Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah terobosan dari bni

Bni memelopori penurunan suku bunga deposito menjadi 8, 9, dan 11 persen. sejumlah bank asing di jakarta telah mengikuti langkah itu. apakah deposan akan lari, bunga kredit akan turun?

2 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBARAN sejarah baru sedang digelar oleh dunia perbankan di Indonesia. Untuk pertama kali sejak tahun 1983 ketika Bank Indonesia melepas kendali suku bunga deposito bank-bank pemerintah para deposan dan penabung hanya ditawari bunga di bawah 10% (untuk deposito berjangka 1 bulan, bunganya 8%, dan deposito berjangka 3 bulan bunganya 9%). Penurunan suku bunga ini mirip terobosan, terjadi akhir pekan lalu, dan dipelopori oleh Bank BNI. Tapi, sementara deposito 1 dan 3 bulan bunganya sudah di bawah 10%, deposito 6 dan 12 bulan tingkat suku bunganya masih 11%. Nah, karena masih harus dipotong pajak 15%, imbalan riil untuk para deposan kini benar- benar single (berangka tunggal) alias di bawah 10%. Kebijaksanaan BNI itu semula terkesan nekat. Sebab, selama ini para bankir berpendapat, suku bunga deposito di Indonesia selalu dikaitkan pada angka inflasi rupiah ditambah depresiasi atau penyusutan nilai rupiah terhadap dolar. Kalau inflasi per tahun diperkirakan 9%, lalu depresiasi rupiah 5%, suku bunga deposito yang wajar adalah 14% per tahun. Jika penabung atau deposan hanya diberi imbalan 9,35% per tahun (11% dipotong pajak 15%), dikhawatirkan, para deposan akan merasa rugi, lalu ''lari''. Setidaknya, mereka akan beralih ke deposito dolar atau membeli saham-saham di luar negeri. Tapi kini alasan-alasan itu ternyata sudah tidak relevan. Kondisi sekarang justru terbalik. Para pemilik dan pengelola dana besar dari luar negeri berbondong-bondong menaruh uangnya dalam deposito rupiah atau membeli saham di bursa Jakarta. Soalnya, suku bunga simpanan dolar AS di luar negeri kini sangat rendah dibandingkan dengan suku bunga deposito rupiah di Indonesia. Suku bunga deposito dolar di Singapura (Asian Currency Unit) pekan lalu hanya memberikan bunga antara 3,47% dan 3,56% per tahun. Deposito dolar di AS malah paling tinggi 2,89% per tahun. Sementara itu, inflasi di AS dewasa ini diperkirakan 3%. Jelas deposito dalam dolar rugi. Para pemilik modal di luar negeri lebih tertarik menanamkannya dalam deposito rupiah di Indonesia. Dengan bunga 14%, setelah potong pajak minus depresiasi rupiah sekitar 5%, mereka masih bisa mengantongi suku bunga riil hampir 7%. Sinyalemen masuknya simpanan luar negeri ke Indonesia telah dikemukakan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono. ''Aliran modal luar negeri ini harus diwaspadai mengingat dana tersebut umumnya berjangka pendek yang hanya memanfaatkan selisih suku bunga yang sangat besar,'' kata Soedradjad pada acara The CEO & Bankers Summit, yang diadakan oleh PDBI di Jakarta, 7 September lalu. Pernyataan Gubernur BI itu rupanya langsung menyadarkan BNI bahwa kinilah saatnya menurunkan bunga deposito. Kebetulan, bank terbesar ini sudah lama sakit perut. Soalnya, BNI kekenyangan dana, tanpa bisa menyalurkannya dalam kredit. ''Peningkatan dana di BNI dalam bulan-bulan belakangan sangat deras,'' kata Direktur Korporasi BNI, Pintor Siregar, kepada TEMPO. Malangnya pula, dana tersebut tidak bisa diimbangi dengan ekspansi kredit yang terlalu cepat karena BNI menganut prinsip prudent banking alias hati-hati. Akumulasi dana itu sebagian besar merupakan dana mahal yang terus membesar. Direksi BNI menduga, hal yang sama juga dialami oleh bank yang lain. Dana tersebut, kalau diputarkan di pasar uang antara lain pinjaman antarbank atau sertifikat BI menghasilkan bunga yang lebih rendah daripada suku bunga deposito. Ini berarti telah terjadi negative spread alias rugi. ''Jadi, penempatan pada money market yang memberikan negative spread ini, ditambah dana-dana yang sebagian sama sekali tidak bisa ditempatkan, telah menimbulkan tekanan yang berat pada keuntungan kami,'' kata Pintor terus terang. Di samping itu, BNI sadar, tingkat suku bunga pinjaman masih perlu diturunkan untuk lebih merangsang perkembangan ekonomi. Penurunan suku bunga juga dirasakan perlu untuk lebih meringankan beban para debitur, sekaligus mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya lagi utang-utang bermasalah. Hal lain yang dipertimbangkan BNI adalah pesan Gubernur BI pada 7 September itu, yakni perlu mencegah masuknya dana dari luar negeri, yang selama ini memanfaatkan selisih bunga dolar di luar negeri dengan bunga rupiah di sini. Tapi kini kebanyakan bank devisa milik swasta hanya menawarkan bunga 1%2% di atas bunga BNI (lihat tabel). Beberapa bank asing, seperti Citibank, Algemene Bank Nederland, Deutsch Bank, dan Standard Chartered Bank, juga sudah mengikuti tarif deposito BNI. Robby Djohan, Presiden Direktur Bank Niaga, berpendapat, langkah BNI menurunkan suku bunga itu patut diikuti oleh semua bank. ''Tapi, jangan semua jadi latah memberikan kredit untuk properti atau KPR.... Ekonomi kita bisa kepanasan lagi,'' kata Robby, yang kini berkantor di gedung megah Niaga Tower, Jalan Sudirman, Jakarta. Sekarang Bank Niaga lebih senang memberikan kredit perdagangan (forward sale & forward purchase) dan pinjaman tunggu. ''Dari jasa seperti ini saja, kami bisa untung sekitar Rp 39 miliar,'' kata Robby bangga. Pintor merasa yakin bahwa, seperti BNI, bank lainnya juga mengalami kelebihan likuiditas yang besar sehingga mereka pun akan ikut menurunkan suku bunganya. ''Bank-bank yang terus memberikan bunga tinggi tentu akan kerepotan,'' ujar Vice President Bank Niaga, John Glenn Yusuf. Sekalipun demikian, beberapa bank tampaknya masih haus dana. Nusabank, misalnya, sampai Jumat lalu memasang iklan mencolok di sebuah koran besar di Jakarta. ''Nikmati Nusasave dengan bunga 14% p.a.'', begitu bunyi iklannya yang cukup menggoda. Sementara itu, Andromeda Bank menawarkan bunga lebih tinggi, yakni 15% per tahun. Mengapa Nusabank masih memasang bunga tinggi, itulah yang agak mengherankan. Sementara itu, Andromeda Bank, Jumat lalu, mulai beringsut menurunkan bunga. Menurut Kepala Urusan Research dan Development, Ibrahim Reza, sejak Jumat kemarin bunga deposito di Andromeda turun menjadi 13% untuk 1 bulan, 14% untuk 36 bulan, dan 13% untuk 12 bulan. Kuat dugaan, penurunan suku bunga akan membuat para pemilik deposito berpikir keras. ''Kalau trend suku bunga deposito bertahan seperti sekarang atau menukik lebih tajam, kami mesti siap-siap menarik deposito yang jatuh tempo, untuk ditaruh ke lahan yang lebih menguntungkan,'' kata Direktur Utama Dana Pensiun Krakatau Steel (DPKS), Ir. Aidil Juzar. Aidil belum bisa memastikan berapa persentase deposito yang akan dipindahkan. ''Paling tidak, akan disisakan 20% dari posisi sekarang,'' katanya Jumat lalu. Ia mengakui, deposito akan lebih aman kalau di bank pemerintah. ''Namun, pengurus berkewajiban mengembangkan modal demi kepentingan anggota,'' katanya. Menurut Aidil, kini dana DPKS berjumlah Rp 112 miliar. Sebesar 61% dari jumlah itu didepositokan di bank pemerintah, 29% dalam obligasi, 6% sebagai penyertaan modal langsung ke beberapa unit usaha (antara lain di Bank Muamalat, PLN, Semen Gresik, Jasa Marga, Astra International), dan 0,7% dalam saham- saham di bursa. Mungkinkah investasi ke saham di bursa akan ditingkatkan? ''Nanti dulu. Soalnya, harga saham sangat berfluktuasi dan berisiko rugi,'' ujar Direktur Utama DPKS ini. Secara makro, bunga deposito yang rendah akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Dunia usaha akan lebih bergairah, investasi meningkat, dan selanjutnya lapangan kerja akan lebih banyak dibuka. Tapi ini pun baru akan terjadi kalau suku bunga kredit ikut turun. Tanda-tanda ke arah sana memang sudah kelihatan misalnya suku bunga KPR mulai turun dari 18% ke 16% atau 16,5% tapi terlalu dini untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi akan menemukan sebuah momentum baru. Lagi pula masih harus ditunggu sikap para pemilik modal, apakah mereka punya komitmen pada pembangunan atau tidak. Selain itu, juga tergantung para bankir, apakah mereka bisa meyakinkan pada deposannya agar tidak buru-buru berpaling ke bentuk-bentuk investasi asing di luar negeri. Max Wangkar, Indrawan, dan Taufik T. Alwie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus