Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tren Melorot Kinerja Ekspor

Kinerja ekspor melorot seiring dengan penurunan ekonomi global yang melemahkan permintaan dari negara tradisional tujuan ekspor.

16 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat di Terminal Tanjung Priok, Jakarta, 4 Mei 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro, mengatakan kinerja ekspor terus melorot seiring dengan gejolak perekonomian global yang melemahkan permintaan dari pasar tradisional yang menjadi andalan selama ini.

  • BPS mencatat nilai ekspor pada Agustus 2023 sebesar US$ 22,0 miliar atau merosot 21,21 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang sebesar US$ 27,01 miliar.

  • Ekspor ke Cina secara tahunan turun sebesar 12,69 persen, sedangkan ke Amerika Serikat anjlok 17,66 persen.

JAKARTA — Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro, mengatakan kinerja ekspor terus melorot seiring dengan gejolak perekonomian global yang melemahkan permintaan dari pasar tradisional yang menjadi andalan selama ini, seperti Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang.

“Mau tidak mau kinerja ekspor pasti tergerus karena kondisi pasarnya memang berat sekali akibat penurunan permintaan secara drastis,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 15 September 2023.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pada Agustus 2023 sebesar US$ 22,0 miliar atau merosot 21,21 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 27,01 miliar. Penurunan nilai ekspor terjadi, baik pada sektor migas maupun non-migas. Ekspor migas turun 20,69 persen, sedangkan non-migas turun 21,25 persen.

Sebagai contoh, ekspor ke Cina secara tahunan turun sebesar 12,69 persen, sedangkan ke Amerika Serikat anjlok 17,66 persen. Adapun penurunan terbesar terjadi pada sektor pertambangan, yaitu sebesar 16,58 persen, diikuti sektor industri pengolahan atau manufaktur, yaitu sebesar 11,08 persen.

Badan Pusat Statistik mencatat surplus neraca perdagangan pada Agustus 2023 mencapai US$ 3,12 miliar. Nilainya turun dibanding pada Agustus 2022 yang mencapai US$ 5,76 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Menurut Toto, pelemahan kinerja ekspor mengindikasikan pelemahan kegiatan usaha di dalam negeri yang dipicu oleh penurunan permintaan pasar dunia. Secara tidak langsung, hal itu juga tampak dari kinerja impor yang turun 14,77 persen dibanding pada tahun lalu. Penurunan terdalam terjadi pada impor bahan baku atau penolong yang mencapai 20,39 persen.

“Sejak akhir tahun lalu, banyak terjadi penurunan kontrak untuk tahun 2023, terutama di produk garmen dan alas kaki. Bahkan, di beberapa produk tidak ada kontrak sama sekali sehingga betul kalau kinerja ekspor tidak mengalami kenaikan malah sebaliknya,” ucap dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan impor oleh pelaku industri sepanjang tahun ini tidak bisa serta-merta dikompensasikan dengan peningkatan pendapatan karena permintaan pasar yang dominan terhadap produk manufaktur nasional adalah permintaan yang berasal dari dalam negeri. “Bukan permintaan ekspor, yang notabene volumenya memang masih lemah, sehingga tidak mungkin menciptakan peningkatan impor bahan baku yang signifikan,” katanya.

Dia mengimbuhkan, tren pertumbuhan ekspor yang stagnan, bahkan cenderung menurun, sebenarnya bukanlah hal baru. “Ini seharusnya tidak mengejutkan lagi karena ini terjadi akibat struktur ekspor kita yang sangat bergantung pada ekspor komoditas. Sepanjang tahun ini, tren harganya sedang turun atau mengalami normalisasi.” 

Shinta berujar, upaya paling rasional yang bisa dilakukan saat ini untuk mendongkrak ekspor adalah meningkatkan volume atau kinerja ekspor komoditas dalam jangka pendek serta meningkatkan diversifikasi perdagangan, baik produk ekspor maupun negara tujuan ekspor.

Ihwal kehadiran pasar ekspor alternatif, menurut Shinta, volume ekspor ke negara-negara non-tradisional masih relatif sangat kecil, yaitu kurang dari 30 persen dari total ekspor nasional. “Tentu tidak bisa banyak membantu kalau dilihat dari sisi pendapatan ekspor secara agregat nasional,” ucapnya.

Aktivitas bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan NPC1 Kalibaru, Jakarta, 4 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 
Shinta mengatakan pelemahan kinerja ekspor ini pun pada akhirnya berpotensi menimbulkan dampak negatif kepada perekonomian nasional. Dampaknya akan bergantung pada sejauh mana pemerintah dapat menciptakan pendapatan dari sumber lain, misalnya investasi asing. Kemudian sejauh mana pemerintah konsisten dan berkelanjutan menstimulasi diversifikasi produk ekspor bernilai tambah. “Tanpa adanya stimulasi ini, tentu ekspor hanya akan jalan di tempat, tidak pernah stabil, dan hanya naik-turun mengikuti tren pasar komoditas global,” kata Shinta.

Pemerintah juga dinilai perlu serius mengatasi stagnasi daya saing ekspor produk manufaktur nasional akibat pelemahan daya saing iklim investasi dan rantai pasok. “Kalau dibiarkan terlalu lama, kami khawatir deindustrialisasi atau perpindahan industri manufaktur dari Indonesia ke negara lain menjadi tidak terhindarkan.”

Terakhir, pemerintah diharapkan dapat terus menstimulasi peningkatan penggunaan kerja sama perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) untuk ekspor, khususnya tujuan negara-negara non-tradisional.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan bahwa pelemahan ekspor harus segera diatasi agar tidak berdampak pada merosotnya kinerja neraca dagang. “Khusus untuk penurunan impor bahan baku ini menjadi peringatan penting karena dampaknya biasanya akan terlihat dalam 4-5 bulan ke depan. Siap-siap industri manufaktur juga mulai menurunkan kapasitas produk, menahan ekspansi, hingga melakukan berbagai efisiensi,” katanya.

Sementara itu, menurut Bhima, peralihan menuju pasar alternatif masih membutuhkan waktu yang panjang. Sebab, salah satu tantangan utamanya adalah dari sisi logistik. “Karena sebagian besar penyelenggara logistik, ya, perginya ke tujuan pasar tradisional. Kalau harus buka jalur baru ke non-tradisional, seperti Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin, ini membutuhkan biaya yang lebih tinggi,” ujar dia. 

Sebagai solusi jangka pendek dan menengah, pasar alternatif yang dapat dioptimalkan adalah pasar ekspor sesama negara ASEAN. Adapun negara-negara yang potensial meliputi Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina. “Mitigasi risiko harus dialihkan ke area yang paling dekat tanpa harus banyak bergantung lagi pada kekuatan ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat dan Cina.”

GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus