Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM bersubsidi bakal memberatkan beban APBN 2024 karena pemerintah menaikkan anggaran subsidi energi.
Alih-alih menaikkan anggaran subsidi, pemerintah diminta melanjutkan rencana pembatasan penerima BBM bersubsidi.
Rencana melebarkan defisit anggaran untuk kebutuhan subsidi energi karena mengecilkan ruang fiskal dan menjadi kebiasaan buruk yang baru bagi pemerintah selanjutnya.
JAKARTA - Pemerintah memastikan tarif listrik dan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak akan naik hingga Juni 2024. Namun rencana tersebut memberatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 karena pemerintah bakal menaikkan anggaran subsidi energi.
Awalnya, tahun ini pemerintah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp 189,1 triliun dengan rincian Rp 113,3 triliun subsidi untuk BBM dan elpiji 3 kilogram serta Rp 75,83 triliun untuk subsidi listrik. Alokasi subsidi tersebut lebih tinggi dari realisasi belanja subsidi energi pada 2023 yang sebesar Rp 164,29 triliun. Anggaran subsidi energi pun diperkirakan membengkak lantaran pemerintah menahan kenaikan tarif listrik dan BBM bersubsidi.
Pemerintah menyampaikan rencana pelebaran defisit APBN 2024 untuk memenuhi kebutuhan anggaran subsidi tambahan, seperti pupuk dan energi, serta bantuan langsung tunai. Defisit anggaran APBN mulanya 2,29 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) akan diperlebar menjadi 2,8 persen, atau bertambah 0,5 persen. Adapun defisit tahun anggaran 2,29 persen ini sekitar Rp 522,8 triliun.
Kebutuhan dana untuk menahan kenaikan harga BBM dan listrik berasal dari defisit anggaran tersebut. "Tambahan anggaran untuk Pertamina dan PLN itu akan diambil dari sisa saldo anggaran lebih ataupun pelebaran defisit anggaran pada 2024,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 26 Februari lalu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pemerintah membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.
Bantalan untuk Subsidi Energi
Pembatasan Penerima BBM Bersubsidi
Alih-alih menaikkan anggaran subsidi, kata Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, pemerintah seharusnya melanjutkan rencana pembatasan penerima BBM bersubsidi.
Arangga menyoroti pemberian subsidi BBM yang kini belum tepat sasaran. Sedangkan pemerintah belum mengantongi data acuan masyarakat yang layak menerima insentif tersebut. Menurut dia, pemerintah perlu melanjutkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram dan Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua revisi aturan tersebut memuat pembatasan pembelian elpiji 3 kilogram dan BBM bersubsidi Pertalite. “Sampai saat ini pemerintah masih terkesan enggan merampungkannya,” kata Arangga kepada Tempo, kemarin, 3 Maret 2024. Aturan tersebut juga nantinya memperjelas mekanisme pembatasan melalui sentralisasi data penerima bantuan subsidi.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan penyaluran subsidi tertutup yang menjadi mandat revisi aturan tersebut dapat mencegah dua risiko, yakni peralihan konsumen BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi imbas kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan biaya keekonomian harga BBM. Dia berharap revisi kedua aturan tersebut segera dieksekusi pemerintah periode saat ini.
“Jangan sampai diwariskan ke pemerintahan mendatang yang mungkin tak dieksekusi karena ada janji politik yang butuh kocek besar, yaitu program makan siang gratis,” katanya. Abra berharap pemerintah memanfaatkan potensi penghematan subsidi energi dari aturan tersebut atau penghematan dari realokasi anggaran lain yang tidak mendesak.
Abra mengkritik rencana pelebaran defisit anggaran untuk kebutuhan subsidi energi karena mengecilkan ruang fiskal dan menjadi kebiasaan buruk yang baru bagi pemerintah selanjutnya. Postur APBN, kata dia, harus dijaga secara disiplin dan tidak diubah lagi setelah ditetapkan. “Apalagi kalau faktor fundamental anggarannnya disesuaikan seperti defisit, ini jadi preseden tidak baik. Rencana defisit seharusnya menjadi jalan terakhir,” katanya.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo menuturkan komponen pembentuk dinamika subsidi energi sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude oil price (ICP), nilai tukar rupiah, dan stok di pasar. Dia mengakui saat ini nilai tukar rupiah mengalami tekanan. Tapi ICP masih sesuai dengan target yang ditetapkan APBN. Untuk keseluruhan, kata dia, beban subsidi energi pada 2023 masih terkendali.
Pemerintah dan DPR menyepakati asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024, yaitu harga ICP sebesar US$ 82 per barel dan nilai tukar rupiah 15 ribu per dolar Amerika. Selain itu, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi yang terkendali sebesar 2,8 persen, suku bunga SBN 10 tahun sebesar 6,7 persen, lifting minyak sebesar 635 ribu barel per hari, serta lifting gas sebesar 1,033 juta barel setara minyak per hari.
Harga ICP Januari 2024 sebesar US$ 77,12 per barel. ICP pada Januari 2024 meningkat US$ 1,61 per barel dibanding pada bulan sebelumnya, Desember 2023, sebesar US$ 75,51. ICP juga merupakan salah satu komponen penentu tarif dasar listrik, selain nilai tukar rupiah dan inflasi. Selain mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik, perubahan ICP bakal mempengaruhi jumlah subsidi dan kompensasi energi yang harus digelontorkan pemerintah. Sementara itu, nilai tukar rupiah saat ini sudah melewati asumsi makro yakni 15.700 per dolar.
Wahyu tak menyebutkan besaran ruang fiskal tambahan untuk mengantisipasi kebutuhan subsidi energi. Dia memastikan dinamika subsidi energi masih dapat ditangani dengan baik di tengah volatilitas harga komoditas. “Saat ini baru Maret. Sedangkan asumsi ICP yang ditetapkan APBN itu setahun. Jadi, melihat perkembangan harga ICP, hingga saat ini masih dalam kisaran yang ditetapkan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebutkan anggaran subsidi 2024 didasarkan pada asumsi makro APBN 2024. Selama harga realisasi ICP masih di bawah harga asumsi, tidak ada alasan bagi pemerintah menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidi. Menurut dia, masih masuk akal pemerintah mampu menahan harga BBM subsidi hingga Juni.
Abra Talattov berharap pemerintah dapat menjaga harga BBM subsidi agar tidak naik, terutama hingga Juni 2024. Pada periode Maret dan April, siklus mobilitas masyarakat naik tinggi karena bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran. Sedangkan Mei dan Juni merupakan momentum tahun pendidikan ajaran baru, yang di dalamnya kemampuan daya beli masyarakat sensitif dengan kenaikan harga. Meski tidak berkontribusi pada kenaikan inflasi inti, naiknya harga BBM akan menyumbang kenaikan inflasi pangan. Tingginya inflasi pangan selanjutnya akan memicu kenaikan harga bahan-bahan pokok lainnya.
Seorang nelayan mengisi bahan bakar minyak jenis solar menggunakan jeriken di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan Pertamina Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Dok. TEMPO/STR/Iqbal Lubis
Harga Minyak Terus Bergejolak
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha mengingatkan harga energi dunia tidak hanya bergantung pada supply dan demand, tapi juga berkaitan dengan aspek geopolitik seperti perang Ukraina-Rusia serta ketegangan Cina dengan Amerika yang belum selesai. Menurut dia, tidak ada yang bisa memprediksi harga minyak dunia di tengah gejolak global. Paling tidak, hasil sidang Negara-Negara Pengekspor Minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dapat memberi gambaran proyeksi harga minyak.
Peningkatan harga minyak dunia saat ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan sekaligus kekhawatiran terjadinya gangguan suplai di tengah berlanjutnya risiko geopolitik di Laut Merah pada akhir Januari lalu. OPEC mengindikasikan penurunan supply dunia pada Desember 2023 sebesar 400 ribu barel per hari (bph) menjadi 100,9 juta bph. Produksi negara-negara non-OPEC diperkirakan turun 0,5 juta bph pada Desember 2023.
Stok minyak mentah AS tercatat anjlok pada akhir Januari 2024 sebesar 10,4 juta barel menjadi 420,7 juta barel. Selain itu, dilaporkan adanya penurunan produksi minyak AS pada akhir Januari 2024 sebesar 900 ribu bph menjadi 12,3 juta bph. Kementerian ESDM memproyeksikan permintaan minyak dunia pada triwulan I 2024 meningkat sebesar 1,7 juta barel bph.
Dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan harga minyak melewati asumsi makro APBN. Untuk itu Satya meminta pemerintah meningkatkan penerimaan negara melalui ekspor nonmigas dan program penghiliran pertambangan. Tambahan penerimaan negara tersebut, kata dia, dapat menjadi bantalan untuk memenuhi kebutuhan tambahan subsidi energi.
Adapun PT Pertamina selalu memantau perkembangan harga minyak dunia yang menjadi kontributor utama pembentuk harga BBM bersubsidi. “Masih kami lihat tren dan prognosisnya,” kata Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting. Jika harga minyak mentah dunia melampaui harga asumsi APBN 2024, Pertamina akan berkoordinasi dengan pemerintah selaku regulator. Pertamina berharap harga minyak dunia hingga Juni nanti masih di bawah asumsi makro sesuai dengan nota keuangan pemerintah.
Executive Vice President Komunikasi Korporat PT PLN (Persero) Gregorius Adi Trianto menuturkan pihaknya siap menjalankan keputusan pemerintah untuk menjaga tarif listrik agar tidak berubah. “Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga pertumbuhan ekonomi,” ujarnya. PLN, kata dia, akan terus mengoptimalkan kinerja operasional yang efisien sehingga tetap mampu menghadirkan listrik yang andal.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, PLN menyebutkan penyesuaian tarif listrik perlu dilakukan demi meningkatkan kemampuan investasi dan mengurangi ketergantungan perseroan terhadap utang. PLN memproyeksikan biaya pokok penyediaan listrik (BPP) rata-rata pada periode 2025-2030 naik hingga Rp 1.637 per kWh, dari rata-rata Rp 1.445 per kWh untuk periode 2021-2024. Kenaikan BPP pada 2025 tak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen.
ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo