SEBAIKNYA tak usah buru-buru menyebut ini konsep "kiri" yang direkomendasikan orang-orang "kanan": Para buruh, sebaiknya, diberi kesempatan untuk menjadi pemilik saham perusahaan. Sebab, di Amerika, tak kurang dari 700 perusahaan besar-kecil yang mempraktekkan anjuran itu, nyatanya manajemennya tetap sehat walafiat. Rekomendasi tentang pembaruan kebijaksanaan permodalan itu hanyalah satu dari 40-an paket anjuran yang dirumuskan dalam Konperensi III, GEAI (Global Economic Action Institute), di Hotel Borobudur, Jakarta. Konperensi internasional selama tiga hari, pekan lalu, itu membahas seluk-beluk perekonomian dunia secara global. Praktek melibat pekerja sebagai pemilik saham ini sebetulnya telah mulai dirintis sejak tiga puluh tahun silam di San Francisco. Konsep itu, yang kemudian populer dengan istilah ESOP (Employee Stock Ownership Plan), sekitar tahun 1973 seolah memperoleh pengesahan secara luas di Amerika. Saat ini tak kurang dari 10,2 juta buruh Amerika, yang bekerja pada 7.000 buah perusahaan, memperoleh saham melalui lembaga ESOP ini. Jumlah ini sekitar 9% dari seluruh pekerja Amerika. Gagasan ESOP ini ternyata juga tak hanya laku di perusahaan kecil atau menengah. Perusahaan-perusahaan sebesar AT&T (elektronik), pabrik mesin General Motor (GM), dan perusahaan minyak Exxon pun telah mengadopsi praktek pemerataan pemillkan saham ini. Menurut rekomendasi GEAI, jurus ESOP ini mampu membawa suasana kerja yang lebih sehat dalam perusahaan. Soal jaminan pensiun dan bonus yang layak, tentu, dijanjikan dalam konsep Amerika ini. Dalam urusan pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan, para pekerja mau tak mau akan merasa terlibat. Konsep "kiri"? Tampaknya, bukan. "Justru esensi dari paham sosialis adalah menghilangkan kemungkinan terjadinya pemilikan pribadi atas alat-alat produksi, dan yang terjadi pada ESOP sebaliknya," ujar seorang peserta konperensi, sambil menunjuk hasil rumusan sidang. Sistem ini mengatur pendistribusian pemilikan saham dan pembagian kesejahteraan yang lebih adil. GEAI berdiri tiga tahun lalu. Sidang pertama berlangsung di Jenewa, Swiss, 1983 yang kedua di Costa Rica. Kini, sebagai pressure group, kelompok ini memiliki lebih dari seribu anggota yang tersebar di 21 negara. Anggota-anggota kelompok pengamat ekonomi global ini sebagian besar adalah orang-orang yang terpandang di negaranya. Gagasan yang dihasilkan dalam sidang, entah bagaimana caranya, diharapkan dapat dibisikkan ke pemerintah negara masing-masing. Adalah Julian Amery, bekas Menteri Negara Urusan Perumahan dan Konstruksi Inggris, yang terpilih sebagai pimpinan sidang di Jakarta ini. Selain Amery, yang kabarnya merupakan orang kepercayaan PM Inggris Margaret Thatcher hadir pula sederet tokoh lain: Robert Muidoon, bekas PM Selandia Baru Louis Alberto, bekas Presiden Republik Costa Rica dan John H. Holdridge, bekas Dubes AS untuk Indonesia. Dari pihak tuan rumah hadir Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Letjen (pur) Sayidiman Suryohadiprojo. Tentu, tak berarti forum ini hanya untuk bekas pejabat negara. Banyak pula ilmuwan, konsultan ekonomi, bankir, dan eksekutif perusahaan besar yang hadir. Soal ESOP dipilih untuk dibicarakan, barangkali, karena selain menyangkut segi pemerataan juga efisiensi. Tanpa adanya mekanisme pemerataan kesejahteraan, para pakar ekonomi itu yakin, akan terbuka peluang terjadinya ketidakseimbangan sosial di dalam sistem ekonomi. Dan ini akan menghambat langkah-langkah efisiensi. Putut, Laporan Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini