Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Duka Cinta sang Penanam Ganja

Setelah suaminya ditangkap, pasien terapi kanabis di Kalimantan Barat meninggal. Badan Narkotika Nasional menolak bertanggung jawab.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YENI Rahmawati terisak-isak menanyakan keberadaan suaminya, Fidelis Arie Suderwato, pada Sabtu akhir Maret lalu. "Mas Fidelis ke mana?" kata Yeni, yang saat itu terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah M. Th. Djaman, Sanggau, Kalimantan Barat, seperti diceritakan kakak iparnya, Yohana Suyati. "Kenapa enggak pernah jenguk lagi?"

Sejak Yeni dirawat inap pada 19 Februari lalu, Fidelis memang hanya sempat datang satu kali. Keluarga yang menunggui Yeni pun sepakat untuk berbohong. "Kami selalu menjawab Fidelis sedang di Jakarta," ujar Yohana, Kamis pekan lalu. "Dalam kondisi seperti itu, kami tidak bisa mengatakan yang sebenarnya."

Yeni didiagnosis menderita kista sumsum tulang belakang (syringomyelia) sejak Januari 2016. Tepat pada hari Yeni masuk rumah sakit, Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau menahan suaminya. Pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Sanggau ini ditangkap karena menanam ganja di rumahnya. Khawatir kesehatan Yeni merosot, keluarga tak memberi tahu perempuan 36 tahun itu ihwal nasib nahas Fidelis.

Fidelis, 36 tahun, bukan pemakai atau penjual kanabis. Sejak akhir 2016, dia menanam ganja secara khusus untuk pengobatan istrinya. Menurut Yohana, ketika ditangkap, adik kandungnya itu memang sengaja datang ke kantor BNN Sanggau untuk meminta pendapat hukum terkait dengan penggunaan ganja buat pengobatan.

Fidelis dan Yeni sudah menikah 13 tahun. Keduanya bertemu saat sama-sama kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pasangan ini dikaruniai dua anak. Sehari-hari Yeni mengajar bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Mukok, Sanggau.

Tak bertemu dengan suaminya berpekan-pekan, Yeni menjadi gelisah. Sabtu pagi itu keresahannya memuncak. Ketika diberi tahu bahwa Fidelis masih di Jakarta, tangis Yeni justru semakin kencang. Ia meminta keluarganya menelepon sang suami. Mereka mengiyakan, tapi berbohong dengan mengatakan telepon seluler Fidelis tidak aktif.

Tangis Yeni sedikit mereda setelah keluarga berjanji terus mencoba menelepon. Perlahan-lahan dia menutup mata, seolah-olah terlelap. Siang harinya, dokter jaga yang memeriksa menyatakan bahwa Yeni telah meninggal.

l l l

FIDELIS hanya punya dua pilihan saat dokter Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soedarso, Pontianak, memvonis Yeni mengidap kista sumsum tulang belakang pada awal tahun lalu. Opsi pertama, Yeni harus dioperasi. Yang kedua, dokter menawari Yeni dirawat jalan.

Menurut Yohana, opsi operasi sangat berisiko bagi Yeni. "Kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk operasi berat," katanya. Fidelis akhirnya memutuskan membawa istrinya pulang. Alasannya, menurut Yohana, "Fidelis ingin merawat Yeni sendiri."

Gejala penyakit Yeni sebenarnya muncul sejak pertengahan 2013. Saat itu ia sedang mengandung anak kedua. Ketika itu, Yeni mendadak tidak bisa menggerakkan kaki kanannya dan sering merasakan kebas di bagian tubuh lain. Ketika dia memeriksakan diri di Rumah Sakit Umum Daerah Sanggau, dokter menyatakan gejala itu hanya efek dari kehamilan.

Yeni melahirkan anak keduanya secara normal pada akhir 2013. Setelah itu, kaki kanannya berangsur membaik. Tapi itu tak bertahan lama. Lima bulan kemudian, gejala serupa muncul lagi. Kali ini lebih parah. Yeni tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.

Walhasil, keluarga bolak-balik membawa Yeni ke beberapa rumah sakit. Setiap dokter punya diagnosis berlainan. Bahkan ada rumah sakit yang menyimpulkan bahwa Yeni mengalami gangguan jiwa.

Tak jelas sakit apa, kondisi Yeni terus memburuk. Setiap makanan yang ditelan pasti dimuntahkan. Luka bermunculan di sekujur tubuhnya. Luka paling parah ada di pinggang. Yeni pernah tidak tidur sampai tiga hari karena kesakitan. Barulah, pada awal Januari 2016, Yeni dinyatakan menderita kista sumsum tulang belakang stadium III.

Setelah menolak Yeni dioperasi, Fidelis mencari cara sendiri untuk menyelamatkan sang istri. Ia berselancar di dunia maya mencari tahu soal penyakit langka tersebut. Dari risetnya itu, Fidelis menyusun buku panduan sendiri untuk merawat istrinya. Isinya: bagaimana cara membersihkan luka sampai mengatur suhu kamar yang pas. Semuanya ia peroleh dari Internet.

Fidelis rupanya berselancar sampai jauh. Di sebuah situs, dia menemukan testimoni seorang penderita kista tulang belakang di Kanada. Orang Kanada ini mengaku mulai sembuh setelah menggunakan ekstrak daun ganja untuk mengobati penyakitnya. Dari sinilah Fidelis mendapat ilham.

Yohana mengaku tidak tahu dari mana Fidelis mendapatkan bibit ganja. Ia juga tidak paham bagaimana metode Fidelis mengobati istrinya dengan ganja. Yang jelas, kata Yohana, setelah diterapi dengan kanabis, kondisi Yeni berangsur membaik. "Saya tidak bilang sembuh, tapi kondisi Yeni sangat stabil," ujar Yohana.

Pengobatan dengan ganja membuat Yeni bisa makan teratur. Setiap kali makan, dia bisa menghabiskan satu mangkuk nasi plus setengah kilogram anggur. Menurut Yohana, Yeni juga mulai berani berbicara tentang angan-angannya setelah sembuh. "Ia ingin membeli sepeda motor baru dan mengadakan misa besar di rumahnya," kata Yohana.

Pengobatan menggunakan ekstrak daun kanabis sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Ketua Lingkar Ganja Nusantara, Dhira Narayana, memastikan ada ratusan orang yang memakai terapi serupa. Lingkar Ganja adalah organisasi nirlaba yang memperjuangkan legalisasi ganja untuk pengobatan.

Penangkapan Fidelis bermula pada awal pekan ketiga Februari lalu. Ketika itu, Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat--lembaga tempat Fidelis bekerja--menggelar tes urine bersama BNN Sanggau. Marcelina Lin, pengacara Fidelis, menuturkan, seusai tes itu, kliennya berbincang empat mata dengan salah satu petugas BNN. Dia menanyakan implikasi hukum penggunaan ekstrak ganja untuk kesehatan.

Menurut Marcelina, petugas BNN itu menyarankan Fidelis mendatangi kantor mereka untuk memperoleh penjelasan lebih lengkap. Dua hari kemudian, Fidelis pun mendatangi BNN. Di sana, dia berterus terang menjelaskan duduk perkara istrinya yang diterapi menggunakan ekstrak ganja.

Beberapa hari kemudian, empat anggota BNN Sanggau datang ke rumah Fidelis. Mereka mengaku ingin melihat sendiri pohon ganja yang ditanam Fidelis dan memeriksa kondisi Yeni. Seusai kunjungan itulah Fidelis dicokok.

Kepala Seksi Pemberantasan BNN Kabupaten Sanggau, Sudiarto, menolak berkomentar soal kasus ini. "Saya mendapat instruksi: kalau ada yang bertanya, ke pusat saja," katanya. Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional Komisaris Besar Sulistiandriatmoko mengatakan lembaganya tidak punya alasan untuk membiarkan Fidelis. "Undang-Undang Narkotika jelas bunyinya: jika menyimpan atau menanam dengan alasan apa pun, itu ilegal," ujar Sulis. "Urusan medis tidak ada sangkut pautnya dengan kami. Tugas BNN penegakan hukum."

Setelah menangkap Fidelis, BNN Kabupaten Sanggau membawa Yeni ke rumah sakit. Menurut Yohana, Yeni sempat bertanya-tanya kenapa ia harus dibawa lagi ke rumah sakit. Lagi-lagi keluarga terpaksa berbohong. Mereka mengatakan rawat inap Yeni adalah bagian dari penyembuhan dengan terapi ganja.

Sepekan ditahan, pada akhir Februari, barulah Fidelis diizinkan untuk pertama kalinya menjenguk Yeni. Dijaga ketat lima petugas BNN, ia menghampiri ranjang Yeni dan mengecup dahinya. "Mas ke mana saja? Kok, baru datang sekarang? Itu siapa ramai sekali," kata Yeni, ditirukan Yohana.

Fidelis menjawab, "Ini teman-teman di BNN. Mas sedang mengurus izin pemakaian ganja untuk berobat, biar kamu sembuh."

l l l

LANTUNAN suara misa pengantar pemakaman terdengar lamat-lamat dari rumah Fidelis di Jalan Sudirman, Sanggau, pada akhir Maret lalu. Yohana menuturkan, pemakaman memang baru bisa digelar tiga hari setelah Yeni meninggal karena menunggu keluarga almarhumah datang dari Magelang, Jawa Tengah. Menurut Yohana, keluarga juga meminta izin BNN Sanggau agar Fidelis bisa datang saat pemakaman istrinya.

Sejak misa dimulai, Samuel Finito, 3 tahun, anak bungsu Fidelis-Yeni, hanya duduk di teras rumah. Ajakan kakek-neneknya untuk ikut misa tidak ia tanggapi. Dia baru menengok ketika Fidelis tiba, diantar petugas BNN. "Rupanya, Fidelis diizinkan datang," ujar Yohana. Fidelis memeluk anaknya. Tak ada kata. Keduanya menangis.

Syailendra Persada


Fidelis, 36 tahun, bukan pemakai atau penjual kanabis. Sejak akhir 2016, dia menanam ganja secara khusus untuk pengobatan istrinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus