahaan inti rakyat (PIR) di bidang peternakan sapi perah. Inti di dalam pola tadi adalah PT Tirta Amerta Agung, patungan antara Mantrust dan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) dan Land "O" Lakes (Koperasi dari Amerika), sedang plasmanya adalah peternak peserta program. Menurut Menmud Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan J.H. Hutasoit, peserta program itu nantinya akan mendapat pinjaman sapi maksimal enam ekor, atau kurang dari jumlah itu jika mereka sudah memiliki sapi perah sendiri sebelumnya. Sejumlah 5.000 ekor sapi perah, yang berusia dua tahun dan sudah bunting tiga sampai lima bulan, akan didatangkan dari Amerika tahun depan. Melalui pola itu, kata Hutasoit, setelah menghadap Kepala Negara, pekan lalu, pendapatan peternak diharapkan bisa membaik. Dari hasil memelihara sapi kreditan itu, para peternak diperkirakan setiap hari akan bisa memperoleh penghasilan bersih Rp 6.000 lebih dari enam ekor sapi - sesudah dipotong cicilan kredit dan biaya membeli konsentrat atau hijau-hijauan. Jika peternak berinisiatif memberi sendiri hijauan-hijauan, seperti rumput gajah, maka penghasilannya diduga bisa lebih besar. Sapi perah berharga Rp 2 juta per ekor, yang disertakan dalam program itu, harus bisa menghasilkan 20 liter susu sehari. Dengan tingkat produksi susu (laktasi) sebesar itu, peternak diduga akan mampu melunasi pinjamannya dalam tempo tujuh tahun. Jika produksi susunya kurang dari jumlah seperti di jamin oleh sertifikat penjual, maka kekurangannya di tanggung Tirta Amerta. "Mungkin berupa pengurangan cicilan kredit," ujar sebuah sumber di Mantrust. "Juga kalau sapinya mati." Tapi pekerjaan Tegoeh Soetantyo, bos Mantrust, merintis jalan mendirikan susu bubuk itu belum selesai. Ia, misalnya, masih harus berunding untuk menetapkan harga beli susu segar eks peternak yang kelak akan berpengaruh besar dalam membentuk harga jual susu bubuk yang dihasilkannya nanti. Rencananya, susu bubuk dari situ, secara berangsur akan diserap industri pengolahan susu (IPS) untuk mengurangi pemakaian susu bubuk impor. Persoalan menetapkan harga jual susu bubuk eks Tirta Amerta tampaknya akan berjalan alot, karena susu segar yang dibeli dari peternak harganya sudah pasti jauh di atas harga impor yang Rp 146 lebih per kg. Yang dikhawatirkan banyak kalangan, jika IPS sudah menyerap susu eks Tirta Amerta, maka harga produk-produk susu yang dihasilkan akan mahal. Sekarang mereka masih bisa menekan harga, karena untuk setiap liter susu segar yang dibeli dari peternak, mereka boleh memasukkan susu bubuk yang setara dengan dua liter. Menurut Darusman, Direktur PT Food Specialities Indonesia (Nestle), menguntungkan atau tidaknya pemakaian susu bubuk lokal itu akan banyak ditentukan kualitas bahan baku itu. Dan yang penting, tidak akan menyebabkan harga produk akhir dari IPS ini naik karenanya. FSI, yang tiap hari menyedot susu peternak 173 ton, diperbolehkan memasukkan susu bubuk sekitar 346 ton. Jika rencana perluasan pabriknya di Pasuruan, yang akan menelan US$ 50 juta selesai dilakukan, penyerapan susu segarnya diduga akan mencapai 400 ton sehari, dan kebutuhan susu bubuknya tentu naik pula. Pasar untuk susu bubuk Tirta Amerta memang cukup besar. Selain FSI, calon konsumen lain adalah Friesche Vlag Indonesia (termasuk grup Mantrust), Ultra/Dafa, Sari Husada, Indomilk, dan Mirota. Belum lagi pabrik biskuit dan roti. Karena itu, tak heran banyak calon penanam modal berusaha masuk ke industri hulu itu. Rupanya, Mantrust bernasib baik, dan dianggap siap dengan konsepnya, hingga bisa menyingkirkan sejumlah lawan kuatnya. Sejak Juli lalu, Tirta Amerta (yang dibangun dengan investasi US$ 7 juta) sudah mulai melakukan produksi percobaan. Ternak sapi dari sekitar pabrik, sekarang, baru bisa menyuplai 40 ribu liter susu, padahal kapasitas terpasang industri itu adalah untuk mengolah 120 ribu liter susu sehari. Dari jumlah susu sebesar itu, bisa dihasilkan susu bubuk sekitar 5.000 kg, dan untuk sementara baru dipakai Friesche Vlag. Tingkat laktasi sapi Jawa Tengah, yang di bulan Juni berjumlah 8.600 ekor, memang rendah: 42 ribu liter sehari. Kebanyakan peternak, karena harga jual susunya rendah, memang hanya sekali memerah. Tingkat laktasi, yang rata-rata hanya sekitar empat liter per ekor itu, akan dinaikkan dengan memasukkan sapi unggul dan memberikan harga beli cukup menarik. Kepada TEMPO, Tegoeh Soetantyo pernah mengatakan sedang berusaha mencari sumber dana untuk membantu peternak melunasi pinjamannya, supaya pendapatan mereka tetap terjaga jika sewaktu-waktu ternak mereka kena musibah. Agar pendapatan peternak baik, ia menyarankan supaya pengaturan suplai susu oleh KUD dari peternak ke Tirta Amerta tidak menambah biaya terlalu banyak. Mekanisme program PIR sapi perah ini memang cukup ruwet. Selain harus berhubungan dengan banyak instansi pemerintah, Mantrust juga harus pula berurusan dengan peternak, yang mengandung risiko cukup besar. "Bagi saya pribadi memang lebih menyenangkan jika hanya mengurus Friesche Vlag," katanya. "Maunya, sih, cari uang dengan sedikit risiko."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini