Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nama besar PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pernah menguar sebagai produsen tekstil yang menggarap seragam tentara negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau North Atlantic Treaty Organization (NATO). Namun, kini kejayaan itu tinggal sejarah setelah perusahaan dinyatakan pailit dan resmi tutup per Sabtu, 1 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sritex tak lagi beroperasi karena tak bisa membayar utang. Akhir perjalanan bisnis tekstil terbesar di Asia Tenggara itu dikonfirmasi melalui rapat kreditur kepailitan Sritex pada Jumat, 28 Februari 2025. Debitur dan kurator pailit menilai Sritex dalam kondisi tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang, sehingga tidak dapat melakukan keberlanjutan usaha atau going concern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak mungkin dijalankan going concern dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit,” kata Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Semarang, Haruno Patriadi, dalam rapat kreditur kepailitan PT Sritex di Semarang, Jumat, seperti diberitakan Antara.
Sejarah itu diukir pada 1994, Sritex dipercaya negara-negara NATO untuk memproduksi seragam militer mereka. Seperti diungkapkan bekas Direktur Utama Sritex, Sri Sartono Basuki, pada 2014 lalu, kerja sama itu bermula ketika Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) meminta perusahaan tersebut membuat baju militer pada 1990.
Suatu waktu ABRI—kini Tentara Nasional Indonesia (TNI)—dan NATO saling tukar seragam militer layaknya tukar kostum pemain sepak bola. Setelah diuji dan dibandingkan dengan buatan Amerika Serikat alias AS, ternyata kualitas buatan Sritex asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu lebih bagus. NATO akhirnya membuat kesepakatan dengan Sritex untuk memproduksi seragam militer mereka.
“Lalu diuji, dibandingkan dengan AS dan ternyata lebih bagus. Waktu itu (PT Sritex) orientasinya masih fesyen,” kata Sartono saat media mengunjungi pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 12 Maret 2024 silam.
Sejak kesepakatan pada 1994 itu, kualitas seragam militer yang diproduksi Sritex pun menyebar ke berbagai belahan dunia. Banyak negara memesan seragam militer dengan spesifikasi berbeda. Mulai dari seragam tentara yang antipeluru, antiradiasi, antinyamuk, antiapi, antiair, dan sebagainya. Bahkan Sritex pernah mengembangkan seragam militer kamuflase daoa berubah warna sesuai dengan lingkungan alam.
“Baru tahap-tahapnya, belum sedetail itu (berubah warna), kita dikondisikan ke sana,” kata Sartono satu dekade lalu.
Hingga saat ini sebelum akhirnya dinyatakan pailit, Sritex menjadi produsen seragam militer untuk 35 negara. Negara-negara yang dipasok oleh Sritex antara lain Jerman, Inggris, Malaysia, Australia, Timor Leste, Uni Emirat Arab, Kuwait, Brunei Darussalam, Singapura, Amerika Serikat, Papua Nugini, Selandia Baru, Tunisia, Turki, dan anggota NATO.
Selain memproduksi seragam tentara, Sritex mengekspor benang dan kain ke 100 negara. Dalam setahun, Sritex memproduksi 1,1 juta bal benang, 179,9 juta meter kain mentah, 240 juta yard kain berwarna, serta 30 juta potong pakaian jadi dan seragam. Sebagian besar barang ini dibuat di pabrik seluas 79 hektare di Sukoharjo.
Menurut majalah Tempo edisi 3 November 2024 dalam laporan bertajuk “Pita Hitam di Pabrik Seragam”, dikenal sebagai produsen seragam militer untuk berbagai negara, Sritex mulanya adalah toko kain di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Perusahaan ini didirikan Muhammad Lukminto pada 1966. Dua tahun setelah itu, Lukminto membuka pabrik cetak pertama untuk menghasilkan kain putih dan berwarna.
Sritex kemudian terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan pada 1978. Bisnis Sritex terus bergulir. Pada 1982, Lukminto membangun pabrik tenun pertama Sritex. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ini memperluas pabrik dengan membangun empat lini produksi dalam satu atap, dari pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, hingga busana.
Sejak pertama kali mendapatkan permintaan pembuatan seragam militer oleh TNI pada 1990, dalam perjalanannya Sritex juga membantu pengembangan hovercraft milik TNI AD, kemudian tenda, dan ransel militer. Salah satu produk yang kualitasnya bisa diandalkan adalah rompi antipeluru.
“Spesifikasi militernya sampai level empat, yaitu laras panjang dan serang jarak dekat. TNI juga pakai itu,” kata bekas Presiden Direktur Sritex Iwan Kurniawan Lukminto saat mendampingi Sartono kala dikunjungi media.
Namun kini kejayaan Sritex sudah usai. Setelah dilanda pandemi Covid-19, angka penjualan perusahaan anjlok menjadi US$ 847,5 juta pada 2020. Di sisi lain, beban pokok penjualan naik dari US$ 1,05 miliar menjadi US$ 1,22 miliar. Akibatnya, Sritex mencatat kerugian untuk pertama kali sejak melantai di pasar modal.
Pada 2021, Sritex membukukan rugi bersih US$ 1,08 miliar atau sekitar Rp 15,4 triliun. Pada semester I 2024, kerugian menipis menjadi US$ 25,73 juta atau Rp 421 miliar. Adapun kewajiban Sritex membengkak dari Rp 13,43 triliun pada 2019 menjadi Rp 26,2 triliun pada pertengahan 2024.
Terkini, per Sabtu, 1 Maret 2025, Sritex resmi tutup usai diputuskan dalam rapat kreditur kepailitan Sritex pada Jumat, 28 Februari 2025. Lebih dari 8 ribu lebih orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam penghentian operasi perusahaan itu. Sehingga jumlah total karyawan dan pekerja Sritex Group yang terkena PHK akibat putusan pailit mencapai 10.665 orang.
Caesar Akbar, Adil Al Hasan, Septia Ryanthie, dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.