PARA sejarawan ekonomi di masa depan pasti tertarik untuk menerangkan terjadinya serangkaian tindakan devaluasi, yang selama 15 tahun, sejak 1971, dilakukan dalam selang waktu yang semakin singkat. Hipotesa yang diajukan adalah bahwa tindakan devaluasi yang satu mendorong terjadinya devaluasi berikutnya, dan "penyakit" itu semakin cepat menularnya. Mekanisme penularan ini mungkin adalah struktur APBN, yaitu anggaran pemerintah, yang sangat besar ketergantungannya pada penerimaan dalam valuta asing. Ditilik dari sudut itu, mungkin juga para sejarawan tersebut tergoda untuk menarik analogi dengan "penyakit" yang terjadi di masa Orde Lama, yang juga menular dengan cepat. Penyakit itu juga ditularkan melalui anggaran pemerintah, yaitu berupa inflasi tinggi sebagai akibat pembiayaan defisit. Inflasi tinggi itu menimbulkan suatu perlombaan antara pengeluaran pemerintah dan penerimaan yang ditunjang dengan pencetakan uang. Analogi di atas dapat didukung dengan persamaan dampak dari kedua "penyakit" tersebut, yaitu neraca pembayaran -- khususnya pada transaksi berjalan - yang cenderung memburuk atau yang mengalami ketidakseimbangan fundamental. Hal ini mencerminkan masyarakat atau ekonomi yang mengkonsumsi lebih besar daripada apa yang diproduksinya. Di Amerika Serikat, misalnya, defisit dalam neraca perdagangan meningkat sejalan dengan defisit anggaran pemerintah. Para sejarawan ekonomi mungkin tidak akan mencapai kesepakatan tentang sebab serangkaian devaluasi itu. Apabila demikian, lebih sulit lagi, pada saat ini kita mengharapkan adanya kesepakatan mengenai hal itu. Pandangan mengenai untung-rugi, terelakkan dan tidaknya, ataupun baik-buruknya devaluasi 12 September 1986 ini memang bergantung pada tujuannya, dan juga dari sudut mana kita melihatnya. Namun, dari berbagai tanggapan yang dilontarkan dalam beberapa hari terakhir ini, terdapat suatu konsensus, yaitu bahwa tindakan devaluasi ini perlu diikuti berbagai tindakan lainnya agar ada manfaatnya. Implisit dalam pendapat ini bahwa masalah urut-urutan tindakan penting artinya, dan devaluasi saja tidak akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi ekonomi Indonesia. Untuk bisa merumuskan tindakan lanjutan yang diperlukan, kita mesti mempunyai suatu peta dampak devaluasi. Sebab, dampak devaluasi berbeda dari satu sektor ke sektor yang lain. Apabila devaluasi dilihat dalam kaitan dengan anggaran pemerintah, yaitu sebagai cara untuk mempertahankan tingkat penerimaan dalam nilai rupiah akibat merosotnya penerimaan dalam valuta asing, maka devaluasi tidak lain merupakan pajak. Dan, beban pajak ini jelas tidak dirasakan secara merata dalam masyarakat. Anggaran pemerintah yang mengalami tekanan besar gara-gara harga minyak mentah Indonesia merosot menjadi sekitar US$ 11 per barel, jauh di bawah perkiraan US$ 25 per barel dalam APBN, bisa dianggap mendapat dampak "positif" dari devaluasi. Ada anggapan bahwa cara ini merupakan suatu "cara murahan" untuk menyelamatkan APBN. Ada pula yang menilai dampak positifnya hanya dirasakan dalam jangka waktu singkat. Untuk jangka menengah bisa membuat APBN semakin rawan. Sebabnya, penerimaan yang bersumber dari valuta asing semakin dibesarkan nilai rupiahnya. Apa pun tanggapan mengenai hal ini, untuk jangka menengah dan panjang APBN hanya bisa diselamatkan dengan mengubah strukturnya -- di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran -- yang sebenarnya hanya dapat dipertahankan di waktu lalu, karena adanya rezeki minyak. Sektor lain yang dianggap memperoleh dampak positif dari devaluasi adalah sektor ekspor. Kebenaran harapan ini masih perlu diuji. Pengalaman devaluasi 1978 dan 1983 menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar saja tidak akan mendorong ekspor nonmigas. Peningkatan ekspor nonmigas yang cukup mencolok setelah Kenop-15 (1978) karena pertumbuhan ekonomi dunia yang membaik, dan karena ekspor barang pabrikan dimulai dari dasar yang sangat rendah. Devaluasi berikutnya, yang dikenal dengan sebutan Karet (1983), tidak membawa pengaruh terhadap ekspor nonmigas secara keseluruhan, walaupun bagian dari barang pabrikan mengalami peningkatan. Pada 1985, bagian barang pabrikan dalam keseluruhan ekspor nonmigas telah mencapai 71 persen. Dari jumlah itu sebenarnya hanya tiga komoditi yang mendominasi, yaitu kayu lapis, tekstil dan pakaian jadi, serta karet olahan. Tampaknya, sukar diharapkan devaluasi secara otomatis akan meningkatkan permintaan akan komoditi-komoditi tersebut. Ditinjau dari sudut itu, tantangan bagi ekspor nonmigas terutama terletak pada usaha mendiversifikasikan jenis barang pabrikan. Sudah bukan rahasia bahwa keberhasilan usaha ini banyak terletak pada keberhasilan kita meningkatkan "efisiensi" ekonomi kita seperti yang berulang kali diharapkan Presiden Soeharto. Efisiensi di sini artinya adalah usaha menghapuskan sumber-sumber ekonomi biaya tinggi, yang telah mencekik sektor industri nasional selama ini. Dengan demikian, tindak lanjutan devaluasi harus meliputi penghapusan (dismantling) segala bentuk pengaturan yang disebut "tata niaga" itu -- seperti CBTI yang belakangan ini diramaikan -- bukan karena merupakan sumber biaya-tinggi, tetapi juga karena sistem tata niaga itu sudah menjadi demikian ruwet, dan membuat ekonomi Indonesia menjadi sedemikian tidak luwes. Mungkin tidak ada tindak lanjutan lain yang dapat mengkompensasikan beban yang ditimpakan pada sektor industri oleh devaluasi 12 September ini. Dampak negatif devaluasi terutama dirasakan oleh sektor ini. Malah pendapat pesimistis beranggapan bahwa devaluasi ini telah menghancurkan sektor industri, yang mungkin memerlukan waktu lima tahun untuk dapat bangkit kembali. Apabila sektor industri hancur, sebenarnya apa lagi yang dapat diharapkan bagi peningkatan ekspor nonmigas? Ekspor komoditi primer kita ketahui sangat tidak elastis terhadap harga, dan pasaran dunia lagi lesu. Kalaupun sektor industri tidak hancur, ada anggapan bahwa perkembangan sektor ini akan mengalami perubahan sebagai akibat jenis investasi yang semakin dekat cakrawalanya. Devaluasi, demikian anggapan sementara kalangan, telah menghancurkan kredibilitas pemerintah -- dalam arti para investor, baik dalam maupun luar negeri, tidak lagi bersedia melaksanakan investasi jangka panjang. Karena itu, kiranya benar konstatasi umum bahwa devaluasi perlu diikuti dengan tindakan-tindakan lanjutan, termasuk usaha untuk menanamkan kembali kepersayaan para investor. Putaran pertama dampak negatif devaluasi ini memang mungkin tidak mengena rakyat banyak, yang sekitar 80 persen penduduk pedesaan. Tetapi, bila hal negatif itu tidak diatasi dengan baik, dampaknya pada putaran-putaran selanjutnya bisa sangat tidak menggembirakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini