Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencari Makan Di Toko Besi ?

Cina menyetujui dalam hal pajak impor Indonesia diperlakukan sebagai negara sahabat. Delegasi Kadin terlalu optimis memandang Cina. Mochtar Riyadi tetap memilih AS sebagai partner menguntungkan.(eb)

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM dan wajah cerah pengusaha Indonesia bertebaran di hotel Great Wall, Beijing, RRC, Senin siang lalu. Dikelilingi sejumlah pengusaha, ketua Kadin Sukamdani Gitosardjono sembari tersenyum lebar menceritakan keberhasilannya, "Kita akan mendapat sejumlah keringanan. Misalnya dalam pajak impor." Ketika seorang pengusaha melaporkan: "RRC telah menyatakan bersedia membeli kopi kita sebanyak lima ribu ton dan cokelat dua ribu ton", lebih banyak senyum bermunculan. Mungkin karena gembira, Bankir Mochtar Riady lantas mentraktir makan siang sejumlah pimpinan Kadin di restoran Yuen Tai, di tingkat 21 hotel itu. Kegembiraan mereka tampaknya bukan hanya karena berhasil menjual sejumlah komoditi Indonesia. Tapi lebih karena perasaan telah melakukan suatu langkah bersejarah: merintis pembukaan kembali hubungan dagang langsung antara Indonesia dan RRC, Senin 29 Juli 1985. Itu mungkin memang akan tercatat sebagai hari penting dalam sejarah hubungan kedua negara, pagi hari itu. Di gedung CCPIT (Badan Promosi Perdagangan Internasional RRC) di Jalan Fuxingmen Wai, Beijing, ketua Kadin Sukamdani Gitosardjono dan ketua CCPIT Wang Yaoting saling menukarkan nota, berupa persetujuan pemerintah RI dan RRC atas MOU (Memorandum of Understanding) tentang hubungan dagang langsung yang telah ditanda tangani di Singapura, 5 Juli lalu. Dalam sambutannya, Sukamdani mengungkapkan kegembiraannya karena telah menyelesaikan "tugas yang agung" itu, sedangkan Wang Yaoting mengingatkan adanya beban "misi sejarah yang penting". Kentara sekali bahwa kedua pihak sama-sama menjaga perasaan masing-masing. Dan tidak ingin merusakkan hubungan yang baru terjalin lagi ini tampak dari kalimat-kalimat seperti "demi persahabatan rakyat kedua negara" dan "semangat kerja sama yang baik" yang diucapkan Sukamdani dan Wang Yaoting, tatkala Sukamdani meminta agar, dalam pajak impor, Indonesia diperlakukan sebagai negara yang punya hubungan diplomatik dengan RRC, meski kenyataannya masih beku. Wang langsung menyetujui. Ia malah menekankan bahwa Indonesia akan diperlakukan sebagai "negara sahabat". Sikap itu juga tampak dari cara CCPIT menerima delegasi Indonesia yang sangat besar: 123 orang, seratus lebih di antaranya pengusaha. Meski jumlah anggota delegasi baru diketahui sehari sebelumnya, tuan rumah menyambut dengan baik, visa diberikan perwakilan dagang RRC di Singapura hanya dalam beberapa jam. Delegasi Kadin umumnya terkesan akan suasana RRC yang mereka lihat. "Saya agak kaget. Semula saya kira akan menjumpai kemiskinan, warna-warna gelap, dan ketertutupan di sini. Ternyata, saya lihat mobil-mobil mewah yang baru cukup banyak, suasana keterbukaan juga tampak di mana-mana," kata Mochtar Riady,direktur utama Bahk Central Asia. Keterbukaan, dan suasana kecukupan ekonomi, memang tampak terlihat di Beijing dan sekitarnya. Pedagang kaki lima muncul di mana-mana, model pakaian Mao hampir tidak terlihat, rakyat juga tidak takut berbicara dengan orang asing, pembangunan tampak di banyak tempat, misalnya flat-flat perumahan yang menjamur di Beijing. Semua ini tampaknya memperkuat keyakinan delegasi Kadin akan masa depan yang cerah buat hubungan dagang langsung kedua negara. "Kita harus memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Sebab, dalam usaha modernisasi ini RRC pasti akan memerlukan banyak komoditi kita"' kata wakil ketua Kadin A. Baramuli. Komoditi apa saja? Mochtar Riady menyebutkan antara lain: semen, pupuk, karet, kopi, dan kayu lapis. Menurut dia, dalam tahap awal ini perdagangan RI-RRC harus dua arah agar bisa meraih untung. Misalnya, jika Indonesia bisa menjual kayu lapis ke RRC, mungkin Indonesia perlu sepakat untuk membeli, secara counter-trade, batu bara RRC. Dengan begitu, kapal yang mengangkut kayu lapis ke RRC kembali membawa batu bara, hingga ongkos tambang bisa ditekan. "Tanpa itu harga barang Indonesia akan tinggi. Dan tidak bisa bersaing dengan negara lain," ujarnya. Apakah dengan begitu prospek hubungan langsung ini akan cerah? Banyak yang berpendapat bahwa delegasi Kadin sekarang ini terlalu optimistis. Wang Yaoting sendiri tampaknya ingin "meredakan" antusiasme berlebihan yang sangat jelas kelihatan itu. Pada pimpinan Kadin ia mengulangi ucapannya di Singapura beberapa pekan silam. "Kunjungan ini sangat singkat. Mungkin untuk memperoleh transaksi kongkret, diperlukan perundingan lebih lanjut." Isyarat ini toh diperlunaknya dengan Janji samar-samar "tersedia banyak hal yang menguntungkan kedua pihak". Dan Sukamdani dengan lihai mendesak, "Para pengusaha Indonesia, pemerintah Indonesia, dan juga rakyat Indonesia akan sangat senang bila dalam kunjungan ini delegasi dagang Indonesia akan dapat memperoleh kontrak-kontrak yang menguntungkan kedua pihak." Ada yang berpendapat, bila toh delegasi Kadin Ini memperoleh seJumlah kontrak mungkin itu hanya untuk tahap awal. "Untuk tujuan politis, RRC mungkin akan memberikan sejumlah transaksi pada pihak Indonesia karena mereka sangat berharap hubungan langsung ini akan membuka kembali hubungan diplomatik. Tapi setelah itu?" ujar seorang anggota delegasi. Diingatkannya, RRC tampaknya ingin sekali menarik penanaman modal dari Indonesia, terutama dari kalangan Hoakiao. Ia menunjuk kebijaksanaan baru pemerintah RRC yang meniadakan visa buat Hoakiao yang berkunjung. Sebagai bukti, "Pemerintah harus menjaga agar modal Indonesia tidak mengalir keluar," ujarnya. Kebijaksanaan pintu terbuka RRC memang mengundang banyak sekali Cina perantauan di seluruh dunia. Tahun lalu pengunjung ke Cina berjumlah 12,3 juta, dan hanya 1,1 juta yang bukan Cina. Suasana "ingin mengunjungi tanah leluhur" ini juga tampak di sebagian delegasi Kadin, hingga pernah, dalam suatu perundingan, sejumlah anggota delegasi langsung berbicara dengan pihak RRC dalam bahasa Mandarin. Sehingga, perlu diingatkan bahwa mereka mewakili pengusaha Indonesia. Ada juga pengusaha yang, meski terkesan, tidak ingin terlibat di RRC, misalnya Mochtar Riady. "Ada peribahasa: tikus itu kalau mencari makan harus di restoran, bukan di toko besi. Saya tetap melihat Amerika Serikat sebagai sasaran utama bisnis kita," katanya. Ia menunjukkan angka: meski impor AS dari Asia dan Pasifik tidak lebih dari 10 persen jumlah impornya, itu sudah merupakan jumlah yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk 270 juta dan pendapatan per kapita sekitar US$ 12 ribu, AS akan tetap merupakan pasar yang paling menarik. Bandingkan dengan RRC yang, walau penduduknya lebih dari satu milyar, pendapatan per kapita penduduknya cuma sekitar USS 200. "Saya tetap menganggap Cina negara miskin. Dan akan tetap memilih AS sebagai negara utama bisnis saya," kata Mochtar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus