Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Super Mama bukan film seri terbaru tentang superhero atau super-super lainnya. Namun daya tariknya melebihi Superman yang ganteng dan atletis, atau Superwoman yang cantik dan gesit. Begitu memukaunya, acara ini ditayangkan di Indosiar sampai lebih dari enam jam, pada saat prime time, hampir setiap hari pula. Prestasinya pun dahsyat. Selama Super Mama ditayangkan, lembaga survei AC Nielsen menempatkan acara ini di peringkat pertama, mengalahkan sinetron, yang semula menjadi juara rating televisi. Indosiar pun sempat beberapa kali bertahan sebagai stasiun televisi yang paling banyak ditonton.
Satu acara berdurasi hingga enam jam memang baru pertama kali terjadi di pertelevisian Indonesia. Nah, apa yang membuat penonton bertahan dan tidak bosan? Karena acara ini mengangkat unsur personal, yaitu hubungan antara bintang atau selebritas yang menjadi peserta dan ibu mereka. Selain itu, daya tarik Super Mama bukan sekadar pada lagu-lagu yang dinyanyikan kontestan, yang bisa terdiri dari bintang sinetron atau pelawak, tapi juga kelucuan pembawa acara serta juri.
Seorang fan Super Mama, bernama Ida, 62 tahun, mengaku kepincut pada pembawa acara Eko Patrio dan Ruben Onsu, serta juri Ivan Gunawan, yang selalu berdandan cantik dan dipanggil Madam Ivan. ”Mereka nggak pernah kehabisan lelucon walaupun siaran berjam-jam setiap hari,” kata Ida, nenek dua cucu ini.
Sedangkan Sofiani mengaku jatuh cinta pada Ivan. Menurut perempuan 50 tahun ini, Ivan, yang berprofesi sebagai perancang busana, selalu memberikan inspirasi pada ibu tiga anak ini. Alhasil, pengetahuan Sofiani tentang mode pakaian bertambah.
Super Mama sebenarnya merupakan acara ”turunan” dari Mama Mia. Bedanya, di Mama Mia, si anak—harus perempuan—bukan selebritas, melainkan orang biasa. Ibu, yang berperan sebagai manajer, bertanggung jawab merancang gaya bernyanyi dan model pakaian si anak di atas panggung. Keduanya mesti kompak mempromosikan diri agar dipilih sebagai pemenang. Namun cara penentuan pemenang pada Mama Mia berbeda dengan kontes serupa seperti Indonesian Idol, yang menyandarkan pada perolehan pesan pendek. Pemenang Mama Mia bergantung pada penilaian 100 juri—disebut vote lock—yang sudah ditentukan sebelumnya di berbagai kota.
Kini, acara yang dimulai tahun lalu itu sudah masuk putaran kedua: Mama Mia 2008. Seperti sebelumnya, kehebohan acara ini sudah dimulai sejak audisi yang memang digelar di beberapa kota. Ribuan ibu dan anak perempuan remaja mendaftar dan sabar berjam-jam menunggu dipanggil untuk audisi agar bisa sampai ke tahap berikutnya. Pekan lalu, Mama Mia 2 sudah menyaring hingga 42 peserta.
Yang ditawarkan Mama Mia sebenarnya tak lebih dari ramuan yang biasa dipakai reality show: menjual mimpi. Betapa tidak, hanya dalam beberapa minggu, gadis remaja yang biasanya jadi pengamen berubah menjadi bintang terkenal. Tidak perlu berwajah cantik, bertubuh sempurna, dan dari keluarga berada untuk mengikuti kontes ini. Ajeng Astiani, peserta Mama Mia tahun lalu, misalnya, hanya sekolah sampai kelas 2 SD dan sehari-hari mengamen di bus lintasan Cawang-Grogol bersama mamanya, Cindy. Ada juga Fiersha Hanafiah, tunanetra asal Bandung, yang bersama ibunya, Aci, berhasil menembus sepuluh besar kontes ini.
Nah, kelebihan Mama Mia—juga Super Mama—selain menjual mimpi adalah mengekspos hal-hal emosional antara ibu dan anak. Ada kisah sedih dan mengharukan, ada yang lugu, tak sedikit pula yang kocak. Semuanya berpadu menjadi ramuan pas yang membuat laris acara ini. Terbukti, dari data AC Nielsen, Indosiar melejit menjadi stasiun televisi nomor dua dalam jumlah penonton di Jakarta dan nomor satu di luar Jakarta. Mama Mia berhasil mengungguli Indonesian Idol di RCTI, ketika kedua program itu tayang pada jam yang sama tahun lalu.
Acara yang laris memang biasanya ”beranak-pinak” atau menular. Selain Super Mama, ada Stardut, acara serupa yang khusus menampilkan lagu dangdut. Yang terbaru adalah Superstar Show, yang menampilkan selebritas tapi tak mesti tampil dengan ibunya, melainkan bisa dengan adik, kakak, suami, istri, atau teman. Pokoknya, acara yang sama ”digoreng” terus dengan aneka variasi.
Sedangkan di RCTI muncul Idola Cilik, yang peminatnya juga membludak. Ada 9.000-an pendaftar dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Baru tiga pekan disiarkan, acara ini langsung memukau hati pemirsa dan segera menduduki posisi tujuh dalam 10 program musik dan reality show anak-anak paling banyak ditonton, menurut hasil riset AC Nielsen.
Ramuannya tetap sama, yaitu menampilkan orang biasa di layar kaca, dan memberikan kesempatan pada mereka untuk mewujudkan keinginan menjadi bintang. Lihat saja aksi Siti Qomariah di Idola Cilik. Anak perempuan 11 tahun itu tampak canggung mengenakan rok jins biru berenda, stocking merah muda, dan pita putih di lehernya. Maklum, pakaian dengan gaya seperti itu biasanya hanya dia lihat di layar kaca, dikenakan para penyanyi yang sudah biasa muncul di televisi. Di belakang panggung, mantan pengamen jalanan ini sempat mulas dilanda grogi. Tapi, begitu disiram lampu kamera, bocah kelas 4 SD di Surabaya ini mendadak percaya diri. Dia tampil riang dan lincah mengitari panggung menyanyikan lagu Topeng dari Peterpan.
Para komentator, Rabu dua pekan lalu, yang salah satunya mantan penyanyi cilik Ira Maya Sopha, menghujani Siti dengan pujian. Anak kelima dari delapan bersaudara itu tersenyum bahagia. ”Kalau aku lolos delapan besar, teman-temanku mau kasih aku hadiah tas. Soalnya, tasku sudah rusak,” kata bocah yang pernah putus sekolah itu dengan polos.
Menurut Manajer Marketing Communication RCTI, Teges Prita Soraya, meski acara baru dan tak masuk pada jam tayang utama, iklannya melimpah. ”Ongkos produksinya pun murah,” kata Teges. Keuntungan melimpah jadi diraup.
Soal biaya yang relatif murah juga dibenarkan Manajer Humas Indosiar, Gufron Sakaril. Menurut dia, biaya pembuatan Mama Mia dan sejenisnya lebih murah karena hasil produksi sendiri (inhouse). ”Kalau sinetron, dalam enam jam kita mesti memutar enam judul. Tetapi program ini cukup satu acara saja,” katanya. Namun ia menampik bahwa Indosiar sengaja memanjangkan dan ”mengembangbiakkan” Mama Mia semata-mata karena murah dan menguntungkan. ”Respons masyarakat masih tinggi, baik penonton maupun peserta audisi,” katanya.
Ya, reality show seperti Mama Mia memang berhasil mendapat peringkat dan keuntungan tinggi. Tapi, yang harus dicatat—seperti banyak acara televisi lainnya di sini—Mama Mia bukan orisinal Indonesia. Seperti halnya Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang mengambil lisensi dari program La Academia, Mama Mia juga diadopsi dari acara Quinceanera di Telemindo, televisi berbahasa Spanyol di Meksiko.
Menurut pengamat televisi Veven S.P. Wardhana, acara semacam ini adalah cerminan budaya mau terkenal secara instan, meskipun dengan kualitas pas-pasan. ”Yang mau terkenal anaknya, ibunya, atau stasiun televisinya,” kata Veven.
Veven mengkritik jam tayang Super Mama yang terlalu panjang dan kemunculan acara serupa. ”Para pengelola stasiun televisi aji mumpung dengan memanjang-manjangkan acara untuk mengeruk keuntungan,” katanya. Ya, meski kritik bertebaran, the show must go on, sampai penonton sendiri yang bosan dan mematikan televisi.
Andari Karina Anom, Rika Panda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo