PENYAKIT juga ada kelasnya. Sakit jantung, darah tinggi, atau stroke, misalnya, itu "pakaian" orang kaya. Sampai ada olok-olok: mustahil ada orang miskin kena serangan jantung. Tapi iya, kalau cacingan, TBC, diare, atau kaki gajah. Cuma AIDS yang konon nekat melanda tanpa pandang kelas. Akan halnya kaki gajah atau filariasis -- sampai kini masih dicarikan obatnya yang pas -- memang biang keladinya lingkungan yang kumuh. Apalagi kalau banyak nyamuk. Klop. Sebab, penularan parasitnya yang berupa cacing halus adalah melalui aneka jenis nyamuk. "Cara yang tepat mencegah adalah membunuh cacingnya yang dewasa," kata Dr. C. Ginger, Manajer Proyek Kemoterapi Makrofilaria dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Cacing ini hidup di daerah tropis yang lingkungannya kumuh dan banyak nyamuk. Ya, kawasan miskin. Di Indonesia ada tiga jenis filaria: Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia timori. "Hampir semua jenis nyamuk dapat menularkannya," kata dr. Suriadi Gunawan, D.P.H., Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular atau P3M. Bila tidak segera diobati, cacing halus ini masuk ke darah dan menyumbat saluran limfe. Timbul bengkak luar biasa. Penderita bisa cacat jika tak segera diobati. Yang bengkak bukan hanya tangan atau kaki, tapi bisa menimpa payudara atau testis pada pria. Dalam catatan WHO, lebih dari 730 juta orang yang berisiko kena penyakit ini. Sekitar 78 juta sudah dirasuki parasit itu. Lebih dari 52 juta di Asia Pasific, dan di Indonesia diperkirakan lebih dari 20 juta yang berpeluang terjangkit. Di antaranya, sekitar 4 juta sudah terinfeksi. Gejala awalnya demam 3 atau 4 hari, yang menghilang tanpa diobati. Demam itu muncul lagi 1 atau 2 bulan kemudian. Disusul benjolan dan rasa nyeri pada lipatan paha atau ketiak. Juga, akan teraba garis seperti urat warna merah dan terasa sakit dari benjolan ke arah ujung kaki atau tangan. Membesarnya kaki atau tangan hilang timbul. Tapi akhirnya menetap. Meski kaki gajah bukan tergolong penyakit maut, penderitanya bisa kehilangan pekerjaannya. Bisa rendah diri. Dari filaria bentuk mikro sampai bengkak hebat, prosesnya 10 sampai 20 tahun. Untunglah, ada kabar baik dari laboratorium P3M Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, yang dikelola bersama dengan Naval Medical Research Unit (Namru), Jakarta. Di sini bisa dibiakkan filaria Brugia Malayi secara in vitro. Secara teoretis mudah. Sebab, metodenya sudah diketahui hampir semua ahli parasitologi. Tapia belum ada yang berhasil. Adalah Wiwiek Riberu, 45 tahun. Petugas lab berpengalaman 20 tahun ini mengaku iseng pada 1989. Dengan cara in vitro -- di luar tubuh atau di tabung laboratorium -- ia membiakkan cacing filaria dari tikus gerbil, sejenis tikus kecil berkaki belakang dan ekor panjang. Dari gerbil diinfeksikan ke nyamuk. Larva filaria hidup di tubuh nyamuk 9-10 hari. Selanjutnya, larva dikeluarkan dari nyamuk dengan cara seksio. Lalu dipindahkannya ke tabung laboratorium. Dalam uji coba ini, Wiwiek berkonsultasi dengan Dr. Eileen D. Franke, parasitolog yang pernah mengepalai Namru di Jakarta. Franke telah berhasil pula membuat in vitro filaria jenis Wuchereria bancrofti. Larutan yang dipakai Wiwiek sama dengan penemuan Franke. "Dia itu guru saya," kata Wiwiek, yang mengaku lulusan SMA ini. Penemuannya ini sudah disebarkan lewat The American Sosiety of Tropical Medicine and Hygiene, buletin kesehatan yang andal di Amerika Serikat, tahun lalu. "Ada yang nggak percaya," ujar Wiwiek. Namun, ia boleh bangga, penemuannya dibahas dalam lokakarya empat hari di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, pekan lalu. Topik lokakarya adalah "In Vitro Cultivation of Brugia Malayi and Other Filarids" dan dihadiri 14 ahli parasitologi dari India, Malaysia, Muangthai, Filipina, Sri Lanka, dan Indonesia. Dan Wiwiek menggelar metode yang telah dikerjakannya itu. "Penelitian di laboratorium lebih memberi peluang. Sebab, baru kali ini mikrofilaria bisa dibiakkan di luar tubuh. Bukan dicobakan pada manusia," ujar Franke. Dari sini akan terbuka kemungkinan membuat obat yang tepat atau bahkan vaksin filariasis. Sementara ini memang baru Diethylcarbamacyne (DEC) yang dipakai mengobati kaki gajah. Obat ini keras. Akibat sampingnya banyak, terutama bisa menimbulkan nyeri luar biasa di sekujur tubuh. Itu sebabnya, ada yang tidak berani berobat. Jumlah penderita pria ternyata lebih banyak. Mungkin lantaran lebih sering keluar rumah, dan digigit nyamuk. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini