Setelah enam bulan, Mekatama baru menjaring 45% dari iuran TV yang ditargetkan. Benarkah penarikan iuran disubkontrakkan ke pihak lain? Kalau tak mencapai target, bagaimana? PAMOR Kantor Pos tercoreng, ketika TVRI menjerit lantaran uang iuran TV terlalu sedikit. Akibatnya, sejak akhir tahun lalu tongkat penagihan bergulir pada PT Mekatama Raya, perusahaan swasta yang dipimpin konglomerat Henry Pribadi. Dengan swasta bertindak sebagai penagih aktif, diharapkan jumlah iuran yang mengalir ke kocek TVRI akan bertambah besar. Hal ini tecermin dalam perjanjian antara TVRI dan Mekatama, yang menyebutkan bahwa untuk tahun anggaran 1991-92, perusahaan swasta itu sanggup menyetor iuran Rp 90 milyar. Ini berarti, sekitar Rp 25 milyar lebih tinggi dari yang biasa disetorkan oleh Kantor Pos. Dan jumlah itu akan direvisi setiap tahunnya. Jadi, mungkin saja setoran di tahun-tahun mendatang akan lebih besar. Apalagi diperkirakan, jumlah pesawat TV di Indonesia ada sekitar 12 juta buah, yang setiap tahun terus bertambah. Katakanlah, iuran rata-rata per TV Rp 1.500 (iuran termurah Rp 500 untuk TV hitam putih 16 inci ke bawah, dan Rp 3.000 untuk yang 20 inci ke atas). Dari perhitungan ini saja, Mekatama akan mengantungi sekitar Rp 216 milyar setahun. Namun, banyaknya pesawat TV bukan saja menggambarkan keuntungan yang menggiurkan, tapi juga membawa keruwetan. Soalnya, menarik iuran 12 juta pesawat TV di seluruh Indonesia bukanlah perkara mudah. Agaknya, karena itu pula Mekatama mengambil jalan pintas. Bagaimana? Perusahaan ini menawarkan hak tagih iurannya kepada pengusaha-pengusaha di daerah. Di Jawa Barat, proses penagihan iuran baru dapat dilaksanakan pekan ini. Artinya, kalau dihitung sejak Mekatama memegang hak tagih, penagihan di Ja-Bar tertunda lebih dari setengah tahun. Menurut sumber TEMPO, keterlambatan ini disebabkan alotnya tawar-menawar antara Mekatama dan beberapa pengusaha di sana. Konon, pernah ada pengusaha yang sanggup menyetor Rp 4 milyar. Tapi belakangan, Mekatama malah memberikan hak tersebut kepada seorang anak pejabat tinggi di Jawa Barat, dengan setoran Rp 3,5 milyar sebulan. Langkah serupa, kabarnya, dilakukan pula di lima koordinator wilayah (korwil) penagihan. Tapi semua itu dibantah oleh Tri Goestoro, Kepala Sub-Korwil Ja-bar. Sistem kontrak antara Mekatama dan pengusaha daerah, menurut Goestoro, sama sekali tidak ada. Memang, berapa bulan lalu, pernah ada beberapa pengusaha yang menawarkan diri sebagai penagih. Namun, pihak Mekatama keberatan. "Karena belum adanya data TV di Ja-Bar dan Kalimantan (Korwil III)," katanya. Sebuah alasan yang masuk akal, kendati belum tentu benar. Soalnya, Alex Iskandar, Direktur Operasi Mekatama Raya, punya kilah yang lain. Katanya, hubungan dengan pengusaha swasta memang ada, tapi tidak dengan sistem kontrak. Mekatama hanya mengalihkan penagihannya. "Jadi, untung atau rugi kami tetap ikut menanggung dan menikmati. Tidak ada kontrak-kontrakan," Alex menegaskan. Entah mana yang benar. Yang jelas, menagih iuran TV merupakan kerja besar yang membutuhkan profesionalisme. Dan Mekatama tampaknya belum profesional betul. Buktinya, tengok saja teknik penagihan yang digunakan selama ini. Semula, Mekatama hanya menempatkan seorang karyawan yang bertugas mengkoordinir di tingkat kecamatan. Padahal, yang namanya kecamatan di Indonesia merupakan sebuah areal yang sangat luas. Dan itu baru disadari belakangan. Sehingga, baru awal Juli ini Mekatama mengalihkan luas areal itu dari kecamatan ke kelurahan. Langkah revisi ini jelas menambah beban biaya. Di DKI Jakarta, untuk 43 karyawan yang ditempatkan di 43 kecamatan, semula Mekatama hanya membutuhkan Rp 10.750.000 per bulan. Kini setelah diubah menjadi tingkat kelurahan, biaya untuk koordinasi ini membengkak menjadi 5,5 kali lipat lebih besar. Sementara itu, sekalipun biaya bertambah, "kami tetap akan untung," ujar Alex, yang memperkirakan biaya penagihan hanya 10% dari total omset tagihan. Namun, ia belum mau memperkirakan. berapa kira-kira laba yang bisa diraih Mekatama. Hanya saja, Alex mengatakan, perusahaannya sudah berhasil mengumpulkan iuran sebanyak 45% dari target, atau sekitar Rp 40,5 milyar. "Saya yakin, hingga akhir tahun ini, target yang Rp 90 milyar akan tercapai," katanya. Alex boleh optimistis, tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, hingga Juni yang baru lalu ditargetkan akan terjaring 20 ribu pesawat TV. Tapi malang tak dapat ditolak, yang bisa dijangkau baru sekitar 11 ribu pesawat. Target semula 50 TV sehari, "Saya hanya berhasil menggarap 20 pesawat saja," ujar Sutini terus terang. Ia bertugas sebagai kolektor di Menteng. Penyebabnya macam-macam. Misalnya saja, banyak penghuni rumah sedang tidak ada di tempat ketika penagih datang. Atau, kalaupun ada, sang kolektor iuran hanya disambut oleh gong-gongan seekor herder. "Daripada digigit anjing, kan lebih baik menghindar," seorang kolektor berdalih. Itulah sebabnya, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut -- terutama untuk menghadapi pemilik TV dari kalangan menengah atas yang sulit dihubungi -- Mekatama akan membuat semacam surat pemberitahuan berupa stiker. Pada stiker tersebut akan dicantumkan bahwa seorang kolektor iuran TV telah datang, dan akan datang lagi pada suatu hari -- tanggal yang jelas disebutkan juga di stiker -- untuk menagih iuran TV. Apakah dengan cara begini Mekatama bisa menepati kontraknya dengan TVRI? Inilah yang nanti perlu dibuktikan. Budi Kusumah, Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini