Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTARAN pagebluk Covid-19, ekonomi Indonesia saat ini bagaikan pasien yang tengah bergantung pada mesin pernapasan. Bank Indonesia adalah ventilatornya, yang memompakan “oksigen” berupa likuiditas agar ekonomi tetap bernapas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pompa BI bekerja giat membeli obligasi alias surat utang pemerintah. Dengan uang inilah pemerintah membayar defisit anggaran yang meledak karena besarnya pengeluaran untuk mengatasi wabah dan mengongkosi program pemulihan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa besar surat utang yang diterbitkan pemerintah tampak jelas dari nilai total obligasi pemerintah yang kini beredar di pasar. Pada awal Februari 2020, sebelum pandemi, nilai total surat utang pemerintah masih Rp 2.787 triliun. Angka ini mencerminkan total akumulasi obligasi pemerintah selama berpuluh tahun yang masih tersisa belum jatuh tempo. Sedangkan per 7 April 2021, Rabu pekan lalu, angka itu melejit menjadi Rp 4.170 triliun. Ada tambahan Rp 1.383 triliun atau naik 49 persen hanya dalam tempo 13 bulan.
Tentu, tak semua tambahan surat utang itu dibeli BI. Sebagian besar masih terserap oleh berbagai investor lembaga ataupun individu, lokal dan asing. Namun BI juga punya operasi penting di pasar selain membeli obligasi langsung dari pemerintah. Selama setahun terakhir, BI sibuk membeli obligasi pemerintah dari siapa saja yang ingin menjualnya, terutama investor asing.
Tak ada pilihan, BI memang harus menjadi “tukang tadah”. Jika tak ada BI yang membeli saat investor ramai-ramai menjual, harga obligasi pemerintah bisa runtuh. Kepercayaan pasar finansial terhadap pemerintah Indonesia langsung hilang menguap jika harga obligasinya ambruk.
Pembelian langsung dari pemerintah dan operasi di pasar membuat aset BI menggembung penuh obligasi. Nilai obligasi pemerintah yang dipunyai BI meledak lebih dari tiga kali lipat selama pandemi, dari Rp 304 triliun per 3 Februari 2020 menjadi Rp 969 triliun per 7 April 2021.
Gaya agresif BI tentu menarik perhatian investor. Memang, ekspansi moneter bukan hal baru untuk bank sentral negara maju yang mata uangnya kuat. Namun, untuk negara berkembang, belum ada preseden yang dapat menjadi pegangan. Kapan kebijakan “banjir uang” itu bakal membawa risiko besar? Belum ada pula jawaban pasti atas pertanyaan sampai batas mana ekonomi Indonesia mampu menerima pompaan rupiah yang seolah-olah tanpa rem itu.
Situasi ini juga bukan semata-mata perkara independensi bank sentral. Sebab, tak ada yang bisa memastikan bank sentral dalam tekanan saat mengambil kebijakan itu. Bisa jadi memang begitulah keputusan Dewan Gubernur BI yang muncul dari pikiran merdeka karena mereka yakin itu diperlukan demi menyelamatkan ekonomi.
Persoalan yang lebih berbahaya bagi Indonesia dari kebijakan ini adalah hilangnya disiplin anggaran. Sejak era Orde Baru, Indonesia punya catatan cemerlang mengenai kedisiplinan pemerintah mengendalikan anggaran, secara ketat membatasi defisit dan utang. Pandemi dan dukungan BI yang bersedia menjadi “bandar” kini membuat pemerintah tidak merasa perlu mengendalikan diri.
Hilangnya kendali atas keinginan berutang—toh, itu urusan generasi dan pemimpin masa depan—membuat politikus yang kini berkuasa berlaku lajak. Mereka bertindak seakan-akan tanpa perlu keseriusan untuk memastikan setiap sen yang dikeluarkan negara seharusnya benar-benar efektif membantu pemulihan ekonomi dan penanggulangan wabah. Pemerintah tidak beroperasi dalam suasana kegentingan karena uang tetap melimpah.
Tanpa kedisiplinan mengelola anggaran, pemerintah juga berpotensi terperosok dalam pembangunan proyek-proyek mercusuar yang amat jauh dari urgensi. Proyek ibu kota baru contohnya. Sungguh ajaib, proyek ini tak juga dihentikan ketika negara sebetulnya hanya bisa hidup karena pompa uang di BI tetap bekerja.
Hingga kini pun belum ada tanda BI akan mengubah kebijakannya. Dalam sidang Dewan Gubernur terakhir, 18 Maret lalu, BI sudah menegaskan langkahnya tidak akan berbalik arah. BI akan tetap memompa likuiditas seraya menjaga bunga tetap rendah.
Dalam jangka pendek, efek kebijakan ceroboh ini sudah terasa. Nilai rupiah terus tertekan. Dalam jangka panjang, kita hanya bisa berharap, semoga ini bukan awal dari keterpurukan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo