"APALAH nama?" kata Shakespeare sekian abad yang lalu. Tapi bagi pengusaha, nama itu bagaikan jimat atau hoki. Tidak aneh kalau ada yang merasa perlu berganti nama berikut logo, seperti dilakukan Bank Negara Indonesia 1946, pada HUT-nya ke-42 pekan lalu. Sebelumnya, logo BNI 1946 mirip kaligrafi, berupa untaian tiga huruf (B, N, dan I), dengan angka 1946 di bawahnya. Sekarang, sebagai penggantinya, dipilih gambar perahu yang sedang berlayar di atas tiga ombak. Dan namanya ikut berubah, menjadi: Bank BNI. Tanpa embel-embel angka 1946. Ini tentu akan mengundang rasa heran para nasabahnya. Bagaimana tidak? BNI adalah singkatan Bank Negara Indonesia. Nah, bila ada kata "bank" di depannya, maka nama yang baru itu -- kalau dibaca lengkap menjadi: Bank Bank Negara Indonesia. Padahal, yang namanya BNI cuma satu, dari dahulu sampai tahun 2000, barangkali. Orang boleh merasa aneh. Tapi tidak demikian dengan perancang logo dan pemesannya. "Ini merupakan lambang baru khas Indonesia yang sangat menarik, di samping memiliki nilai komersial," kata Somala Wiria, Direktur Utama Bank BNI, yang Agustus depan habis masa jabatannya. Ia lalu menjelaskan apa yang dimaksud khas Indonesia itu. Perahu layar yang berwarna merah cabai, dengan tiga ombak biru itu, misalnya. Konsepnya diambil dari sejarah kejayaan nenek moyang kita, yang sebagai bangsa bahari berani menghadapi tantangan samudra. Menurut Somala, bahtera ini merupakan lambang yang tepat. Maklum, sebagai bank yang besar, BNI memang menghadapi banyak tantangn, seperti tergambarkan pada tiga ombak itu. Sedangkan BNI bukan lagi singkatan, tapi sudah diangkat jadi nama seutuhnya. "Karena itu, di depannya ditambah kata bank," ujar Somala. Pertimbangannya, setelah dilakukan survei, ternyata BNI merupakan tiga huruf yang paling sering digunakan orang. Artinya, lebih sedikit orang yang menyebut dengan lengkap: Bank Negara Indonesia. Sehingga, Somala merasa perlu menegaskan identitas usahanya sebagai bank. Kalau dihitung, sejak didirikan pada tahun 1945 -- dengan nama Yayasan Poesat Bank Indonesia -- BNI sudah empat kali mengganti identitasnya. Orang-orang yang sudah lanjut usia mungkin masih ingat bahwa pada 5 Juli 1946, bank itu beroleh nama baru: Bank Negara Indonesia, lalu pada tahun 1965 berubah menjadi Bank Negara Indonesia Unit III. Tiga tahun kemudian, 1968 BNI dibaptis lagi dan tampil dengan nama Bank Negara Indonesia 1946. Di samping nama kerap diganti, personelnya pun sering dipindah-pindah. Seperti diakui oleh Somala, "Sejak empat tahun lalu dalam tubuh BNI terjadi reorganisasi." Tujuannya, konon, semata-mata untuk meningkatkan pelayanan pada nasabah. Apalagi setelah muncul deregulasi dan debirokratisasi, yang secara langsung mempengaruhi gerak perbankan. "Kami harus bersaing ketat, dan salah satu caranya adalah dengan membangun citra yang kompetitif," ujarnya. Cukup banyak usaha yang telah dilakukan dirut yang telah memimpin BNI selama 10 tahun ini. Lihat saja kekayaan BNI, yang melonjak dua kali lipat lebih dalam jangka lima tahun (pada 198 hanya sekitar Rp 5 trilyun, kini Rp 12 trilyun). Seiring dengan itu, keuntungannya ikut melonjak. Dari Rp 79,5 milyar pada lima tahun lalu, menjadi Rp 106,6 milyar pada tahun lalu. Bahkan kabarnya, selama periode Januari-Maret 1988, laba yang diraih sudah mencapai Rp 36 milyar. Belum lagi pelebaran cabang-cabangnya yang semakin merebak. Kini, selain memiliki 12 kantor wilayah dengan 201 cabang dan 24 cabang pembantu plus 52 kantor kas, di bawah kepemimpinan Somala, BNI bisa membuka cabang di New York, London, Tokyo, Bahrain, dan Singapura. Dan satu hal lagi. Logo baru ini merupakan produk dalam negeri, dipesan pada PT Polygon Matra. Untuk logo yang kontroversial itu, Somala mengeluarkan Rp 370 juta. Budi Kusumah dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini