BELUM sampai dua pekan Garuda Indonesia dikomando oleh Marsekal Muda Wage Mulyono, kelemahan dan cacat flagcarrier ini semakin transparan. Khusus dalam bidang keuangan, mulai terungkap hal-hal yang mengejutkan. Pada 1988, tahun pertama M. Soeparno menjabat sebagai direktur utama (Dirut), ia tanpa ragu-ragu mengumumkan bahwa Garuda berhasil meraih untung Rp 129 milyar. Tahun berikutnya jumlah "laba" meningkat sehingga pada tahun 1991 mencapai Rp 239 milyar. Jumlah ini termasuk besar, kendati merosot Rp 91 milyar -- gara-gara Perang Teluk -- jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Tidak banyak yang menyadari bahwa laba Garuda itu semu adanya. Kecuali orang dalam Garuda sendiri, hanya sedikit yang mengetahui bahwa Garuda memang belum mungkin meraup laba. BUMN ini harus mencicil utang untuk ekspansi armadanya, yang dilakukan sejak periode kepemimpinan Wiweko. Pengamat ekonomi Christianto Wibisono adalah salah seorang yang paham betul bahwa gembar-gembor laba Garuda sungguh patut dan perlu dipertanyakan. Manakala Christianto terang-terangan mendebat masalah laba Garuda itu -- kalau tidak salah tahun 1989 -- Soeparno menyangkal dengan keras. Tapi apa yang diragukan Christianto baru-baru ini mendapat dukungan dari seorang pejabat tinggi di Departemen Keuangan. "Jangankan secara total (maksudnya Garuda beserta semua anak perusahaannya), secara operasional pun masih merugi," kata pejabat yang tidak mau disebut namanya itu. Ia langsung menyodorkan bukti. Katanya, untuk pembelian pesawat, semua biaya masih mengandalkan kas Pemerintah. Pejabat itu pun menganjurkan untuk mengecek ke DIP (Daftar Isian Proyek) Departemen Perhubungan. Selain itu, Garuda juga masih memperoleh subsidi dari Pemerintah. Dalam hal pembayaran cicilan utang luar negeri, misalnya. Setiap tahun, sekitar Rp 100 milyar dari pajak bunga utang yang seharusnya masuk ke kocek Pemerintah dihibahkan pada Garuda. Begitu juga utang pokoknya. Menurut sumber tersebut, utang pokok Garuda selama ini menjadi beban Departemen Perhubungan. "Jadi, omong kosong kalau ada yang bilang Garuda untung. Sebuah BUMN baru bisa disebut melaba jika BPKP menilai pembukuannya no opinion alias wajar tanpa syarat," katanya lagi. Mungkin karena itulah, sumber TEMPO ini menganggap, tugas Wage Mulyono sebagai Dirut Garuda sangat berat. Yang harus cepat dilakukan adalah membuat Garuda efisien. Isyarat serupa pernah juga dilontarkan oleh Menteri Perhubungan Azwar Anas. Dan Wage cepat tanggap. Pekan lalu, ia langsung mengkaji berbagai langkah kebijaksanaan yang telah diambil oleh pendahulunya. Kapten Garuda ini semakin mantap dengan gagasannya semula, yakni mengurangi jenis pesawat. Menurut rencana, kelak Garuda hanya akan menggunakan tiga jenis pesawat saja (di antaranya Boeing 747 dan Airbus). Sisanya, seperti Fokker 28 dan DC 9, akan diserahkan pada Merpati Airlines. Wage berpendapat, ini penting karena semakin banyak jenis pesawat, semakin besar biaya yang dihamburkan. Jaminan keamanan pun menjadi lebih tipis. Coba saja lihat Singapore Airlines. "Mereka bisa efisien karena hanya mengoperasikan dua jenis pesawat, Boeing 747 dan Airbus," katanya. Tidak puas dengan penyusutan jenis pesawat, pekan lalu Wage menyatakan bahwa pihaknya akan meninjau kembali pemesanan 34 pesawat yang bernilai beli US$ 3,6 milyar. Kemungkinan besar, nilai pesanan itu akan menciut banyak. Sebab, selain mencoret rencana pengadaan sembilan pesawat jumbo mutakhir Boeing 747-400, lima pesawat MD-11 yang sudah dipesan pun ada kemungkinan masuk kotak. Airbus 330 yang akan diterima tahun 1997 terancam batal. Karena, Wage melihat bahwa Airbus 300 yang dimiliki Garuda sekarang masih menguntungkan. Paling tidak, dengan suku cadang yang memadai, masih efisien hingga 10 tahun kemudian. Yang juga akan ditinjau adalah penyewaan Airbus 300-600 dari Australia, karena sewanya dianggap terlalu tinggi. Untuk mengatasi kekurangan armada, 12 pesawat F-100 yang dipesan Merpati akan dioperasikan dulu oleh Garuda. Selain membenahi armada, Wage juga akan mengalihkan teropongnya ke para awak pesawat yang dinilai belum mampu meningkatkan mutu pelayanan. Sementara itu, biro-biro perjalanan yang merupakan biang keladi tidak tepatnya Garuda memenuhi jadwal juga tak luput dari ancaman. Kata Wage, agen Garuda yang melakukan booking fiktif -- menyebabkan banyak penumpang tidak memperoleh tiket, padahal bangku pesawat masih banyak yang kosong -- akan dikenai denda seharga tiket. Hal itu terjadi karena banyak agen yang tidak melayani penumpang baru, tetapi sudah mencadangkan tiketnya untuk penumpang lain. Anehnya, ke kantor Garuda mereka melapor bahwa tiket terjual habis dengan menggunakan nama-nama fiktif. Nah, agen-agen model inilah yang akan terkena sanksi. Selain memperingatkan agen perjalanan, Garuda akan melakukan operasi besar-besaran di kalangan karyawannya. Bahkan, setahun atau dua tahun lagi, pembersihan akan sampai ke tingkat direksi. Alasannya cukup masuk akal. Pemerintah menginginkan agar Garuda berusaha lebih profesional. Bagian teknik, misalnya, harus dipegang orang teknik. Kalau tidak, dia akan terus dikibuli. "Dan ini jelas akan memperbesar kebocoran," kata sumber tersebut. Budi Kusumah dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini