AMBISI Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produk-produk petrokimia tampak semakin dipacu. Memang, industri hilir petrokimia, seperti plastik, pipa PVC, serat sintetis, dan polyester, sudah cukup berkembang di sini. Sebaliknya, bahan baku bagi industri petrokimia inilah yang masih banyak diimpor. Produk-produk seperti urea, metanol, dan amonia sudah bisa memenuhi permintaan dalam negeri. Tapi, angka impor untuk produk petrokimia lainnya, seperti polyethelene, polypropylene, polyvinyl chloride, masih sekitar US$ 650 juta setahun. Dan Pemerintah bertekad menekan angka ini. Diperkirakan baru dalam lima tahun mendatang Indonesia mampu memenuhi kebutuhan bahan baku petrokimianya. Dan tak kurang dari US$ 4,5 milyar akan tersedot untuk membangun proyek petrokimia selama lima tahun itu. Peresmian 12 pabrik petrokimia oleh Presiden Soeharto di Cilegon, Jawa Barat, September tahun silam, jelas diwarnai semangat "berdikari" tadi. Ke-12 industri petrokimia ini diharapkan bisa menghemat devisa tak kurang dari US$ 73,29 juta setiap tahun, dan bisa mendatangkan uang US$ 47,60 juta setahun. Menjelang akhir Februari lalu, British Petroleum Chemical dari Inggris bersama mitra Indonesia dan Jepang berpatungan membentuk PT Petrokimia Nusantara Interindo (PT Peni). BP Chemical memegang 51% saham, Mitsui Corp. 12,5%, Sumitomo Corp. 12,5%, Arseto Petrokimia (yang dikelola Sigit Harjojudanto) 15%, dan Bob Hasan 9%. Total investasinya US$ 182,5 juta. Areal seluas 30 hektare yang dipilih untuk pabrik polyethylene ini adalah Desa Rawa Arum, Cilegon, Jawa Barat. PT Peni akan memproduksi polyethylene -- bahan baku yang dibutuhkan untuk industri hilir petrokimia -- terutama barang-barang plastik. Bahan baku ethylene, yakni hasil konsentrasi antara minyak mentah dan gas, terpaksa diimpor. Sebab, industri hulu Olefin Centre di Cilacap, yang bisa menghasilkan ethylene, baru bisa berproduksi pada 1993. Pertamina terpaksa melempar bahan baku nafta dan residu ke pasar ekspor. Untuk tahap pertama, PT Peni akan memproduksikan 200 ribu ton (mt) polyethylene, padahal tahun 1987 saja Indonesia butuh 241 mt (seluruhnya masih diimpor dari Jepang). Tapi, harga bahan baku ethylene impor dari Qatar dan Arab Saudi cenderung naik. Terutama setelah PT Asahimas Subentra Chemical Industries juga membutuhkan bahan baku serupa. Kini, harga ethylene menanjak US$ 700 per ton, padahal sebelumnya US$ 400 per ton. Pada 1992 -- saat pabrik di rawa Arum itu berproduksi -- kebutuhan polyethylene dalam negeri mencapai 388 mt, 48 mt di antaranya masih diimpor. Diperkirakan Indonesia baru akan surplus polyethylene pada 1994. Saat itu, kebutuhan dalam negeri mencapai 470 mt, sementara produksinya 500 mt. Dewasa ini, harga polyethylene impor (CIF Tanjungpriok) tak kurang dari US$ 1.200 per ton. Padahal, impor kita sekarang mencapai 353 mt. Boros. Bachtiar Abdullah dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini