Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Orang tua yang ditarik dua kekuatan

Pengarang: h. soebagijo i.n (et al.) jakarta: harian umum pelita, 1985 resensi oleh: deliar noer. (bk)

21 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

70 TAHUN PROF. DR. H.M. Rasjidi Oleh: H. Soebagijo I.N. (et al.) Penerbit: Harian Umum Pelita, Jakarta, 1985, 340 halaman SESUAI dengan judulnya, kitab ini mengelu-elukan Profesor Rasjidi yang, pada 20 Mei 1985, genap berusia 70 tahun. Kitab ini menampilkan riwayat hidupnya, tulisan berbagai tokoh yang berhubungan dengannya, dan karangan berbagai ahli mengenai berbagai bidang bagi tokoh yang berulang tahun. Kitab ini diusahakan oleh panitia, yang inisiatifnya datang dari Menteri Agama H. Munawir Sjadzali. Mungkin karena Rasjidi pernah menjadi menteri agama (malah yang pertama) di republik ini. Di dalam panitia duduk juga tokoh-tokoh yang pernah menjadi menteri agama (Saifuddin Zuhri, A. Mukti Ali) beserta tokoh-tokoh lain, termasuk yang pernah mendapat kecaman dari Rasjidi, seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, malah Mukti Ali sendiri. Juga duduk orang yang mempunyai persepsi yang berbeda dalam hal agama dan politik dengan Rasjidi - Abdurrahman Wahid jelas termasuk dalam golongan ini. Apakah usaha penerbitan kitab ini mencerminkan suatu pendekatan antara pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk Rasjidi sendiri, atau disebabkan keterpaksaan, hanya yang bersangkutan yang lebih tahu. Yang jelas, beberapa kawan Rasjidi yang sepaham, baik dalam hal politik maupun dalam hal agama, misalnya Anwar Haryono yang sebelum inisiatif Munawir telah lebih dahulu menjajaki kemungkinan berdirinya panitia tersendiri untuk maksud yang sama - tidak terdapat dalam daftar sekarang. Dalam usianya yang ke-70, tampaknya Rasjidi masih saja ditarik oleh dua kekuatan paham, pendirian, dan perhatian. Kedua macam tarikan itu tecermin dalam seluruh kehidupan Rasjidi, seperti tampak dalam biografinya, yang ditulis H. Soebagijo I.N. pada Bagian Kesatu (halaman 3-116). Di masa kecil, Rasjidi dibesarkan di antara keabangan orangtuanya dan kesantrian pendidikannya. Ia pernah berhadapan dengan lembaga pendidikan agama (Universitas Al Azhar) dan lembaga pendidikan yang bersifat "umum" (sekolah menengah umum, Darul Ulum, dan Universitas Kairo). Sekembali di tanah air dari studinya di Kairo, ia memberi perhatian ke bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan (Madrasah Ma'had Islamy, Islamic Studie Club, Pesantren Luhur), dan juga turut dalam pergerakan (Partai Islam Indonesia). Sesudah Indonesia merdeka, Rasjidi menghadapi hal yang sama dalam proporsi yang lebih mencuat dan besar: ia turut dalam pemerintahan (berturut-turut sebagai menteri, sekretaris jenderal Kementerian Agama, kepala perwakilan Republik Indonesia di Kairo, duta besar), dan juga berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan (Universitas Sorbonne, Universitas McGill, kemudian Islamic Study Club yang dibentuknya sendiri, Universitas Indonesia, serta penulisan dan penerjemahan buku). Sayang sekali, "benang merah" seperti ini dalam uraian Soebagijo, yang dimulai dengan Bab 10, kurang tecermin karena penulisnya bagai berpindah perhatian. Soebagijo lebih menitikberatkan pada pendapat-pendapat Rasjidi yang menanggapi pendapat orang lain, seperti Pranarka (Bab 10), isi tesis Rasjidi di Sorbonne (Bab 12), dan pidato pengukuhan sebagai guru besar agama Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lanjutan Bab 12). Diselingi dengan daftar penulisan dan penerjemahan yang dilakukan Rasjidi dalam Bab 11, maka mau tidak mau kita memperoleh kesan bahwa tulisan Soebagijo pada Bagian Kesatu menampilkan tokoh yang berulang tahun itu secara tidak utuh. Tempat dan kedudukan Rasjidi, serta pahamnya dalam menghadapi masa yang sedang berjalan kini, boleh dikatakan tidak di kemukakan sama sekali. Bagaimana pemikiran dan pendapat Rasjidi tentang kedudukan dan perkembangan Islam di tanah air, di dunia, hubungannya dengan Pancasila, dan sebagainya, akan sangat menarik untuk diungkapkan. Kita juga tidak bisa mengetahui dari tulisan ini, misalnya, bagaimana Rasjidi sebagai kepala keluarga terhadap pembantu di rumah tangga sebagai kepala suatu lembaga atau kantor (ia pernah sebagai kepala perwakilan RI, dan kini kepala Kantor Rabithah Alam Islamy di Jakarta), terutama dalam berhadapan dengan bawahan atau sebagai guru besar dalam menghadapi para mahasiswa dan para asistennya. Adalah terlalu sederhana mengatakan bahwa pergantian M. Natsir sebagai kepala kantor perwakilan Rabithah di Jakarta disebabkan oleh kegiatannya "menggabungkan kegiatan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia dengan kegiatan Rabithah" (halaman 78). Seyogyanya, perlu disertakan analisa tentang ini dengan melihat posisi Natsir (yang tergolong kelompok Petisi 50) dalam mata pemerintah Indonesia, dan larangan terhadapnya bepergian ke luar negeri sehingga ia tidak dapat menghadiri sidang-sidang tahunan Majelis Ta'sisi organisasi itu di Mekkah. Padahal, Natsir anggota majelis itu. Atau, karena larangan itu, Natsir tidak mungkin memberikan laporannya langsung kepada sidang atau kepada kantor pusat Rabithah di Mekkah sehingga hal-hal yang semacam ini harus disalurkan melalui Rasjidi, yang memang bebas bepergian ke mana-mana. Mungkin akan lebih menarik bila Soebagijo juga mengungkapkan honorarium Rasjidi dalam berbagai kedudukan setelah penyerahan kedaulatan di akhir 1949, sebagai perbandingan dengan sekadar bantuan dan fasilitas yang minim yang diterimanya selama revolusi berlangsung - hal yang oleh penulis memang dicatat sebagai pengorbanan. Bagian Kedua (halaman 117-230) memuat tulisan tiga belas tokoh tentang Profesor Rasjidi. Bagian ini bervariasi, dari yang sebenarnya tidak mengetengahkan apa-apa (seperti tulisan Saifuddin Zuhri) sampai kepada pengalaman berhadapan dengan Rasjidi (tulisan H. Rosihan Anwar), atau pengamatan tentang Rasjidi (tulisan Kenneth Morgan). Ada pula yang lebih mengungkapkan sikap diri dalam berhadapan dengan Rasjidi, seperti di perlihatkan Ihromi dalam masalah "Hubungan Antaragama" atau Fachry Ali mengenai hubungan " . . . Rasjidi dan Perkembangan Pemikiran Islam". Ihromi, guru besar Sekolah Tinggi Teologia, Jakarta, menekankan lebih banyak persepsinya (atau keinginannya?) tentang hubungan antaragama itu, sedangkan Fachry melihat kesenjangan antara Profesor Rasjidi di satu pihak dan "generasi muda" Islam di pihak lain. Dalam membaca yang terakhir ini, kita mungkin bertanya apakah "generasi muda" itu memang merupakan satu golongan, dan apakah Fachry memang bisa mengatasnamakan "generasi muda" tersebut, yang sebenarnya bukan terdiri dari satu golongan. Bagian Ketiga (halaman 233-326) merupakan kumpulan delapan buah tulisan untuk Profesor Rasjidi, masing-masing dengan bidang, gaya, dan tema yang diminatinya. Taufiq Ismail, misalnya, bersajak dalam melihat abad ke-15 Hijriyah, sedangkan S. Takdir Alisjahbana menyongsong kebangkitan dunia baru dengan mencoba menempatkan kedudukan umat Islam Indonesia di dalamnya. Takdir menilainya positif, tetapi dengan syarat bahwa umat ini "membebaskan dirinya dari suasana kekacauan, perselisihan kefeodalan, dan keterbelakangan di Timur Tengah, dan mencari jalan sendiri. . . " (halaman 323), serta melakukan penafsiran yang terus-menerus tentang isi Alquran. Tetapi dalam rangka memberikan tafsiran yang relevan dengan masa kini, Takdir antara lain mengemukakan analogi antara surah al-Baqarah (ayat 136) tentang persamaan ajaran yang turun kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya dengan pandangan mengenai persamaan agama yang dikenal oleh berbagai kalangan pada masa kini. Takdir lupa bahwa menurut keyakinan Islam, ajaran nabi-nabi terdahulu itu adalan ajaran yang tetap menyuruh orang "berserah diri kepada Allah" (yaitu Islam), dan bahwa ajaran ini telah diubah oleh para pengikutnya yang kemudian, sehingga diperlukan kerasulan Muhammad saw. Sebab itu, analogi tadi tidak mungkin dipakai. Sejalan dengan itu adalah tulisan M. Sastrapratedja, "Prospek Agama-Agama, Suatu Tinjauan Sosiologis". Sungguhpun penulisnya tidak menyebut Islam secara khusus, tapi tinjauan seperti yang dikemukakannya bisa dipertanyakan untuk diterapkan dalam rangka Islam. Tentu saja ini tidak berarti bahwa tulisan tersebut tiada gunanya. Tulisan A.M. Saefuddin, yang berjudul "Konsep Pendidikan Agama: Sebuah Pendekatan Integratif Inovatif", menuntut penjabaran yang lebih menjelaskan persoalan. Cakupan yang begini luas memang tidak mudah untuk dikemukakan dalam beberapa halaman, walau disertai berbagai bagan. Yang menarik adalah tulisan "Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern" dari A. Baiquni yang membicarakan satu-dua penemuan baru dalam ilmu pengetahuan, yang menurut penulisnya sesuai dengan isi ayat-ayat Quran. Ini berarti juga bahwa untuk memahami Quran dalam segi-segi tertentu seperti ditunjukkan Baiquni, seseorang hendaklah juga mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern itu. Bila ini diteruskan, tafsir Quran pun tidak boleh berhenti, melainkan perlu mengalami perkembangan. Dan, ini pula yang dikemukakan Takdir. Buku ini akhirnya merupakan bunga rampai tentang berbagai segi kehidupan, ilmu pengetahuan, agama, dan pandangan tentang masa depan. Sebab itu, dalam tinjauan yang singkat ini tidak semua tulisan dapat dikemukakan. Tetapi kitab ini diusahakan oleh suatu panitia yang anggota-anggotanya cukup sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dan tulisan pun diminta dan berdatangan dari mereka yang juga tidak kalah sibuknya dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Mengingat hal-hal ini, maka pendalaman kajian tentang berbagai hal itu tidaklah mungkin dilakukan seseorang untuk memenuhi tuntutan tahniah terhadap seorang rekan seperti Profesor Rasjidi belaka, melainkan dengan cara yang mudah-mudahan lebih dapat dikembangkan kelak: dengan kesengajaan melakukan riset serta konsentrasi perhatian pada bidang-bidang tertentu oleh masing-masing peminat. Ini berarti, antara lain, perlu berkurangnya rangkapan kerja, pembagian yang lebih tegas antara kerja untuk keperluan praktis dan kerja pikir, kurang bercampurnya kepentingan ilmu dengan kepentingan-kepentingan diri, termasuk popularitas. Selanjutnya, kemudahan yang lebih banyak bagi ilmuwan untuk mengembangkan bidangnya terlepas dari pergolakan dan perkembangan politik. Berbagai kesalahan kecil dalam kitab ini ataupun kekurangjelasan tidak mengurangi ucapan tahniah kita kepadanya. Selamat untuk Profesor Rasjidi. Deliar Noer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus