Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Dunia yang Kian Tenggelam dalam Utang

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

5 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi/Rudy Asrori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMAT manusia sedunia harus bersiap menerima warisan dari pandemi yang kini tengah mengamuk. Warisan itu adalah utang yang jumlahnya sungguh luar biasa. Inilah buah kebijakan semua negara di dunia untuk mencegah keruntuhan ekonomi masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Institute of International Finance, asosiasi global yang menghimpun lebih dari 450 lembaga keuangan utama, menghitung rasio total utang sedunia terhadap produk domestik bruto tahun ini akan mencapai 365 persen, naik dari 320 persen pada 2019. Ini tak terelakkan karena utang adalah satu-satunya obat keras yang mampu menyelamatkan ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena suntikan itu, ekonomi global, setidaknya untuk sementara ini, relatif selamat. Memang ada resesi, tapi ekonomi jelas tidak runtuh. Suntikan utang itu juga membuat pasar finansial lebih bergairah ketimbang di masa sebelum pandemi. Kabar bahwa vaksinasi akan segera dimulai dan karena itu pandemi dapat teratasi kian menghanyutkan pasar dalam optimisme.

Harga saham pun melonjak di mana-mana. Indeks S&P 500 di bursa New York terus menanjak menyentuh titik tertinggi sepanjang masa. Sebelum pandemi, sejak memakai 500 saham sebagai dasar perhitungan pada 1957, indeks ini rata-rata naik cuma sekitar 8 persen per tahun. Justru di tengah wabah pertumbuhannya mencelat luar biasa. Jika dihitung sejak awal tahun hingga akhir pekan 4 Desember lalu, S&P 500 sudah tumbuh 14,3 persen, nyaris dua kali lipat pertumbuhan di masa normal.

Sebagaimana halnya obat keras, utang pasti punya efek samping. Ada risiko besar yang mengancam di masa depan. Namun saat ini pasar seolah-olah mengabaikannya. Di Amerika Serikat, misalnya, total utang semua korporasi, termasuk bisnis kecil-menengah, per Juli 2020 sudah mencapai US$ 17 triliun. Tak ada yang bisa memastikan apakah ekonomi Amerika kelak tetap bisa menggelinding dengan beban utang sebesar itu.

Bunga yang sangat rendah di negara-negara maju, untuk sementara ini, memang membuat beban utang itu terasa ringan. Ongkos berutang masih murah. Tapi, ironisnya, begitu ekonomi mulai membaik dan bunga juga naik di masa depan, ongkos utang itu otomatis berkali lipat bertambah berat.

Utang besar yang membebani korporasi juga berisiko memicu resesi. Perusahaan yang terlampau berat terbebani utang tak akan mampu berekspansi, menambah jumlah pekerja, apalagi berinvestasi. Jika korporasi tak mampu menumbuhkan diri, pada gilirannya pertumbuhan ekonomi juga akan ikut melambat. Tenaga kerja tak terserap. Angka pengangguran bertambah.

Masalah lebih berat muncul di negara berkembang seperti Indonesia. Sebab, di sini bunga utang tak semurah bunga di negara maju. Utang pemerintah juga menjadi persoalan serius, bukan hanya utang korporasi. Jika pemerintah negara maju dapat berutang dengan ongkos yang sangat rendah, bahkan nyaris nol persen alias gratis, pemerintah Indonesia harus membayar ongkos amat besar jika hendak berutang.

Sebagai gambaran, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah RI yang berjangka 10 tahun saat ini 6,2 persen. Jangankan dibandingkan dengan negara maju, di antara sesama negara ASEAN pun pemerintah RI harus membayar bunga jauh lebih tinggi. Imbal hasil obligasi pemerintah Thailand dengan tenor yang sama, misalnya, hanya 1,3 persen.

Beban utang pemerintah Indonesia yang melonjak begitu besar karena Covid-19 dapat menjadi persoalan serius di tahun-tahun mendatang. Sebagian besar pendapatan pemerintah akan tersedot untuk membayar cicilan utang ataupun bunganya. Makin sempit pula ruang bagi pemerintah untuk berinvestasi atau membiayai pengembangan infrastruktur.

Keuangan pemerintah memang tertekan hebat karena wabah. Penerimaan merosot sangat tajam, sementara pengeluaran justru bertambah. Sejak awal tahun hingga Oktober, rasio defisit anggaran pemerintah pusat terhadap produk domestik bruto sudah mencapai 4,7 persen atau senilai Rp 764,9 triliun. Estimasinya, sepanjang 2020, rasio defisit ini akan menjadi sekitar 6,3 persen.

Kedatangan vaksin memang melegakan. Orang boleh berharap wabah bakal teratasi. Tapi belum ada jalan yang terang bagaimana Indonesia akan mengatasi beban warisan utang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus