LAMBANG adalah citra, dan citra adalah segala-galanya, terutama bagi mereka yang bergerak di dunia usaha. Agaknya, keyakinan yang sama juga disandang oleh penerbit harian Suara Karya (SK), sampai mereka melepaskan logo itu beberapa waktu lalu. Kini banyak pembaca bertanya-tanya, mengapa tanda gambar Golkar itu mesti sirna. Padahal, selama bertahun-tahun, lambang itu dengan setia bertengger di tengah, di antara tulisan "Suara" dan "Karya". Lagi pula, semua orang sudah tahu, SK adalah koran yang dimiliki Golkar. Dan para pendirinya merupakan pendekar Golkar yang cukup punya nama, seperti Wapres Sudharmono, Almarhum Ali Moertopo, dan Almarhum Soedjono Hoemardani. Lantas kini, apakah SK sudah tak lagi berkiblat ke Golkar? Ternyata tidak, semua berlangsung sebagaimana biasa. Wakil Pemimpin Umum SK, Moerdopo, mengatakan, "Sampai sekarang, koran ini masih tetap kepunyaan Golkar." Soal dicabutnya gambar beringin, "Itu berarti, kami kembali ke bentuk asal," ujar Moer. Maksudnya, pada saat penerbitan yang pertama, 11 Maret 1971, SK tidak memakai logo Golkar. Tanda gambar yang cukup populer dalam tiga kali pemilu itu sengaja disandang SK pada saat menielan Pemilu 1977. Tujuannya: untuk lebih mempopulerkan Golkar. Atau dengan kata lain, ikut berkampanyelah. Nah, setelah Golkar dianggap mapan, sejak 1 Oktober 1988, simbol itu dicabut kembali. "Sekarang kan Golkar sudah mantap, jadi kami kembali ke logo tahun 1971," ujar Moer lagi. Selain itu, peniadaan lambang juga dilakukan atas permintaan para pembaca SK. Konon, beberapa waktu belakangan ini, banyak pembaca yang menyarankan agar lambang pemilu itu dicopot saja. Itu disarankan, kabarnya, karena isi SK sendiri sudah cukup menarik. "Singkatnya, mereka membeli SK bukan karena logonya, tapi beritanya," kata Moer sedikit bangga. Dan pernyataan ini tidaklah berlebihan. Itu kalau dilihat dari berita-berita yang disajikan SK Kendati masih tetap membawa misi Golkar -- ini diakui oleh Moerdopo sendiri -- mutu dan bobot berita yang dimunculkan boleh dibilang sudah tak pernah lagi ketinggalan dari surat kabar lain. Bahkan tidak jarang sebuah berita muncul lebih cepat di koran SK, mendahului koran-koran lainnya. Dari segi isi, berita ekonomi dan bisnis, misalnya, SK sering muncul lebih dahulu, dengan berita yang lebih lengkap. Tapi khusus untuk rubrik yang satu im, tampaknya SK memang punya perhatian lebih. "Kami memang akan memperkuat rubrik ekonomi," kata Moerdopo. Soalnya, berita ekonomi di SK saat ini banyak digandrungi oleh pembaca. Itu tidak berarti berita lainnya disisihkan. Setiap ada peristiwa menarik, walaupun bukan berita ekonomi, pasti akan muncul di halaman muka. Tujuannya, agar pembaca akan bisa dengan segera menikmati berita yang hangat itu. Ditambah lagi, dalam soal penampilan SK tak mau kalah gengsi dengan koran-koran terkemuka lainnya. Dalam beberapa terbitan -- sejak Olimpiade Seoul -- SK tampil berwarna. Memang, seperti yang diungkapkan oleh seorang redaktur senior, biaya produksinya menjadi naik. Namun, oplahnya pun, konon, ikut terangkat. Walaupun tak banyak. Apakah ini merupakan salah satu upaya SK untuk menarik pembaca umum, alias bukan pegawai negeri? "Semua perubahan yang kami lakukan, termasuk dihapusnya tanda gambar Golkar, tak ada hubungannya dengan pemasaran," kata sumber tersebut. Memang, komposisi pembaca SK kini sudah lebih beragam. Hasil survei pembaca yang dilakukan empat tahun lalu menunjukkan, 60% lebih pembaca SK berasal dari kalangan pegawai negeri. Kini komposisi itu terbalik. Pembaca SK sebagian besar sudah muncul dari golongan non-Korpri. "Dan oplah kami dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan," kata Moerdopo. Singkat kata, untuk mencapai oplah 140 ribu sehari, SK tak perlu macam-macam. "Cukup dengan menampilkan isi yang berbobot dan tiba lebih cepat ke tangan pembaca," tutur redaktur itu. Sederhana, tapi ini sebagian dari citra. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini