SEBUAH proyek raksasa milik Pemerintah kembali menjadi ajang perebutan yang seru antara sejumlah perusahaan mancanegara. Nama-nama besar kembali muncul. Ada Asea Brown Boveri (Swiss) berkongsi dengan Marubeni (Jepang), ada Mitsui (Jepang) dengan General Electric (Amerika Serikat), lalu Mitsubishi (Jepang) dengan Siemens (Jerman), dan terakhir AlsthomSpic Batignoles (Prancis). Megaproyek yang diperebutkan itu bernilai sekitar Rp 1.367 milyar, berupa sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), yang terletak di Tanjungpriok. Megaproyek milik PLN ini akan menelan pinjaman komersial dari luar negeri yang cukup besar, tapi tidak terkena penjadwalan oleh tim Pengendalian Kredit Luar Negeri (PKLN). Tim ini bekerja atas dasar Surat Keputusan Presiden No. 39, yang turun 4 September 1991, sedangkan tendernya sudah dilakukan 24 Agustus 1991. Keempat kongsi tersebut merupakan perusahaan konsorsium internasional yang lolos kualifikasi tender. Yang mencolok dalam persaingan ini, tiga industri pembangkit listrik dari Eropa dan Amerika -- namanya sudah sangat dikenal di sini -- menawarkan barang dan teknologinya, masing-masing berpatungan dengan perusahaan dagang terkemuka dari Jepang. Hanya partner Alsthom yang namanya asing bagi telinga orang Indonesia. Alsthom, yang selama ini lebih berkibar di Eropa Barat, menawarkan kesanggupannya membangun PLTGU di Tanjungpriok dengan kapasitas pembangkit listrik 1.046.000 kilowatt per jam (kwh). Ternyata, tawarannya paling mahal, yakni sekitar US$ 597 per kwh. Harga ini jauh lebih tinggi dari tawaran MitsuiGeneral Electric yang US$ 520,9 per kwh, sementara ABB-Marubeni menetapkan harga sekitar US$ 571 per kwh. Setelah tender dibuka, terungkap bahwa harga penawaran MitsuiGeneral Electric yang paling murah. Kontroversi kemudian timbul karena Menko Ekuin justru menetapkan bahwa pemenang tender adalah ABB-Marubeni, yang penawarannya US$ 571 per kwh, lebih mahal sekitar Rp 300 milyar dari harga Mitsui, tapi masih di bawah harga Alsthom. Mengapa? Inilah yang banyak dipertanyakan, baik oleh peserta tender yang kalah maupun oleh media massa. Ada media yang menduga bahwa keputusan Menko Ekuin dilatari oleh ada main antara pihak pemenang -- yang partner Indonesianya adalah Murdaya alias Poo Djie Gwan -- dengan kalangan Ekuin. Ada yang berkesimpulan bahwa PLN sebagai pemilik proyek tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Yang pasti keputusan Menko Ekuin itu terkesan kontroversial. Keputusan Menko Ekuin yang kontroversial itu antara lain didasarkan pada biaya produksi listrik per kwh. Yang dimaksud dengan biaya produksi terdiri dari biaya investasi, biaya operasi, termasuk biaya manajemen. Menurut evaluasi PLN, jika proyek listrik ABB-Marubeni dipilih, biaya produksinya akan menjadi Rp 82,45 per kwh. Dibandingkan tawaran MitsubishiSiemens, harga tadi akan lebih murah sekitar Rp 0,40. Juga lebih murah sekitar Rp 0,53 per kwh dibandingkan tawaran dari Alsthom-Spic, tapi kalah tanding dengan harga Mitsui-GE, yang biaya produksinya masih lebih murah sekitar Rp 0,43 per kwh. Tapi, apa artinya selisih harga yang tidak sampai satu rupiah itu? Seorang dari peserta tender yang dihubungi TEMPO menegaskan, selisih angka yang kecil jangan dianggap enteng. Dengan kapasitas produksi katakanlah bulat 1 juta kilowatt per jam, setiap tahun pabrik listrik ABB-Marubeni akan menjadi lebih mahal sekitar Rp 3,7 milyar dibandingkan tawaran Mitsui-GE. Angka itu diperoleh dari perhitungan Rp 0,43 e 1 juta kwh x 24 jam x 365 hari. Ditinjau dari biaya produksi maupun biaya investasi awal, jelas lebih kompetitif tawaran Mitsui-GE. Tak heran bila kongsi ini sempat merasa yakin bahwa akan menang. Apalagi penilaian atas biaya produksi dan investasi dari PLN akan banyak menentukan keputusan Ekuin tentang pemenang tender. Bobotnya bahkan sampai 85%. Entah di mana beda kriterianya, tapi evaluasi dari Departemen Keuangan, yang biasanya berbobot 15%, pada tahap akhir telah menjatuhkan Mitsui-GE dan melontarkan ABB-Marubeni ke posisi puncak. ABB-Marubeni diunggulkan paling atas karena menawarkan pinjaman dengan biaya efektif paling murah, yakni 7,8980. MitsubishiSiemens berada di urutan kedua (7,9707) kemudian Mitsui-GE (8,3936), dan Alsthom-Spic (8,8603). Daftar peringkat tersebut diungkapkan dalam surat Direktur Dana Luar Negeri dari Departemen Keuangan, Jusuf Anwar, kepada Direktur Keuangan PLN tanggal 17 Desember 1991. Hasil penilaian ini belakangan menimbulkan tanda tanya pada sebagian peserta tender. Soalnya, menurut prosedur, semestinya peringkat peserta tender yang dibuat Departemen Keuangan tersebut dipelajari lagi oleh PLN, untuk kemudian dikembalikan dan baru akhirnya diputuskan pemenangnya oleh Ekuin. Yang terjadi memang sedikit lain dari biasa. Tiga hari sesudah surat Departemen Keuangan dilayangkan ke PLN, diumumkanlah keputusan pemenang tender oleh kantor Menko Ekuin. Padahal, dalam prosedur yang dijelaskan kepada para peserta, evaluasi dari Departemen Keuangan mestinya diperbandingkan kembali dengan hasil evaluasi teknis PLN oleh pihak PLN sendiri, baru kemudian diserahkan kepada Menko Ekuin untuk dimintakan keputusan. Belakangan terbukti, hasil penilaian Departemen Keuangan mengundang berbagai tanda tanya. Mengapa? Pertama, bank pendukung konsorsium ABB-Marubeni telah mengajukan suku bunga pinjaman yang tidak sesuai dengan kesepakatan internasional. Konsorsium ini mengajukan bunga 7,87%, sementara bunga berlaku menurut peraturan OECD (organisasi dari 24 negara industri terkemuka di dunia) adalah 8,75%. Tapi pada 4 November 1991, yakni ketika tender ini sebenarnya sudah dibuka, perusahaan tersebut sempat memasukkan amandemen tawaran pembiyaan. Bunga disesuaikan dengan peraturan OECD, namun jumlah pinjaman dalam valuta Swiss juga dinaikkan menjadi dua kali lipat. Adanya amandemen itu mungkin saja telah menyebabkan Departemen Keuangan keliru membuat perhitungan. Evaluasinya hanya mengubah perhitungan jumlah pinjaman, tapi lupa mengubah perhitungan suku bunga. Selain itu, berkas pemenang tender menggunakan mata uang yang beraneka ragam. Jumlah paling besar dalam bentuk frank Swiss dan mark Jerman -- tentu untuk membiayai komponen impor dari kedua negara tersebut. Sedangkan untuk membiayai komponen dari Swiss, bank bersangkutan mengajukan kredit 150 juta frank, padahal komponen barang Swiss yang ditawarkan berjumlah 350 juta frank. Ketidakcocokan juga terlihat pada nilai komponen barang yang akan diimpor dari Jerman. Nilai barang tercantum DM 170,4 juta, sementara kredit yang ditawarkan dari Bank KFW (Jerman) berjumlah DM 440 juta. Artinya, jumlah pinjaman valuta itu masing-masing tidak sesuai dengan jumlah barang yang akan dibeli. Tidak sulit untuk menarik kesimpulan bahwa ABB-Marubeni sebenarnya tidak memenuhi persyaratan tender alias gugur. Sementara itu pihak BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapam Teknologi) mempertanyakan local content dari proyek tersebut. Rahardi Ramelan, Deputi Ketua Bidang Pengkajian Industri BPPT, menyatakan bahwa kandungan lokal 25% itu adalah satu keharusan untuk proyek pembangkit berkapasitas 900 mw seperti PLTGU Tanjungpriok. Komponen lokal yang 25% ini dihitung dari total biaya pembangunan proyek bersangkutan. Rahardi malah mengatakan -- seperti yang dikutip harian Bisnis Indonesia -- jika pemenang misalnya tidak mampu memenuhi syarat 25%, Pemerintah akan mencari kontraktor lain. Jika ditilik berkas penawaran keempat peserta tender, tak satu pun yang memenuhi syarat 25%. Mungkin ketentuan ini terlalu besar. Pada proyek PLTGU di Gresik, misalnya, komponen lokalnya ditetapkan minimum 19%. Terlepas dari berbagai penyimpangan tersebut, Marubeni diduga cukup kuat berperan dalam upaya memenangkan penawaran ABB. Selain itu, nama Asea Brown Boveri juga sudah lama dikenal di Indonesia via PT Cipta Cakra Murdaya. Perusahaan pimpinan Murdaya Widyawimarta (Poo Djie Gwan) ini lebih populer sebagai Berca Group. Jadi, apakah proyek PLTGU sudah final dimenangkan pihak ABB-Marubeni? Tampaknya memang demikian. Berita-berita mengenai akan adanya tender ulang dibantah keras oleh Dirjen Listrik & Energi Baru, Ir. Artono Arismunandar. Kepada Bambang Ajie dari TEMPO ia malah menegaskan bahwa proyek akan jalan terus dan tidak akan ada reevaluasi tender. Kalau benar, maka jatuhnya proyek ini kepada penawar tender bukan yang termurah bukanlah hal baru. Ingat saja tender proyek pembangunan jalan layang kereta api Manggarai-Glodok di Jakarta. Kemudian kasus paling ramai adalah tender proyek telekomunikasi sentral telepon digital Indonesia (STDI) II. Untuk proyek STDI II, kontraktor Jepang NEC/Sumitomo semula sudah ditunjuk Pemerintah untuk membangun 350.000 satuan sambungan telepon (sst). Tapi Presiden AS George Bush protes. Proyek akhirnya diperbesar menjadi 700.000 sst, yang kemudian dibagi dua kepada AT&T (AS) dan NEC (Jepang). Masing-masing mendapat jatah 350.000 sst. Kali ini tampaknya, gaya khas Indonesia -- memilih dua pemenang -- tidak akan terulang PLTGU Tanjungpriok. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini