Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah penduduk atau orang miskin di Indonesia pada Maret 2024 mencapai 9,03% atau sekitar 25,22 juta orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,33% atau 680 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi menyatakan bahwa tingkat kemiskinan pada Maret 2024 ini lebih rendah dibandingkan kondisi sebelum pandemi COVID-19.
Penurunan tingkat kemiskinan lebih signifikan terjadi di pedesaan, yaitu sebesar 0,43%, dibandingkan di perkotaan yang hanya turun sebesar 0,20%. Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 11,79%, sedangkan di perkotaan sebesar 7,09%.
Imam juga menyebutkan bahwa garis kemiskinan mengalami kenaikan sebesar 5,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas pokok yang banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Berdasarkan komponen pembentuknya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan dengan komoditas non-makanan.
Masyarakat yang dikategorikan sebagai orang miskin menurut BPS adalah mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2024, garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan.
Garis kemiskinan ini mayoritas dipengaruhi oleh komponen makanan yang merupakan komoditas utama pengeluaran masyarakat, dengan porsi mencapai 74,44%, sementara komoditas non-makanan hanya 25,56%.
Di perkotaan, garis kemiskinan pada Maret 2024 adalah sebesar Rp 601.870, naik dari Rp 569.290 pada Maret 2023. Di pedesaan, garis kemiskinan pada Maret 2024 sebesar Rp 556.870, naik dari Rp 525.050 pada Maret 2023.
Menurut situs resmi BPS, dalam mengukur tingkat kemiskinan, mereka menggunakan konsep kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) yang mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang disusun oleh Bank Dunia. Metode ini mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Seseorang dikategorikan orang miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan (GK), yang terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). GK mencerminkan nilai minimum pengeluaran yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup selama sebulan.
GKM adalah nilai pengeluaran minimum dari 52 komoditi dasar untuk kebutuhan makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari, berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari 52 komoditi tersebut.
GKNM mencakup nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih, termasuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Jenis barang dan jasa non-makanan yang dipilih mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun sesuai dengan perubahan pola konsumsi penduduk.
Selain itu, dalam mengukur tingkat ketimpangan, BPS menggunakan persentase pengeluaran kelompok 40 persen penduduk terbawah berdasarkan Ukuran Bank Dunia. Ada tiga kriteria tingkat ketimpangan menurut ukuran ini:
1. Ketimpangan tinggi: jika persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk terbawah kurang dari 12 persen.
2. Ketimpangan sedang: jika persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk terbawah antara 12 hingga 17 persen.
3. Ketimpangan rendah: jika persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk terbawah lebih dari 17 persen.
BPS.GO.ID