Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah daerah mulai mengalokasikan anggaran guna mengantisipasi dampak inflasi setelah pemerintah menaikkan tarif tiga jenis bahan bakar minyak (BBM) pada akhir pekan lalu. Langkah itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, yang meminta pemerintah daerah turut meredam potensi inflasi dari tingkat daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, misalnya, sudah menyiapkan dana bantuan tambahan sebesar Rp 60 miliar yang diambil dari dana transfer umum (DTU) pemerintah pusat. "Jadi, kemarin ada permintaan dari pusat, coba daerah mendukung dengan 2 persen dari dana transfer umum itu sehingga bisa melengkapi yang kurang," ujar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ganjar, anggaran itu akan dibagikan untuk bantuan sosial sebesar Rp 8,7 miliar kepada 11.667 penerima Kartu Jateng Sejahtera, premi asuransi nelayan bagi 10 ribu orang, subsidi tarif Trans Jateng Rp 17,9 miliar, subsidi kegiatan operasional melaut Rp 4,7 miliar untuk 14.375 nelayan kecil, serta bantuan bahan baku kepada 1.810 industri kecil-menengah senilai Rp 905 juta.
Kemudian bantuan sosial untuk 4.224 kru angkutan umum dan 17 ribu pengemudi ojek online Rp 12,7 miliar, bantuan bagi pelaku distribusi pangan Rp 2,4 miliar, bantuan bagi 2.264 kelompok tani pengguna alat dan mesin pertanian, bantuan bahan bakar kendaraan wisata di lingkungan pariwisata, subsidi bahan bakar alat-alat peternakan, serta bantuan BBM untuk kelompok petani pengelola penggilingan padi.
Ganjar mengatakan bantuan tersebut akan diberikan sesuai dengan kebutuhan sasaran. Dia meminta agar bantuan itu disampaikan secara tepat sasaran. "Umpama nelayan butuh, aksesnya dipermudah, atau petani yang kemarin sulit membeli BBM di SPBU karena harus ada rekomendasi. Yang begini-begini harus dihitung," ujarnya. ia juga menginstruksikan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) terjun ke lapangan untuk mengecek bahan kebutuhan pokok. "Kalau memang diperlukan operasi pasar, segera lakukan."
Jumlah dana bantuan tersebut, menurut Ganjar, masih bisa bertambah lantaran akan ada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) perubahan yang bakal dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah. Ia berharap ada alokasi dari APBD perubahan yang dikonsentrasikan untuk bantuan tambahan bagi masyarakat.
Antrean kendaraan bermotor yang akan mengisi bahan bakar di SPBU M.T. Haryono, Jakarta, 1 September 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Program Padat Karya
Di tingkat kota, Pemerintah Kota Bandung menjadi salah satu contoh daerah yang juga telah menyiapkan anggaran untuk menghalau inflasi. Pemkot Bandung mengalokasikan Rp 9,2 miliar untuk dana perlindungan sosial dampak kenaikan harga bahan bakar yang bersumber dari DTU.
Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna, mengatakan dana tersebut akan digelontorkan selama tiga bulan ke depan, dari Oktober hingga Desember 2022. Kebijakan itu merupakan tindak lanjut atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134 Tahun 2022 mengenai belanja wajib dalam rangka penanganan dampak inflasi. "Sebanyak 2 persen dari DTU kami geser untuk tiga bulan ke depan, dari Oktober hingga Desember," kata Ema, kemarin.
Menurut dia, dana tersebut digunakan untuk program padat karya yang bisa melibatkan masyarakat rawan ekonomi. Kelompok tersebut bakal menggarap beberapa program kerja dan menjadi berpenghasilan. Adapun instansi yang terlibat dalam program tersebut adalah Dinas Perhubungan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, serta Dinas Koperasi dan UKM.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan intervensi dari tingkat daerah diperlukan untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga BBM. Berdasarkan hitungan para menteri, ia mengatakan, kenaikan harga Pertalite, solar bersubsidi, dan Pertamax diperkirakan bisa mengerek laju inflasi sekitar 1,8 persen. "Tapi itu kalau kita diam. Saya enggak mau diam, kita harus intervensi," ujar Jokowi.
Subsidi Transportasi
Selain untuk bantuan sosial, Jokowi meminta pemerintah daerah menggunakan 2 persen dana transfer dari pusat untuk berbagai program penanganan inflasi. Misalnya, menutup biaya transportasi dan biaya distribusi yang ada di lapangan. Sebagai contoh, ketika harga bawang merah naik karena biaya transportasi, pemerintah daerah harus menutup ongkos tersebut. "Artinya apa? Harga bawang merah di pasar itu sesuai dengan harga yang ada di petani karena biaya transportasinya sudah ditutup oleh pemda, dan itu uang kecil," kata Jokowi.
Pada kasus bawang merah, misalnya, Jokowi menghitung biaya transportasi dari Brebes ke Lampung hanya memerlukan sekitar Rp 3 juta per truk dengan jangka waktu sekitar sepekan. Ia membayangkan satu truk tersebut juga bisa mengangkut lebih dari satu komoditas, selain bawang merah. "Sudah, pemda tutup biaya transportasinya. Kalau semua pemda seperti itu, saya yakin inflasi kita akan bisa terjaga dengan baik."
Sejalan dengan arahan Jokowi tersebut, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022. Melalui aturan ini, pemda wajib mengalokasikan anggaran untuk perlindungan sosial periode Oktober-Desember 2022 sebesar 2 persen dari DTU di luar dana bagi hasil (DBH) yang ditentukan penggunaannya.
"Belanja wajib perlindungan sosial ini dipergunakan untuk pemberian bantuan sosial, termasuk kepada ojek, UMKM, dan nelayan; penciptaan lapangan kerja; serta pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah," kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti. Ia mengatakan penanganan dampak inflasi kali ini mesti didukung pemerintah daerah melalui alokasi belanja perlindungan sosial pada APBD 2022 agar cepat mengalir ke masyarakat.
Jumlah DTU dihitung sebesar penyaluran dana alokasi umum (DAU) Oktober-Desember 2022 dan penyaluran DBH kuartal IV tahun anggaran 2022. Belanja wajib perlindungan sosial ini tidak termasuk belanja wajib 25 persen dari DTU yang telah dianggarkan pada APBD 2022.
Penganggaran belanja wajib perlindungan sosial dilakukan dengan perubahan peraturan kepala daerah mengenai penjabaran APBD tahun anggaran 2022. Selanjutnya, perubahan itu dituangkan dalam peraturan daerah mengenai perubahan APBD tahun anggaran 2022 atau laporan realisasi anggaran bagi daerah yang tidak mengubah atau telah mengubah APBD tahun anggaran 2022.
Daerah juga wajib menyampaikan laporan yang sekaligus menjadi persyaratan penyaluran DAU dan DBH PPh Pasal 25/29. Ini berlaku bagi daerah yang tidak mendapat alokasi DAU. Laporan itu disampaikan ke Menteri Keuangan dan ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri.
Alokasi Dana Daerah Terlalu Kecil
Terkait dengan kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, mengatakan pengendalian inflasi di daerah tidak cukup hanya dengan menggelontorkan anggaran sebesar 2 persen dari DTU. Ia mengatakan perlu ada kebijakan lain yang mendukung realisasi anggaran tersebut.
"Misalnya kebijakan mendorong kerja sama antara daerah dalam satu provinsi dan fasilitator utama pemerintah provinsi," ujar Armand. Ia mengatakan kebijakan tersebut diperlukan untuk melihat kebutuhan setiap kabupaten atau kota. Dengan demikian, apabila ada daerah yang kelebihan produksi, dapat disalurkan ke daerah lain yang masih dalam satu provinsi.
Selain itu, Armand mengatakan setiap pemerintah kabupaten dan kota harus melihat rantai nilai atau rantai pasok suatu produk. Misalnya, pada produksi cabai dan bahan pokok lain, pemerintah harus melihat peran setiap mata rantai dari produksi sampai pemasaran. Dari sana, pemerintah daerah bisa menentukan tahapan mana yang dapat diintervensi untuk mengurangi ongkos produksi.
Kunci lain agar kebijakan ini berjalan, ujar Armand, adalah tidak membiarkan daerah berjalan sendiri. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, diminta menilai daerah yang berpotensi mengalami lonjakan tinggi inflasi ke depan. "Sehingga kebijakan atau imbauan itu tidak dipukul rata di semua daerah. Daerah yang mengalami ancaman kenaikan inflasi itulah yang perlu pembinaan dan pengawasan yang lebih khusus dari pemerintah pusat," ucapnya.
Adapun Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, menilai alokasi 2 persen dari DTU tidak memadai untuk perlindungan sosial sekaligus menahan inflasi di daerah. Padahal daerah dapat berkontribusi signifikan dalam menekan inflasi, khususnya melalui kebijakan transportasi dan pangan. Dengan dana yang terbatas, ia menyarankan pemerintah daerah berfokus pada upaya menopang sektor pangan.
Menurut hitungannya, total anggaran dari 2 persen DTU ini hanya Rp 2,5-3 triliun. Kalaupun ditambah alokasi dari pengalihan subsidi BBM Rp 2,17 triliun, besarannya hanya sekitar Rp 5 triliun. "Menurut saya, ini tidak memadai. Jadi, sebaiknya pemda berkonsentrasi menggunakan 2 persen dari DTU ini untuk menopang sentra-sentra pangan mereka agar dapat dibantu secara optimal, sehingga produksi pangan terjaga sesuai dengan rencana," tutur Yusuf.
Senada dengan Yusuf, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memperkirakan nominal yang ideal untuk penambahan dana mitigasi efek inflasi adalah di atas 10 persen dari DTU. "Berarti sekitar Rp 79 triliun. Itu idealnya," kata Bhima. Kendati demikian, upaya pemerintah pusat melibatkan daerah dalam menekan inflasi dinilai cukup tepat, apalagi kerap ada daerah yang serapan belanjanya masih belum optimal menjelang akhir tahun. "Perlu dimunculkan sense of crisis agar dana pemda benar-benar optimal digunakan sebagai motor pemulihan daya beli di daerah."
CAESAR AKBAR | JAMAL A. NASR (SEMARANG) | ARRIJAL RACHMAN | NOVA YUSTIKA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo