TAMBAHAN suplai besi tua dalam jumlah besar bakal diperoleh pabrik baja PT Krakatau Steel di Cilegon secara berangsur dari pembesituaan 171 kapal yang rata-rata berusia 20 tahun ke atas. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Laut Pongky Supardjo di depan anggota DPR, pekan lalu, tindakan itu diambil mengingat kapal milik swasta dan negara itu dianggap tidak ekonomis lagi jika dioperasikan. Dirjen Pongky tidak memberikan perincian berapa bobot mati dan harga jual seluruh kapal yang terkena pembesituaan itu. Yang jelas, tahun lalu 14 kapal Pelni berbobot mati seluruhnya 15.000 ton lebih dijual ke Krakatau Steel dengan seharga Rp 175 juta. Tapi belakangan pabrik baja itu membeli besi tua dari pelbagai perusahaan negara dengan harga sekitar Rp 100 per kg. Penyayatan terhadap kapal tua itu biasanya dilakukan di Cigading, pelabuhan Krakatau Steel. Namun, jika pabrik baja swasta membutuhkan, badan usaha milik negara (BUMN) ini bisa menyalurkannya pada mereka. Di samping itu, Krakatau Steel banyak pula memperoleh besi tua dari berbagai jenis, seperti pipa dan gerbong kereta rongsokan. Jika dari milik pemerintah, harga jualnya ditetapkan Rp 115 per kg, terutama untuk jenis HMS I (heavy melting serap). Kata Ariwibowo, direktur utama PT Krakatau Steel, "harga ini kira-kira sama dengan harga besi tua impor." Tapi pihak penjual harus menanggung ongkos pemotongan dan biaya angkutan ke Cilegon. Jika biaya angkutannya dianggap mahal, karena sumber besl tua itu jauh, pabrik baja ini bisa membantu menyalurkan ke perusahaan baja lokal. "Sejauh ini tak banyak yang disalurkan ke swasta," ujar Ariwibowo, beberapa waktu lalu. Besi tua diperlukan sebagai bahan pencampur dalam pembuatan pelbagai produk baja. Krakatau Steel menggunakan besi tua itu sebanyak 20%, yang dicampur dengan besi spons 80%, untuk menghasilkan kawat, besi beton, baja profil, pelat baja, dan batang kawat. Suplai besi tua dari dalam negeri ditaksir sekitar 360.000 ton tahun lalu, dan sebagian besar berasal dari para kontraktor minyak asing dan swasta nasional. Sedang sumber dari BUMN diduga jumlahnya kecil. Tapi, karena kebutuhan pabrik baja akan bahan pencampur ini demikian besar, tahun lalu pemerintah masih perlu mengimpor 200.000 ton. Bagi Krakatau, yang tahun lalu membutuhkan 80.000 ton besi tua, soal penyediaan bahan pencampur ini sering menimbulkan problem: Suplai besi tua dari swasta, umumnya, bermutu rendah dibandingkan sumber pemerintah. Penyebabnya, menurut Ariwibowo, potongan besi tua dari pemerintah selalu besar-besar hingga tidak mengandung banyak karat. Karena antara penjual swasta dan Krakatau sering terjadi perbedaan mengenai mutu besi tua, pabrik baja itu mengaku, "hanya sedikit membeli besi tua dari pasar bebas." Krakatau, yang ditunjuk pula sebagai Pusat Pengendalian Besi Baja, tampaknya cukup repot mengatur kebutuhan dan suplai besi tua untuk pabrik baja lainnya. Sekalipun pada hakikatnya Krakatau tidak boleh menjual besi tua milik BUMN ke luar pabrik baja itu kini sedang merencanakan iagi alokasi besi tua milik BUMN tertentu untuk pihak swasta. Tahun lalu, misalnya, pabrik itu sudah menyalurkan besi tua milik negara ke PT Ispatindo, Surabaya. "Tapi tidak banyak," ujar Ariwibowo. Selain itu, untuk kepentingan pabrik swasta, Krakatau juga mensuplai besi spons (dibuat dari biji besi pellet), yang dijualnya sekitar US$ 115 per ton. Sekalipun pemakaian besi spons ini akan menyebabkan konsumsi listrik dalam peleburan membesar, pemakaian bahan ini akan membantu melarutkan unsur nonbesi, seperti nikel dan aluminium, yang ada dalam besi tua. Kebutuhan besi spons dan besi tua, tahun ini, diperkirakan akan meningkat sesudah industri konstruksi, yang membutuhkan pelbagai produk baja, mulai bangun dari pukulan resesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini