Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Kembalinya Memori Pahit 2013

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Rudy Asrori/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INVESTOR di pasar negara berkembang harus lebih waspada. Ada sinyal penting dari notulen rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung April lalu. FOMC, komite yang beranggotakan para pemimpin tertinggi The Federal Reserve, menentukan kebijakan penting bank sentral Amerika Serikat yang dampaknya bisa terasa di seluruh penjuru dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publik baru dapat mengakses notulen ini pada Rabu, 19 Mei lalu. Hal terpenting dalam catatan itu adalah makin besar kemungkinan The Fed mulai mengurangi suntikan likuiditas ke pasar sebelum akhir tahun ini. Notulen itu mengungkapkan, beberapa pemimpin The Fed ingin memulai diskusi mengenai pengurangan ini atau tapering dalam pertemuan FOMC pada bulan-bulan mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan isyarat serupa April lalu. Memang, The Fed kemungkinan besar baru akan menaikkan bunga pada 2023. Tapi, jauh hari sebelum bunga turun, The Fed akan lebih dulu mengurangi suntikan likuiditas yang kini sebesar US$ 120 miliar sebulan. Langkah tapering tentu akan bertahap agar pasar tidak terlalu terguncang. Masuk akal jika ada ekspektasi pasar bahwa tapering akan dimulai sebelum 2021 berlalu.

Beberapa data patut menjadi pertimbangan dalam memperkirakan langkah The Fed ini. Yang terpenting tentu tren pertumbuhan ekonomi. Guyuran stimulus yang membanjir semenjak Joe Biden mengambil alih kursi presiden pada Januari lalu membuat ekonomi Amerika Serikat mulai memanas, lebih dari sekadar menggeliat pulih. Pertumbuhan ekonomi Amerika melesat jauh lebih cepat ketimbang Eropa. Indikator paling jelas adalah laju inflasi tahunan di Amerika yang naik amat pesat, dari sebelumnya 2,6 persen pada akhir Maret menjadi 4,2 persen per akhir April lalu.

Semua situasi ini memunculkan kembali memori tepat delapan tahun lalu, ketika The Fed memulai tapering untuk mengurangi stimulus yang mengalir semenjak krisis ekonomi global 2008-2009. Efek tapering pada 2013 itu sungguh membuat pasar finansial negara berkembang, termasuk Indonesia, terguncang hebat. Kurs rupiah jatuh amat dalam, dan sejak itu tak pernah kembali di bawah 10 ribu per dolar Amerika.

Bukan tak mungkin Indonesia harus menerima pukulan lebih berat ketimbang pada 2013. Karena pandemi, pemerintah harus membelanjakan uang jauh lebih besar daripada penerimaan. Dua tahun terakhir, pada 2020 dan 2021, pemerintah menambah utang masing-masing sekitar Rp 1.000 triliun. Bank Indonesia memikul sebagian beban itu dengan mencetak uang untuk menambal defisit pemerintah.

Investor asing masih menoleransi kebijakan yang dapat menurunkan kredibilitas rupiah itu. Banjir likuiditas berbunga murah membuat investor asing masih menganggap berinvestasi dalam rupiah tetap menarik. Tapi perhitungan ini akan berubah jika The Fed mulai melakukan tapering. Ketika likuiditas tak lagi melimpah ruah, selera investor asing untuk mengambil risiko berinvestasi dalam rupiah tentu berkurang pula.

Gelagat mulai berlangsungnya tapering tak hanya muncul dari Amerika Serikat. Besar kemungkinan pertemuan Dewan Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) bulan depan juga mendiskusikan rencana pengurangan suntikan likuiditas ke pasar. ECB belum pernah mendahului The Fed melakukan tapering. Namun belakangan ini muncul banyak pandangan di pasar bahwa The Fed kurang antisipatif merespons pemulihan ekonomi yang cepat serta inflasi yang melonjak. Jadi mungkin saja ECB akan menciptakan preseden baru tahun ini.

Gejolak yang mungkin segera terjadi di pasar global karena tapering sepatutnya juga mendapat perhatian amat serius dari pemerintah Indonesia. Kebijakan fiskal yang lebih prudent harus menjadi pilihan agar pemerintah lebih kuat menghadapi gejolak. Rencana berutang hingga Rp 1.060 triliun pada tahun ini, misalnya, tak akan mudah terwujud ketika pasar sedang terombang-ambing tak keruan karena ada penyesuaian penempatan investasi di seluruh dunia.

Sangat mungkin gejolak ini juga akan berdampak pada kurs rupiah. Pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah bisa melonjak tajam jika kurs rupiah jatuh. Kondisi ini akan makin mempersempit ruang bagi pemerintah untuk berbelanja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus