Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lintang Pukang Investasi Telkomsel

Telkom terpapar kerugian akibat investasi Telkomsel pada GoTo. Modal masuk diduga digunakan untuk membayar saham investor lama.

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengemudi Gojek menunggu penumpang di depan Gedung Telkom, Jakarta, Oktober 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Telkom mencatatkan kerugian Rp 881 miliar akibat saham GoTo.

  • Kepemilikan saham GoTo oleh Telkomsel bakal terus menghantui keuangan Telkom.

  • Aksi buyback saham investor lama Gojek terjadi sebelum IPO GoTo.

LAPORAN keuangan kuartal pertama tahun ini menyeret PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom ke dalam polemik. Penyebabnya bukan neraca yang merah, mengingat pada periode itu Telkom bisa mencetak laba Rp 6,12 triliun. Tapi frasa “unrealized loss alias kerugian yang belum terwujud senilai Rp 881 miliar, buntut kepemilikan saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, yang membuat Telkom menjadi bahan perbincangan. “Padahal, jika dirunut dari awal, seharusnya ada gain,” kata Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah kepada Tempo pada Sabtu, 28 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semuanya berawal dari suntikan dana anak usaha Telkom, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), anak usaha Telkom, pada PT Aplikasi Karya Anak Bangsa atau Gojek pada 2020 dan 2021. Secara keseluruhan, Telkomsel menyuntikkan dana US$ 450 juta atau Rp 6,4 triliun dalam bentuk obligasi konversi, surat utang yang bisa diubah menjadi saham.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Mei 2021, Gojek dan Tokopedia bersepakat untuk bergabung menjadi GoTo. Telkomsel pun mengubah obligasi menjadi saham, dengan total kepemilikan 89.125 lembar. Di saat yang hampir bersamaan, muncul rencana GoTo melakukan penawaran perdana saham kepada publik atau initial public offering (IPO). Manajemen GoTo pun memecah nilai saham (stock split) sehingga Telkomsel mengantongi 23,72 miliar lembar. Harga saham GoTo ditetapkan Rp 270 per lembar. Harga ini yang menjadi dasar argumen Ririek bahwa Telkomsel dan Telkom seharusnya mendapat gain atau selisih lebih dari kepemilikan saham GoTo.

Komisaris Utama GoTo, Garibaldi Thohir, saat penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering) PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, di Jakartam 15 Maret 2022. Foto: Dokumentasi GoTo

Tapi, dalam laporan keuangan kuartal I 2022, Telkom mencatatkan harga wajar saham GoTo Rp 375 per lembar. Harga ini mengacu pada kondisi saat GoTo menggalang dana pra-IPO pada November-Desember 2021. Saat itu GoTo menerbitkan saham baru seharga Rp 375 per saham untuk sejumlah investor yang skema investasinya berbeda dengan Telkomsel. Nilai wajar ini yang menjadi dasar penghitungan kerugian investasi, karena harga saham GoTo melesak. Saat menggelar IPO pada 11 April lalu, saham GoTo dilepas seharga Rp 338 per lembar. Kini harganya terus anjlok.

Menurut Ririek, angka riil kerugian atau keuntungan dari kepemilikan saham GoTo semestinya dihitung berdasarkan harga perolehan. Namun, dia menambahkan, jika menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 71 yang digunakan Telkom, yang menjadi acuan adalah harga terbaru ketika laporan keuangan disusun. “Jika akhir Juni nanti harga saham GoTo, misalnya, menjadi Rp 350 per lembar, pada kuartal II kami bisa mendapat gain,” ujar Ririek.

Apa pun itu, masalah ini kadung menjadi bahan pembicaraan. Di media sosial Facebook, mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Agustinus Edy Kristianto, menyebutkan ada bau amis dari investasi Telkomsel di GoTo yang merugi. Unggahan Agustinus mendapat respons dari warganet yang penasaran terhadap analisisnya. Akun Twitter @MissKoral juga ramai karena membuat utas dengan tema yang sama.

Pencatatan saham perdana GoTo di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 11 April 2022. Foto: Dokumentasi GoTo

Selain menyoal kerugian, pembicaraan di media sosial menyinggung potensi konflik kepentingan dalam investasi Telkomsel pada GoTo. Salah satunya ihwal hubungan saudara Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dengan Komisaris Utama GoTo Garibaldi “Boy” Thohir.

Menanggapi hal ini, Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Publik Arya Sinulingga mengatakan penyertaan modal Telkomsel di GoTo tidak membutuhkan persetujuan dari Menteri BUMN. Persetujuan investasi, menurut Arya, yang juga menjabat komisaris Telkom, cukup diperoleh dari Dewan Komisaris Telkomsel. Pemegang saham Telkomsel adalah Telkom (65 persen) dan Singapore Telecommunications Limited (35 persen). “Tidak ada sama sekali Pak Erick ikut campur menentukan apakah boleh investasi atau tidak,” ucapnya pada Kamis, 28 April lalu. “Tidak ada kaitannya dengan Pak Boy. Itu business-to-business antara Telkomsel dan Gojek.”

Yang jelas, menurut pengamat pasar modal, Yanuar Rizki, naik-turunnya harga saham GoTo bakal terus menghantui keuangan Telkomsel dan Telkom selaku induknya. Dengan kata lain, Telkom bakal terus-menerus terpapar risiko fluktuasi harga saham GoTo. “Karena persoalan ini pula Telkom akan kerepotan untuk menjaga kinerja keuangan yang terkonsolidasi dengan Telkomsel,” tuturnya.

•••

NAMA Setyanto Hantoro tak lepas dari asal-usul kepemilikan saham GoTo oleh Telkom. Saat menjabat Executive Vice President Strategic Investment Telkom pada 2018, Setyanto adalah sosok yang mengusulkan Telkom menjadi pemegang saham Gojek—sebelum melebur menjadi GoTo dengan Tokopedia. Saat itu rencananya Telkom membeli 3-4 persen saham Gojek dengan modal US$ 400 juta atau Rp 7 triliun.

Telkom pun meminta pendapat Kejaksaan Agung mengenai rencana ini. Namun saat itu Kejaksaan Agung menolak dengan pertimbangan Gojek belum membukukan keuntungan. Menurut Kejaksaan Agung, Telkom sebagai BUMN harus menghindari potensi kerugian dari investasi. Manajemen Telkom pun bolak-balik menjelaskan bahwa ada keuntungan berupa potensi pasar dan bisnis baru yang akan didapatkan dari ekosistem digital Gojek.

Mantan Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro. Foto: Telkomsel.com

Kejaksaan memberi opini legal dengan catatan Telkom harus membeli saham baru yang diterbitkan Gojek, bukan membeli saham dari investor lama. Pertimbangannya adalah agar dana itu bisa mendorong pertumbuhan bisnis Gojek, bukan memberikan keuntungan kepada pemegang saham lama. Langkah ini pun tak mulus karena Rini Soemarno, yang saat itu menjabat Menteri BUMN menolaknya. Rencana ini untuk sementara gagal.

Pada 2020, saat Setyanto menjabat Direktur Utama Telkomsel, rencana investasi ke Gojek kembali mengemuka. Kini skemanya berubah karena dana yang akan masuk berasal dari Telkomsel. Seorang pejabat Telkom menyebutkan Setyanto kembali mendorong skema investasi itu, yang kemudian disetujui Telkom dan Kementerian BUMN.

Kepada Tempo pada Jumat, 27 Mei lalu, Setyanto mengakui bahwa investasi Telkom dan Telkomsel ke Gojek adalah idenya. “Tapi ide ini tidak ada hubungannya dengan pihak lain,” ujar Setyanto, yang kini membangun bisnis pusat data melalui Provident Capital Partners. Provident Capital adalah perusahaan yang didirikan Winato Kartono, pelaku industri keuangan yang juga pernah menjadi komisaris Gojek.

•••

SEJAK menerima suntikan modal dari Telkomsel pada November 2020 sebesar Rp 2,1 triliun, Gojek rajin membeli kembali (buyback) saham dari sejumlah investor lama. Dana untuk buyback ini diambil dari kas perusahaan.

Pada 9 Maret 2021, misalnya, Gojek membeli kembali 3.968 saham Seri D milik karyawan dan manajemen. Gojek juga merogoh kas untuk membeli kembali 180 lembar saham Seri M milik Edy Suryanto Sulistyo pada 23 April 2021. Suryanto adalah Chief Executive Officer GoPlay, penyedia konten digital di bawah GoTo. Tujuh hari kemudian, buyback terjadi pada saham Seri M milik CEO Loket.com Tubagus Rahmad Utama dan saham Seri I milik Blackrock Global Funds. Buyback terjadi sebelum Gojek melebur dengan Tokopedia menjadi GoTo.

Aksi korporasi ini makin masif pada akhir 2021. Pada 23 November, GoTo membeli kembali 514 juta saham Seri K milik PT Amanda Cipta Persada dan 1,073 miliar saham Seri K milik PT Bright Foods International. Buyback dalam jumlah besar terjadi pada 13 Desember 2021, ketika GoTo merogoh US$ 135 juta atau Rp 1,943 triliun untuk menebus saham-saham milik investor lama. Mereka antara lain SoftBank Pan-Asia Fund, WP Investments VI BV, WP Go-Jek Investment Partnership, LP, GJK Holdings Sàrl (Luksemburg), SVF GT Subco (Singapore) Pte Ltd, NTG Gemma Inc, dan PT Northstar Pacific Investasi. Dua nama terakhir terafiliasi dengan Northstar, private equity yang didirikan oleh Patrick Waluyo, angel investor Gojek.

Pembelian saham dari investor lama ini terekam dalam prospektus yang diterbitkan GoTo menjelang IPO. GoTo melakukan buyback dengan dana senilai Rp 1,9 triliun untuk 5,1 miliar lembar. Artinya, manajemen GoTo membeli saham para investor lama dengan harga Rp 378 per lembar.

Pengamat pasar modal, Yanuar Rizki, menduga aksi buyback ini berkaitan dengan upaya investor lama untuk exit atau mengalihkan kepemilikan saham dengan harga terbaik. Strategi ini, menurut dia, dijalankan sebelum IPO untuk menghindari risiko akibat fluktuasi harga saham di pasar modal.

Yanuar, yang pernah menjabat manajer unit insider trading dan manipulasi pasar Bursa Efek Jakarta, juga curiga dana yang dipakai untuk membeli kembali saham-saham investor lama berasal dari suntikan modal Telkomsel pada November 2020 dan Mei 2021. Indikasinya, kata dia, arus kas Gojek masih negatif sehingga modal buat membeli kembali saham-saham tersebut berasal dari pendanaan investor lain seperti Telkomsel.

Jika itu terjadi, menurut Yanuar, praktik tersebut telah melanggar Pasal 92 Undang-Undang Pasar Modal. “Itu transaksi yang menimbulkan kerugian publik dan menguntungkan pihak tertentu, apakah semua pemegang saham menyetujui buyback ini,” ucapnya.

Menanggapi hal ini, Chief of Corporate Affairs GoTo Nila Marita mengatakan pembelian kembali saham investor lama adalah aksi korporasi yang normal. Dia mengklaim setiap buyback yang dilakukan GoTo telah mendapat persetujuan dari para pemegang saham. 

Nila juga membantah anggapan bahwa ada modal dari Telkomsel yang digunakan untuk mengongkosi pembelian kembali saham investor lama. Saat modal dari Telkomsel masuk pada November 2020, Nila menjelaskan, posisi keuangan Gojek dalam kondisi prima. Dia memberikan gambaran, saldo kas per Juli 2020 mencapai Rp 16,8 triliun dan di akhir tahun Rp 15,3 triliun. “Investasi Telkomsel sebesar Rp 2,1 triliun hanya berkontribusi 13,7 persen terhadap total saldo perusahaan di akhir Desember 2020,” tutur Nila. “Seluruh dana investasi Telkomsel untuk mendukung kegiatan operasional business as usual.” 

Ihwal gelombang buyback saham pada Desember 2021 yang cukup besar nilainya, Nila mengatakan hal itu dilakukan demi memupuk saham treasury buat modal opsi greenshoe.   Ini adalah opsi bagi penjamin emisi atau underwriter suatu emiten untuk menambah jumlah saham yang dilepas kepada publik. Tujuannya adalah menjaga harga setelah IPO.

Menurut Nila, saham treasury ini kemudian dilepas ke publik berbarengan dengan penerbitan saham baru. Hasil penjualan saham treasury ini digunakan untuk membeli kembali saham perusahaan yang telah beredar ke publik agar harganya tidak jatuh. “Ini telah disetujui oleh para pemegang saham. GoTo menawarkan opsi kepada semua pemegang saham existing untuk melepas sahamnya lewat aksi buyback ini,” katanya.

Seperti buyback sebelumnya, Nila melanjutkan, pembelian kembali saham ini juga tidak dimodali dana investasi Telkomsel. Dana ini berasal dari hasil penggalangan dana GoTo pada masa pra-IPO sepanjang November-Desember 2021. Dia mengklaim saat itu GoTo bisa meraih tambahan modal US$ 1,4 miliar. “Buyback ini saham ini telah mendapat persetujuan para pemegang saham, termasuk Telkomsel,” ucapnya. Nila juga menjamin kesempatan buyback berlaku untuk semua investor, bukan pemegang saham tertentu. Harga pembeliannya mengacu pada penggalangan dana terakhir sebelum pra-IPO, yaitu Rp 378 per saham. “Ditawarkan oleh semua, yang mau jual ya itu-itu saja, yang kebetulan investor Gojek di waktu awal.”

Vice President Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono mengatakan perseroan tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam surat perjanjian pemegang saham. Salah satunya mengatur persetujuan terhadap keputusan sirkuler atas hal-hal administratif, seperti penerbitan saham dan pembelian kembali saham di masa mendatang, delegasi wewenang, serta pengangkatan anggota direksi dan dewan komisaris. “Semua hal yang bersifat administratif,” ujarnya pada Sabtu, 28 Mei lalu.

Sedangkan Hiro Whardana, Head of Corporate Affairs Northstar Group, mengakui bahwa perusahaaannya telah melepas sebagian saham GoTo dalam gelombang buyback sebelum IPO GoTo. Pelepasan saham itu bermula ketika GoTo menawari semua pemegang saham menjual sebagian saham yang dimiliki pada Oktober 2021. “Sebagai private equity, salah satu tanggung jawab kami mengembalikan modal para investor,” tuturnya. “Kami bersama dengan beberapa pemegang saham lain menjual porsi yang kecil, di bawah 8 persen dari total investasi Northstar di GoTo.”

AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus