ASEAN sudah berusia hampir 25 tahun. Berbagai prakarsa untuk mendorong kerja sama ekonomi di antara para anggotanya sudah dicoba sejak KTT I di Bali tahun 1976 sampai KTT III di Manila tahun 1987. Tata Perdagangan ASEAN (PTA), Proyek Industri ASEAN (AIP), Kerja Sama Industri ASEAN (AIC) dan Usaha Patungan Industri ASEAN (AIJV) termasuk di antaranya. Walaupun dalam seperempat abad ini para anggota ASEAN cukup berhasil dalam transformasi ekonomi, dan bahkan kini dijuluki sebagai kawasan pertumbuhan baru, prakarsa ekonomi ASEAN praktis tidak berperan dalam kemajuan ini. Program kerja sama ekonomi ASEAN selama ini terlalu berorientasi ke dalam, padahal pasar gabungan ASEAN masih kecil. Kelemahan lain terletak dalam orientasi kerja sama pada pemerintah, padahal yang berdagang adalah perusahaan, termasuk BUMN. Jangan-jangan, program kerja sama ekonomi dalam ASEAN tidak lebih dari polesan kosmetis. Sebab, program yang benar-benar ditangani ASEAN dengan serius selama lebih dari 10 tahun ini adalah politik, khususnya masalah Kamboja. Akankah KTT IV Singapura 27-28 Januari 1992 akan merupakan kejadian historis dalam bidang ekonomi, sebagaimana KTT Bali yang merupakan kejadian historis dalam bidang politik melalui penandatangan Treaty of Amity? Peluangnya ada. Beban politik ASEAN sudah berkurang setelah redanya kemelut di Kamboja. Kalaupun ada, persoalan politik yang akan dihadapi ASEAN dalam tahun-tahun ini adalah persoalan lokal seperti suksesi di Filipina, Indonesia, Muangthai, dan Malaysia. Itu bukan urusan ASEAN, tapi lebih merupakan urusan dalam negeri tiap anggotanya. Di samping itu, para pemimpin politik, ekonomi, dan masyarakat di ASEAN juga cukup sadar akan perubahan-perubahan besar di dunia. Penonjolan ekonomi dalam politik bangsa-bangsa, liberalisasi yang hampir universal, kebangkitan Asia Timur, kebangkrutan Eropa komunis, pemudaran sosialisme sentralistis di Indocina dan Cina, penggenapan integrasi Eropa Barat, kemungkinan perluasan Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara, adalah kekuatan-kekuatan besar yang mengharuskan ASEAN diletakkan di atas proposisi-proposisi baru. ASEAN sendiri bukan lagi kawasan kerdil menurut indikator ekonomi. Perdagangan intra-ASEAN yang dulu terpukul oleh resesi dunia sudah memulih ke sekitar 20% dari perdagangan total, walaupun cenderung semakin berpusat pada segi tiga Singapura, Malaysia dan Thailand. Sebagai kawasan investasi, ASEAN juga masih sangat menarik. Sampai batas tertentu, ASEAN sudah diintegrasikan oleh investasi Jepang dengan dampak positifnya terhadap perdagangan tiap-tiap anggota. Tidak takabur menantikan akselerasi ekspansi perdagangan negara-negara ASEAN dalam tahun-tahun dekat selama tidak ada kekeliruan fatal seperti "Honasanisme" yang menimpa Filipina, yang membuat para pedagang dan pemodal ketakutan. Pejabat tinggi politik dan ekonomi sudah mempersiapkan agenda substantif bagi KTT IV Singapura. Dalam 15 tahun sejak 1992 ASEAN divisikan akan sudah menjadi Kawasan Perdagangan Bebas (AFTA). Entah kenapa dipilih 15 tahun. Tetapi itu tidak begitu penting. Yang lebih penting lagi adalah masa 15 tahun tersebut sebagai transisi, saat AFTA diimplementasikan secara bertahap atas dasar CEPT (Common Effective Preferential Tariff) atau Tarif Preferensial Efektif Bersama yang bertingkat 0-5%. Senja KTT IV di Singapura ditandai oleh optimisme setelah menteri-menteri ekonomi Indonesia, khususnya Menteri Perindustrian, menyatakan bahwa barang modal pun akan tercakup dalam CEPT. Ini adalah suatu kemajuan. Tetapi, kalau sejarah mempunyai nilai prediktif, harus dikatakan bahwa masalah ASEAN tidak terletak dalam kemauan atau ketidakmauan pemimpin pemerintah untuk mengumumkan prakarsa baru, melainkan dalam kekakuan, kalaupun bukan kepicikan birokrat dalam implementasi. Yang membuat gagal PTA adalah kelicikan timbal balik dari birokrat untuk memasukkan ke dalamnya hanya produk-produk yang tidak relevan dalam perdagangan ASEAN. Latihan saling membodohi ini terjadi dalam banyak sekali pertemuan yang dibayar dengan uang pajak. Memang sulit dipercaya bahwa kekakuan selama 25 tahun akan hilang karena satu KTT. Rasa senasib, sesejarah, dan semasa depan yang terjadi di Eropa Barat -- dalam menghadapi kekejaman persaingan ekonomi dunia -- belum lagi terkristalisasi di ASEAN yang majemuk ini. Jangan-jangan, AFTA dan CEPT juga akan menderita nasib yang sama. Tetapi harapan tetap ada. Pejabat tinggi Indonesia kini sudah lebih percaya diri sesudah menyaksikan maraton deregulasi ternyata bermuara pada perbaikan daya saing internasional. Karena itu, politikus, peneliti, pedagang, industriwan, dan manajer perlu lebih akrab dengan ASEAN. Mulai awal tahun 1993, persaingan yang harus dihadapi perusahaan Indonesia akan semakin tajam, dengan hadirnya pedagang dan industriwan Singapura, Muangthai, Malaysia, dan Filipina dengan logat Inggris yang berbeda-beda memperebutkan secara kian leluasa apa saja yang dapat ditransformasikan menjadi dolar. Itu berarti pekerjaan rumah yang besar dalam bentuk "penyesuaian" bagi pemerintah, masyarakat bisnis, dan penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini