KREDIT macet tampaknya akan menjadi isu yang dibicarakan sepanjang tahun. Ketika Direktur BI, Mansyurdin Nurdin, pada pertengahan September ini berbicara tentang rencana Bank Indonesia membentuk sebuah loan committee, banyak yang menafsirkan komite itu akan menata urusan kredit macet. Padahal, ternyata tugas utamanya adalah menyeleksi kredit- kredit besar dalam upaya agar kredit itu kelak tidak menjadi macet. Perkara loan committee ini sempat juga ditanyakan TEMPO kepada Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, yang sedang mengikuti sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington. Ia menegaskan bahwa setiap bank harus mempunyai komite kredit. Tugasnya? ''Menentukan apakah kredit layak diberikan atau tidak. Dan mekanisme ini diperlukan terutama untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh direktur kredit,'' ujarnya. Dengan demikian, komite pinjaman itu tak berkaitan langsung dengan upaya mencari solusi bagi kredit bermasalah. Fungsi komite itu adalah berjaga-jaga agar bank tidak terjebak oleh kredit macet. Katakanlah semacam pengamanan tingkat awal. Tapi kalau pinjaman sudah telanjur macet? Jalan keluarnya, seperti pernah disarankan oleh salah seorang direktur BI, adalah membentuk sebuah lembaga yang bertindak sebagai pembeli kredit macet. Nama lembaga ini adalah Cooperative Credit Purchase Company. Namun, usul ini langsung kandas. Soalnya, di dunia perbankan Indonesia berhubung ada kolusi antara pengusaha dan bankir banyak kredit yang disalurkan tanpa studi kelayakan usaha. Walhasil, selain akan menghadapi masalah pengadaan dana, lembaga pembeli kredit ini pasti dihadang risiko yang sangat besar. Adapun komite pinjaman yang disebutkan di atas, tugasnya sungguh tak ringan. Menentukan layak atau tidaknya kredit yang akan disalurkan, misalnya, tentu menuntut kajian yang akurat. Sementara komite ini bekerja, bank sentral terus melakukan pemantauan yang ketat. Menurut Soedradjad, Bank Indonesia juga akan memberikan semacam bantuan khusus untuk memperbaiki kinerja bank yang bersangkutan. Beberapa bankir tampak mulai memikirkan rencana ini. Bank BNI, contohnya, telah membentuk sebuah tim khusus yang mengurusi kredit bermasalah. Posisinya langsung di bawah Dewan Komisaris BNI. ''Secara periodik, tim ini melakukan pertemuan untuk membahas perkembangan penyelesaian kredit-kredit bermasalah,'' kata Pintor Siregar, Direktur Korporasi BNI. Bankir dan pengamat ekonomi Priasmoro Prawiroardjo menanggapi rencana itu dengan positif. ''Memang merupakan kewajiban BI untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat,'' katanya seraya menambahkan bahwa pengawasan yang dilakukan selama ini belum efektif. Akibatnya, BI kebobolan. Lalu ia menyebutkan kasus Bank Summa. Agar tidak kecolongan, ada baiknya aparat BI tidak hanya sekadar membaca laporan bankir. Selain bisa direkayasa, laporan bank juga tidak berbicara banyak. ''Jadi, tugas utama komite kredit adalah mengungkapkan apa sebenarnya yang ada di balik laporan tersebut,'' kata Priasmoro. Dengan demikian, jika ditemukan adanya kecurangan, otoritas moneter bisa langsung mengambil tindakan. ''Jangan sampai kebocoran baru terbongkar setelah yang bertanggung jawab tidak lagi berada di posnya,'' Priasmoro menambahkan. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini