Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melempem di Babak Akhir

Hasil pengampunan pajak di bawah target karena sejumlah reformasi jalan di tempat. Terancam tak bisa memanfaatkan era keterbukaan informasi keuangan global.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan anggota Tim Reformasi Perpajakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati prihatin terhadap birokrasi perpajakan. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengeluhkan kinerja aparat pajak yang kurang ngotot dan kadang tidak sensitif. "Saya sepuluh tahun lalu Menteri Keuangan, kok sepertinya tidak berubah?" kata Sri Mulyani seperti ditirukan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Senin pekan lalu.

Prastowo menduga keprihatinan Sri Mulyani muncul karena ia masih menemukan pelanggaran yang melibatkan aparat pajak. Salah satunya perkara suap pegawai pajak Handang Soekarno, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Pernyataan itu disampaikan Sri Mulyani dalam rapat pleno Tim Reformasi Perpajakan di Gedung Djuanda Kompleks Kementerian Keuangan pada pagi harinya.

Rapat itu diikuti semua anggota tim, termasuk tamu dari kalangan dunia usaha dan sejumlah lembaga internasional. Di antaranya Bank Dunia, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta Dana Moneter Internasional (IMF). Sri Mulyani adalah Ketua I Tim Pengarah Tim Reformasi Perpajakan. Prastowo salah satu penasihat tim yang dibentuk Sri Mulyani pada akhir 2016 itu.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama, Menteri Keuangan menekankan perlunya komitmen dan kerja keras aparatur pajak. Hal itu, kata Hestu, dibutuhkan agar institusi pajak berwibawa, kuat, kredibel, dan akuntabel.

Hestu menyebutkan pertemuan hari itu sebenarnya membahas laporan hasil kerja Tim Reformasi selama tiga bulan terakhir. Rapat juga membicarakan rencana kerja setelah berakhirnya program pengampunan pajak pada 31 Maret lalu. "Amnesti pajak ini awal reformasi perpajakan," ucap Hestu di kantornya, Rabu pekan lalu.

Diluncurkan sejak Juli tahun lalu, amnesti pajak merupakan upaya membenahi basis pajak karena rendahnya kepatuhan dan rasio pajak selama ini. Menurut Hestu, wajib pajak terdaftar hanya 32 juta. Adapun rasio pajak tak pernah beranjak 11-12 persen produk domestik bruto. Hestu menyebutkan amnesti memberikan kesempatan kepada masyarakat masuk ke sistem secara nyaman sebelum penegakan hukum di era keterbukaan informasi keuangan global diberlakukan.

Jumat dua pekan lalu, Direktorat Jenderal Pajak menutup tahap ketiga program pengampunan pajak. Selama sembilan bulan, realisasi penerimaan amnesti pajak mencapai Rp 134,5 triliun dan berhasil mengungkap aset sebanyak Rp 4.865 triliun. Komposisinya, Rp 3.694 triliun deklarasi aset dalam negeri, Rp 1.036 triliun deklarasi aset luar negeri, dan Rp 147 triliun repatriasi aset.

Pemerintah mengklaim hasil itu sebagai tax amnesty paling berhasil di dunia. Bandingannya adalah rekor yang dicetak Italia delapan tahun lalu. Amnesti pajak di negara tersebut mengungkap aset senilai Rp 1.179 triliun. Dana yang bisa dibawa pulang ke Italia Rp 56 triliun. "Saya puas terhadap upaya Ditjen Pajak," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jumat malam dua pekan lalu.

Hestu Yoga menambahkan, keberhasilan program pengampunan pajak di Indonesia menarik perhatian banyak negara. Mereka juga menggelar program serupa belakangan ini, di antaranya India dan Argentina.

Yang terbaru adalah Australia. Negeri Kanguru juga menggelar amnesti pajak. Bedanya, mereka hanya mendorong deklarasi aset wajib pajak yang berada di luar negeri. Filipina pun berancang-ancang melaksanakan program serupa. "Ada negara tetangga yang ke sini minta belajar," ujar Hestu, tanpa menyebut nama negara itu.

Menurut dia, hampir semua negara di dunia berkejaran waktu dengan konsensus pertukaran data secara otomatis atau automatic exchange of information (AEOI). Tahun ini 54 negara anggota OECD menerapkan AEOI. Adapun 47 negara akan mengikuti pertukaran informasi tersebut tahun depan. Indonesia termasuk dalam daftar 47 negara tersebut.

Dari Rp 1.036 triliun deklarasi aset luar negeri, 70 persennya berbentuk kas dan setara kas. Dana-dana itu sebenarnya mudah dipulangkan pemiliknya meski amnesti pajak berakhir. Namun, kata Hestu, bisa jadi mereka menunda karena menunggu momentum. Pemerintah bisa menariknya dengan memberi insentif dan iklim investasi yang lebih baik. Hestu yakin dana repatriasi bisa lebih besar.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani mengakui pencapaian tersebut sudah cukup baik, terutama dari target uang tebusan. Namun, dari sisi jumlah, pesertanya masih kurang. "Hanya diikuti wajib pajak lama," ujarnya. Itu sebabnya, pemerintah diminta tak berpuas diri, apalagi menepuk dada.

Peneliti Institut Ekonomika Keuangan dan Pembangunan (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai pemerintah justru gagal. Ukurannya, kata Heri, terlihat dari jomplangnya perolehan dengan target yang disusun pemerintah. Misalnya, dari Rp 11 ribu triliun aset yang diduga berada di luar negeri, hanya Rp 1.183 triliun yang terungkap.

Selain itu, pencapaian repatriasi Rp 147 triliun jauh dari target Rp 1.000 triliun. Hal tersebut diperparah lantaran ada indikasi gagalnya komitmen repatriasi sebesar Rp 24,7 triliun. Dana itu belum masuk atau tercatat di bank persepsi.

Menurut catatan Indef, banyaknya deklarasi aset dalam negeri senilai Rp 3.694 triliun juga menunjukkan betapa lemahnya kerja aparat perpajakan selama ini. "Bagaimana mungkin aset sebesar itu tidak terdeteksi otoritas pajak?" ucap Heri.

Ia menambahkan, perluasan basis wajib pajak yang diharapkan bisa mendongkrak penerimaan pajak juga tak tampak. Bahkan aparat pajak kelihatan lebih berfokus mengurusi amnesti pajak dibanding mengejar penerimaan. Walhasil, target penerimaan pajak tahun ini terancam.

Indikasi itu terlihat dari realisasi penerimaan yang baru mencapai Rp 145 triliun per 15 Maret lalu. Ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 176 triliun. "Idealnya bisa lebih tinggi," tutur Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics.

Meski puas terhadap angka yang dicapai dari pengampunan pajak, Sri Mulyani mengakui hasil program tersebut seharusnya bisa lebih baik. "Saya menganggap masih banyak yang tidak ikut tax amnesty," katanya. Ia menyoroti minimnya jumlah wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak, yakni 965 ribu.

Bandingkan dengan 32,7 juta pemegang nomor pokok wajib pajak. Angka tadi pun jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak, yang diperkirakan mencapai 50-60 juta orang. Hanya 50 ribu wajib pajak baru terdaftar setelah amnesti pajak.

Hestu Yoga mengakui hasil repatriasi masih jauh dibandingkan dengan target Rp 1.000 triliun ataupun prediksi aset di luar negeri sebesar Rp 11 ribu triliun. Menurut dia, angka-angka target perolehan yang disampaikan pemerintah di awal program lebih bersifat harapan. "Tidak akurat karena tidak punya pengalaman sebagai basis data," ujarnya.

Ihwal Rp 24,7 triliun komitmen repatriasi yang belum masuk, Hestu menyebutkan sejumlah faktor. Pertama, ada yang sudah masuk tapi tidak melalui bank gateway. Kedua, wajib pajak kesulitan mencairkan asetnya. "Kita tunggu laporan final dari bank gateway," ucap Hestu.

Bank Mandiri adalah salah satu bank persepsi yang menampung dana program amnesti pajak. Senior Vice President Head of International Banking PT Bank Mandiri Tbk Ferry Robbani menyebutkan Bank Mandiri menerima Rp 29 triliun dana repatriasi. Sebanyak 30 persen di antaranya masih mengendap di deposito dan giro. Selebihnya sudah diinvestasikan ke saham, properti, reksa dana, asuransi, dan investasi langsung ke perusahaan.

Direktorat Jenderal Pajak punya keyakinan aset yang bertebaran di luar negeri akan terungkap semuanya setelah September 2018. Saat itu Indonesia akan efektif mengikuti keterbukaan informasi otomatis. Namun, menurut Yustinus Prastowo, Indonesia bisa terancam gigit jari di era keterbukaan informasi keuangan global tersebut.

Salah satunya sebabnya, Indonesia tak kunjung merampungkan prasyarat yang diminta OECD. Menurut dia, ada empat poin syarat yang diminta OECD, yaitu regulasi primer, regulasi sekunder, infrastruktur teknologi informasi, dan keamanan data. "Syarat regulasi domestiknya belum terpenuhi," kata Prastowo. Bila persyaratan itu tak terpenuhi, Indonesia wajib memberikan data, tapi tidak bisa meminta.

Regulasi yang dimaksud adalah belum dibukanya akses data nasabah perbankan kepada Direktorat Jenderal Pajak. "Dalam hal ini kita kalah jauh dibanding Cile," ujar Iwan Djuniardi, Direktur Transformasi Pajak Direktorat Jenderal Pajak.

Pemerintah sebenarnya telah mendorong keterbukaan data nasabah itu dengan mengamendemen Undang-Undang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan dan Udnang-Undang Perbankan. Draf aturan tersebut sudah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Namun Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perbankan Syariah gagal masuk Program Legislasi Nasional tahun ini. Pemerintah akhirnya mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang pertukaran data secara otomatis (AEOI).

Menurut Hestu Yoga, perpu itu disiapkan sejak beberapa bulan lalu. Presiden merestui dan Menteri Keuangan sudah menyampaikannya ke OECD. "Kami realistis, tidak mungkin tiga undang-undang itu tuntas setengah tahun," kata Hestu. "Sudah darurat karena sekarang pun Ketentuan Umum Perpajakan belum dibahas. Padahal OECD meminta Juni ini aturan itu harus tuntas."

Menurut seorang pejabat di Kementerian Keuangan, pemerintah ingin mendorong pembukaan data nasabah secara menyeluruh. Alasannya, industri perbankan menjadi "surga menghindari pajak". Hestu enggan berkomentar apakah pembukaan data tersebut hanya untuk nasabah ekspatriat atau semuanya.

Keinginan membuka kerahasiaan data nasabah memantik curiga industri perbankan. Direktur Utama PT Bank BCA Tbk Jahja Setiaatmadja khawatir nasabah lari ke luar negeri. Ia berharap pembukaan data hanya berlaku bagi nasabah warga negara asing. "Apa gunanya buka data orang kita ke pemerintah asing? Kan, tidak ada manfaatnya?" ujar Jahja kepada Tempo.

Agus Supriyanto


Gagal Memulangkan Harta

PEMERINTAH boleh mengklaim program pengampunan pajak sebagai yang tersukses di dunia. Alasannya: dana tebusan yang dikantongi pemerintah lebih besar dibandingkan dengan yang didapat negara-negara yang pernah menggelar program serupa. Namun banyak lembaga menilai sebaliknya. Salah satu indikasinya, harta yang bisa dipulangkan dari luar negeri tidak mencapai 20 persen dari target semula. Padahal salah tujuan program ini adalah menarik pulang harta yang disembunyikan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, tujuan pengampunan pajak:
Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi
Mendorong reformasi perpajakan
Meningkatkan penerimaan pajak

Realisasi Tax Amnesty (TA)

JenisTarget(Rp Triliun)Realisasi (Rp Triliun)
Repatriasi1.000147
Deklarasi luar negeri11.000*1.036
Deklarasi dalam negeri-3.694
Tebusan165114

Estimasi Harta Kekayaan Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri

LembagaEstimasi Harta (Rp Triliun)
McKinsey3.250
Credit Suisse & Allianz11.125
Bank Indonesia3.147
Kementerian Keuangan11.000

Realisasi Penerimaan Negara

Uang tebusanRp 114 triliun
Pembayaran tunggakanRp 18,8 triliun
Pembayaran bukti permulaan Rp 1,75 triliun
TotalRp 134,55 triliun

Komposisi Uang Tebusan

AsalJumlah (Rp Triliun)
Orang pribadi non-UMKM91,2
Orang pribadi UMKM7,7
Badan non-UMKM14,6
Badan UMKM0,7

Wajib Pajak (WP) Pembayar Tebusan

UraianJumlah PesertaTebusan (Rp triliun)Harta Deklarasi (Rp triliun)
WP baru sesudah TA50.3852,48163,74
WP sebelum TA terdaftar 20168.3920,3421,92
WP terdaftar 201525.3150,9753,57
WP terdaftar sebelum 2015247.19210,14.055,05
WP tidak lapor SPT634.699100,39571,39
Total965.983114,284.865,67

Tebusan Tax Amnesty Menyelamatkan Defisit Anggaran

UraianAPBN-P 2016 (Rp triliun)RealisasiPersentase
Pendapatan negara1.786,21.551,886,5
Pendapatan dalam negeri1.784,2154,686,6
Penerimaan perpajakan1.539,21.283,683,4
Penerimaan Ditjen Pajak1.355,21.104,981,5
Penerimaan Ditjen Pajak tanpa TA1.355,2997,973,6
Penerimaan Ditjen Bea-Cukai184178,797,2
PNBP245,1262,4107
Hibah25,8295,2
Belanja negara2.082,91.869,589,2
Defisit296,7307,7103,7
Persentase PDB2,48
Defisit tanpa TA296,7414,7139,8
Persentase PDB tanpa TA3,3

Perbandingan Uang Tebusan

Negara, Tahun Program AmnestiJumlah (Rp Triliun)
Irlandia 19884,1
India 199719,7
Italia 200121,8
Afrika Selatan 20032,3
Jerman 200413,3
Belgia 20067,2
Italia 200959
Spanyol 201217,7
Australia 20147,9
Cile 201519,7
Indonesia 2016-2017114

Perbandingan Deklarasi Harta

NegaraJumlah (Rp Triliun)
Irlandia 198826
Afrika Selatan 2003115
Italia 20091.179
Spanyol 2012202
Australia 201466
Cile 2015263
Indonesia 20164.719

Lima Besar Negara Asal Repatriasi

NegaraJumlah (Rp Triliun)Persentase
Singapura83,2562,55
Cayman Islands16,5112,4
Hong Kong16,2812,23
Virgin Islands6,484,87
Cina1,431,07

Lima Besar Negara Asal Deklarasi

NegaraJumlah (Rp Triliun)Persentase
Singapura741,5968,9
Virgin Islands75,47,00
Hong Kong56,935,29
Cayman Islands52,724,89
Australia41,23,83

Karakteristik Wajib Pajak (WP)

KriteriaJumlah
WP terdaftar 2016 sesudah TA52.438
WP terdaftar 2015 sebelum TA33.708
WP tidak lapor SPT247.192
WP lapor SPT718.791
WP tidak bayar pajak54.820

Berhasil atau Gagal?

- Dari Rp 11 ribu triliun yang diduga ada di luar negeri, hanya Rp 1.183 triliun yang terungkap atau 10,7 persen.
- Harta WNI di luar negeri yang hanya dideklarasikan sebesar Rp 1.036 triliun dan yang sekaligus direpatriasi Rp 147 triliun.
- Pencapaian repatriasi sebesar Rp 147 triliun jauh di bawah target pemerintah sebesar Rp 1.000 triliun.
- Deklarasi terbesar berasal dari dalam negeri, yaitu Rp 3.687 triliun, bukan dari luar negeri seperti digadang-gadang pemerintah.

Fakta Hasil Tax Amnesty:

1. Berdasarkan total harta yang dideklarasikan, ada tiga jenis harta yang mendominasi:
- Harta dalam bentuk kas dan setara kas Rp 1.284,9 triliun
- Tanah dan bangunan Rp 766,3 triliun
- Investasi dan surat berharga Rp 731,1 triliun
Data itu menunjukkan banyak bangunan dan lahan di dalam negeri yang tidak diketahui otoritas pajak sehingga tidak terpungut pajak puluhan tahun.

2. Harta dalam bentuk kas dan setara kas sebesar Rp 1.284,9 triliun merupakan aset yang disimpan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro. Otoritas Pajak tidak bisa mengakses harta yang disimpan di perbankan.

3. Terdapat simpanan ribuan triliun rupiah di perbankan yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak sebelum pemberlakuan tax amnesty. Data Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan total simpanan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro per akhir Januari 2017 mencapai Rp 4.836,76 triliun. Sebelum penerapan pengampunan pajak, minimal 26,5 persen (Rp 1.284,9 triliun) dari seluruh simpanan di perbankan merupakan harta yang disembunyikan.

Penulis: Akbar Tri Kurniawan | Sumber: Kementerian Keuangan, Indef

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus