Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siaran pers dari Fitch Ratings pada akhir bulan lalu membuka kabar miring di pasar terhadap kinerja PT Bank Mega Tbk. Lembaga pemeringkat utang asal Amerika Serikat itu mengumumkan tidak lagi memberi peringkat atau cakupan analisis terhadap Bank Mega. Alasannya, pihak bank tidak memberikan cukup informasi kepada Fitch dan memutuskan tidak lagi berpartisipasi dalam proses pemeringkatan.
Lembaga pemeringkat memang bekerja sesuai dengan order dari kliennya. Jadi hak Bank Mega untuk tidak lagi memakai jasa Fitch. Namun pelaku pasar paham hal ini bukan langkah biasa. Informasi soal peringkat dan hasil analisis kinerja perusahaan sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar modal dan keuangan. Fitch terakhir memberi peringkat A dengan prospek stabil untuk bank tersebut.
Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib punya alasan sendiri. Ketika ditemui seusai rapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu, ia memastikan tidak ada masalah dengan kinerja perusahaan. Bank milik konglomerat Chairul Tanjung itu tidak lagi memakai jasa Fitch karena sudah melunasi obligasi senilai Rp 1 triliun.
"Karena kami lagi tidak butuh rating, jadi proses kami hentikan," kata Kostaman. Obligasi yang terbit pada 2007 itu lunas pada akhir Januari lalu. Kabar miring soal adanya penyaluran kredit bermasalah, menurut dia, tidak ada hubungannya dengan penghentian jasa Fitch. "Yang menghentikan kan kami," ujarnya. "Kami tidak berencana menerbitkan obligasi lagi dalam waktu dekat."
Tingkat kredit macet Bank Mega saat ini memang masih di bawah ambang batas toleransi Bank Indonesia, yaitu lima persen. Fokus penyaluran kreditnya lebih banyak untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dalam laporan keuangan tahunan 2012, selama beberapa tahun terakhir bank ini menerapkan pertumbuhan nol persen untuk kredit korporasi. Sedangkan postur untuk UMKM mereka perbesar.
Tahun ini target pertumbuhan portofolio kredit UMKM naik sebesar Rp 8 triliun menjadi Rp 13,8 triliun. Target tersebut cukup agresif jika mengacu pada pertumbuhan portofolio kredit UMKM Bank Mega pada 2012 yang hanya naik Rp 100 miliar dibanding pada 2011 menjadi Rp 5,8 triliun.
Obligasi memang telah lunas terbayar. Tapi biasanya perusahaan, apalagi bank, tetap membutuhkan jasa lembaga pemeringkat untuk menunjukkan kesehatan keuangannya. Kepala riset PT Trust Securities, Reza Priyambada, menilai alasan yang dikeluarkan Bank Mega belum jelas.
Selama ini, ia mengatakan, masalah yang paling mencuat adalah hilangnya uang milik PT Elnusa Tbk senilai Rp 111 miliar dan uang Pemerintah Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, sebesar Rp 80 miliar dari Bank Mega. Bank Indonesia telah memegang escrow account Bank Mega senilai Rp 191 miliar. Dana tersebut bakal dicairkan jika Mahkamah Agung memutus Bank Mega bersalah dalam perkara perdata raibnya dana PT Elnusa dan Pemerintah Kabupaten Batubara.
"Tidak di-rating boleh saja, tapi publik harus tahu apa langkah perusahaan berikutnya," ucap Reza. "Apakah mereka mau konsolidasi internal, pembenahan anak usaha, atau aksi lain." Menurut Reza, kinerja Bank Mega selama ini tidak bermasalah. Laba bersihnya tahun lalu naik 28 persen menjadi Rp 1,4 triliun dibanding pada 2011.
Tapi, dengan kinerja yang lumayan, sahamnya tidak likuid dibanding bank swasta lainnya. Meskipun melepas 42,18 persen saham di publik, harganya hanya bergerak di kisaran Rp 2.000 per lembar saham. "Yang benar-benar dipegang investor retail belum tentu 42 persen," ujarnya. "Bisa saja dipegang oleh perusahaan yang terafiliasi."
Tjokro Aditya Saptono, investor retail berusia 34 tahun, berpendapat serupa. Saham Bank Mega hanya menarik karena pemiliknya, Chairul Tanjung. "Pergerakan sahamnya tidak likuid," kata Adit, yang biasa menaruh uangnya di saham PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. "Kalau tidak mau terbuka lagi (memberi informasi), berarti ada masalah."
Sorta Tobing, Martha Thertiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo