MASIH di tengah pro dan kontra, pembukaan pusat pertokoan Sogo jadi juga diresmikan, Kamis pekan silam. Kuncinya adalah selembar surat izin penempatan lokasi, yang diteken Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, Rabu 28 Februari 1990. Sjamsul Nursalim, bos Gajah Tunggal -- yang mendirikan pusat pertokoan mewah itu -- ternyata tak mau meleset dari target. Sekali ditentukan 1 Maret, maka harus berlangsung 1 Maret juga. "Kami tak sempat lagi membuat undangan. Mohon maaf, jika ada yang merasa tak diundang," tutur Nursalim kepada TEMPO. Memang, tidak ada pengurus dari AP3I (Asosiasi Pengusaha Pusat Pertokoan Indonesia), tidak juga pejabat Departemen Perdagangan atau Pemda DKI. Yang hadir justru yang berada di luar bisnis eceran. Tampak, misalnya, Ketua Bapepam Marzuki Usman, Dirut PT Danareksa R. Subagyo, General Manager Bank Rakyat Indonesia Putu Antara, dan beberapa staf pejabat BKPM. Juga hadir Dirjen Pariwisata Joop Ave serta Ny. Hartini Soekarno. Tampilnya bos Bimantara Bambang Trihatmojo tentulah berkaitan erat dengan posisinya sebagai landlord Plaza Indonesia. Maklum, Sogo adalah penyewa terbesar Plaza Indonesia dan sudah berani beroperasi, sementara gedung mewah itu belum rampung seluruhnya. Sogo juga ikut menentukan gengsi Plaza karena ia merupakan pusat pertokoan paling mewah di Indonesia sekarang ini. Kendati tak banyak tokoh yang hadir, dukungan Pemerintah terhadap Sogo tak perlu diragukan. Lihat saja izin pemakaian nama dan logo Sogo, yang persis sama dengan Sogo Jepang. Padahal, kalangan pengusaha yang tergabung dalam AP3I telah mengimbau agar nama dan logo itu jangan dipakai. Departemen Kehakiman malah menegur cukup keras. Akibatnya, nama perusahaan pengelola yang diubah dari PT Sogo Lestari Indonesia berganti menjadi PT Panen Lestari Indah. Berita pro dan kontra belum reda, ketika Menteri Sekretaris Negara Moerdiono tiba-tiba saja menghangatkan isu Sogo. Berbicara di depan seniman dan wartawan kebudayaan di Jakarta Kamis malam, Moerdiono menyatakan keheranannya tentang mengapa ada keributan besar dari kalangan pengusaha (maksudnya AP3I) menjelang peresmian Sogo. "Yang ribut-ribut itu sebenarnya 'serigala' juga. Tapi, ketika datang 'serigala' yang lebih besar, mereka kemudian menjadi berisik. Ini aneh buat saya," kata Menteri, sebagaimana dikutip harian Suara Pembaruan. Menurut seorang pejabat BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), para pemilik pusat pertokoan, seperti Hero, Sarinah Jaya, dan Golden Truly agaknya kaget bahwa Sogo bisa mendapatkan fasilitas BKPM. "Masalahnya, status mereka adalah perusahaan BRO," kata pejabat BKPM yang ditemui TEMPO di tengah acara peresmian Sogo. BRO (bedrijf reglement ordonnantie) adalah undang-undang perdagangan produk zaman Belanda, yang sampai sekarang masih berlaku. Untuk mendapatkan izinnya, biasanya lebih mudah, namun sulit untuk mendapatkan fasilitas seperti kredit bank Pemerintah dan impor barang-barang modal. Nah, Sogo yang lewat BKPM itu, walaupun semula tersendat, ternyata acara pembukaannya berlangsung sesuai dengan jadwal, tepat 1 Maret berselang. Ada gadis Jepang, Keiko Wakugawa, yang mengawali dengan pidato tiga menit dalam bahasa Indonesia -- yang dihafalnya luar kepala. Artis dari Tokyo Disneyland itu, bersama 10 gadis remaja lainnya, lalu menyuguhkan operet, yang mengambil tempat di halaman terbuka arena Plaza Indonesia. Kreasi Guruh Soekarnoputra menampilkan penari lokal yang mendendangkan iklan Sogo, disusul tarian bersama Jepang dan Indonesia. Tepat pukul 13.00, Sogo Department Store dibuka tanpa acara gunting pita. Pusat pertokoan itu ternyata sudah penuh dengan barang yang ditata rapi. Begitu pintu dibuka untuk umum, masyarakat pengunjung SOQO berjubel. Kebanyakan datang dengan kendaraan pribadi. Seperti yang diberitakan, Sogo memang bukan toko untuk masyarakat menengah ke bawah. Dengan Rp 100.000, Anda mungkin masih bisa belanja besar di Golden Truly, Hero, atau Matahari. Tapi di Sogo, Rp 100.000 tak ada artinya. Memang, label harga-harga sengaja dipasang terbalik di meja etalase, namun toh terbaca juga. Sepasang giwang mutiara impor dari Jerman, harganya tak kurang dari Rp 80.000. Satu setel pakaian wanita impor dijual Rp 400.000. Sepasang sepatu berlabel Mareli (Italia) Rp 190.000. Seutas ikat pinggang kulit Rp 112.000. Satu setel celana-blus-topi jeans untuk anak 8 tahun buatan Bangkok, dihargai lebih dari Rp 200.000. Bersisian dengan barang impor, dipajang pula buatan dalam negeri, yang kualitas maupun harganya tak kalah menterengnya. Ada kerajinan perak dari Makassar dan Bali, yang puluhan ribu. Ada jaket wanita dibordir yang harganya ratusan ribu. Sehelai jaket beledu hitam rancangan Susan Budiarjo, misalnya, dihargai Rp 600.000. Menurut Nursalim, harga-harga itu ditentukan sendiri oleh pemasok. "Kami yakin, akan cukup banyak pembeli yang mampu berbelanja kemari," tuturnya, ketika ditemui TEMPO sedang keluyuran sendirian di sekitar Sogo. "Tapi, kalau mau belanja dengan mata saja juga boleh," katanya. Nursalim yakin, omset Sogo bisa menutup biaya sewa serta ongkos-ongkos pusat pertokoan yang dilayani 1.500 karyawan itu. Bos Sogo dari Jepang, Hiroo Mishuzima, memuji bahwa Sogo Jakarta kini merupakan pusat pertokoan yang paling hebat dibandingkan dengan Sogo-Sogo lain. "Bandingkan dengan Sogo Hong Kong, ini masih jauh lebih tertata rapi. Sogo di Kota Nara (Jepang) yang juga baru kami buka, masih di bawah Sogo Jakarta," tutur Mishuzima. Namun, pelayanan Sogo Jakarta tampaknya masih perlu ditingkatkan. Penting, misalnya, melayani dengan ramah, siap dengan informasi yang diperlukan, tanpa membuat pengunjung merasa terganggu. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini