BARANG siapa yang berkantor atau berusaha di kawasan permukiman di Jakarta kini mesti siap-siap boyong ke tempat yang lebih sesuai dengan peruntukannya. Gubernur Wiyogo, awal Mei lalu, mengeluarkan instruksi No. 135 Tahun 1988, yang mempertegas larangan berkantor -- bagi yang izinnya sudah jatuh tempo -- di kawasan permukiman. Perpanjangan izin tak bakal diberikan lagi. "Kenyamanan daerah permukiman harus diperhatikan. Daerah permukiman tak boleh bercampur-baur dengan tempat usaha tertentu yang mengganggu lingkungan. Apa mau bertetangga dengan disko?" ujar Gubernur Wiyogo sembari tertawa, ketika dihubungi TEMPO lewat telepon di Yogyakarta, Jumat lalu. Wiyogo pada tahap awal ini akan menertibkan kawasan Menteng dan Kebayoran Baru. Di kedua kawasan yang sudah mapan itu, kini dengan mudah dijumpai rumah yang berubah fungsi menjadi kantor, toko, salon kecantikan, praktek dokter bersama, kantor pengacara, kantor yayasan, sampai panti pijat. Saking bervariasinya jenis usaha atau perkantoran di sana, Pemda DKI sendiri tak tahu persis berapa jumlahnya. "Karena itulah kami melakukan inventarisasi terlebih dahulu," kata Ir. Erry Chayandipura, Kepala Dinas Tata Kota DKI. Sebenarnya, untuk membuka kantor atau tempat usaha, diperlukan perizinan yang cukup banyak. Ada keterangan domisili yang dikeluarkan kelurahan, izin undang-undang gangguan, izin usaha, dan izin dari Dinas Tata Kota -- selain IMB, tentu. Menurut Kepala Humas DKI, Sudarsin, Pemda tidak memberikan izin khusus kecuali izin UU gangguan tadi, yang masa berlakunya tiga tahun. Sedangkan izin usaha yang dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Perdagangan DKI masa berlakunya lima tahun, dan bisa diperpanjang lagi. Langkah-langkah yang kini diayunkan Wiyogo tak jauh beda dengan jurus Gubernur Ali Sadikin. Bang Ali, pada 1972, mengeluarkan Keputusan Gubernur No. Bd. 3/24/19/1972 yang melarang menggunakan rumah tempat tinggal untuk kantor ataupun tempat usaha. Inilah SK Gubernur yang kemudian dipertegas dengan instruksi Wiyogo itu. Bang Ali memberi batas waktu sampai akhir 1976. Lalu pada 24 Maret 1977, dibentuk tim inventarisasi kantor dan tempat usaha, dengan proyek pertamanya di Menteng dan Kebayoran Baru. Jerih payah anggota Tim dikompensasikan dengan honoranum, yang dananya diambilkan dari APBD DKI 1977/1978. Tak jelas sampai sejauh mana tim berhasil mengumpulkan data. Tapi sejak Bang Ali selesai tugas, tak terdengar lagi upaya Pemda DKI mengamankan daerah perumahan. Lalu ketika R. Soeprapto menjabat Gubernur DKI, sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) meminta Pemda DKI tak memperpanjang izin bagi perkantoran di perumahan. "Tapi waktu itu Pak Prapto cuma bilang akan dipertimbangkan," ujar Deddy Kusuma, salah satu Ketua REI yang kelompoknya memiliki gedung bertingkat Wisma Metropolitan dan Wisma Indocement ini. Maka, ketika REI menghadap Wiyogo beberapa bulan lalu, mereka sekali lagi minta penegasan soal itu. Di balik itu memang ada perasaan tak sedap yang lama dipendam sendiri. Soalnya, sudah tiga tahun ini, tarif sewa gedung perkantoran kelas menengah dan utama di Jakarta anjlok sampai tingkat US$ 7 dan paling tinggi US$ 10/m2/bulan belum termasuk service charge. Penurunan tarif itu mulai terasa sejak 1985, saat suplai gedung perkantoran mendekati 200.000 m. "Kalau sewanya cuma US$ 10/m2/bulan, buat bayar bunga kredit konstruksinya saja sudah pas-pasan," kata pemilik gedung perkantoran yang arsitekturnya unik, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Sejak itulah, orang mulai enggan membenamkan uang di bisnis property. Dan pembangunan gedung-gedung bertingkat merosot. Sampai akhir tahun ini, menurut perkiraan konsultan property PT Procon Indah Jones Lang Wootton, hanya ada suplai 73.000 m2. Tapi dari suplai baru itu, 53.000 m2 berada di Gedung Bank BNI di Jalan Sudirman, yang 80% bakal ditempati BNI sendiri. Namun, masih ada kelebihan suplai seluas 100.000 m2. Kelebihan ruangan ini terpencar pada 25 gedung perkantoran bertingkat. Artinya, rata-rata tingkat pengisian gedung di Jakarta sudah cukup tinggi, mendekati 80%. Diperkirakan tahun depan sudah tercapai titik balance antara penawaran dan permintaan. Sesudahnya, tarif sewa akan naik satu dua dolar. Ini hanya mungkin, karena sebagian pemilik gedung menjejali gedungnya dengan sejumlah anak perusahaannya. "Wisma Dharmala Sakti 30% ruangannya diisi oleh lebih dari 20 anak-anak perusahaan Dharmala Group," ujar Frank Lamer, manajer pemasarannya. Sedangkan Chase Plaza memasukkan 19 anak perusahaan Gunung Sewu Group. Kecenderungan serupa dapat dilihat pada Gedung Astek, Gedung BRI, Wisma Indocement, Gedung BDN, Bank Duta, Bimantara, Bumi Daya Plaza, Wisma Papan Sejahtera, Wisma BCA, dan Mid Plaza. Dan menurut pengamatan Michael Williams, mitra Procon Indah, "Selama Januari sampai Juni 1988 ini, tak ada penyewa baru masuk ke gedung perkantoran kelas utama. Yang terlihat hanya perpindahan penyewa dari satu gedung bertingkat ke gedung bertingkat lainnya." Sementara itu, pemilik gedung perkantoran tetap saja menduga, sebab utama kelebihan suplai ruangan, karena masih banyaknya perusahaan berkantor di perumahan, selain masih terpengaruh oleh turunnya harga minyak bumi. Seorang pemilik gedung perkantoran kelas tiga di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, mengeluh, "Uangnya nggak seberapa, tapi urusannya banyak." Bagaimanapun, Gubernur Wiyogo, menurut kalangan developer, akan bertindak konsekuen. Ini berdasar pengamatan mereka terhadap sikap Wiyogo, dalam menangani pelbagai keruwetan di DKI. Tapi sebuah sumber di Balai Kota memperkirakan, akan sulit menggusur begitu saja perkantoran dari daerah perumahan. "Wirausahawan yang baru mulai belum tentu langsung mampu menyewa kantor," katanya. Bachtiar Abdullah dan Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini