PARA akuntan akhir-akhir ini bagaikan anak-anak SD yang menghadapi teka-teki kotak perangkap kelinci: adakah jalan untuk lolos dari jaringan pajak? Supoyo, bekas dekan Fakultas Ekonomi Unair termasuk pakar ekonomi yang masih terus mempelajari sistem perpajakan yang berlaku. Dirut BPD Jawa Timur itu adalah pendiri Supoyo Consultant di Surabaya yang menjadi penasihat keuangan berbagai perusahaan besar di Ja-Tim. "Sulit untuk menghindari pajak sekarang," kata akuntan berusia 64 tahun itu. Masalahnya sekarang aparat pajak dapat mengecek surat pemberitahuan pembayaran pajak (SPT) dari berbagai instansi: PLN, Telekom, duane, kantor agraria, notaris, bahkan lewat pemasok bahan baku, sampai pedagang grosir. Pokoknya, ketat. "Yang juga harus disadari, pemerintah kini mengandalkan teknik canggih yang dikenal dengan tax audit. Teknik ini biasanya dipakai untuk memeriksa perusahaan besar," tutur Supoyo. Dengan tax audit, pemerintah bisa mengecek apakah hasil ekspor perusahaan itu sesuai dengan besarnya rekening telepon, besarnya rekening listrik, jumlah karyawan, LC, dolarnya. Dengan sistem yang sama, pemerintah juga bisa mengecek penghasilan individu. Tapi di negara mana pun, tetap ada kemungkinan wajib pajak menghindari pajak -- biasanya dilakukan oleh perusahaan besar atau orang kaya. Dan kemungkinan seperti itu bukannya tak bakal terjadi di sini. Peluangnya, sebagaimana dilihat Supoyo dan beberapa akuntan lain muncul dari pelbagai kekurangan pada aparat pajak: kuantitas maupun kualitas mereka. Untuk mengecek PBB dari tanah-tanah hutan yang lokasinya di luar Jawa, misalnya. "Petugas PBB tak bisa mengukur hutan seperti tanah di kota. Sehingga, para pemilik hutan bisa saja mengisi SPT yang tak benar," kata Supoyo. Aries Gunawan dari perusahaan konsultan SGV Utomo juga melihat PBB sebagai ladang pajak yang paling mudah dimanipulasi. "Pengontrolannya masih kurang, pelaksanaannya pun diserahkan kepada instansi pemda yang belum begitu mengerti mengenai perpajakan," kata Aries. Aries dan Supoyo juga sangsi, aparat-aparat pajak akan berani dan jujur menghadapi orang-orang kaya. Misalnya, seorang pejabat tinggi mempunyai rumah mewah: beranikah sang aparat mengecek berapa PBB yang harus dibayar pejabat itu, berapa pula PPB-nya? Dari ladang PBB, pemerintah tampaknya cenderung melakukan ekstensifikasi. Yang penting, jumlah terus meningkat, sementara wajib pajak bisa mengajukan keberatan atas tagihan PBB yang dirasakannya terlalu berat. Sedangkan dalam PPh, pemerintah masih memberikan peluang untuk menunda atau menciutkan kewajiban. Misalnya, perusahaan boleh melakukan penyusutan aktiva sekaligus, atau mendirikan perusahaan berbentuk firma atau CV. Juga boleh dilakukan -- tapi kurang populer -- menolak kenaikan gaji dan kesejahteraan karyawan yang kena pajak (seperti uang kesehatan dan uang transpor). Bisa juga perusahaan, misalnya, memberikan fasilitas telepon kepada stafnya, karena fasilitas telepon dihitung biaya. Beberapa eksekutif juga kabarnya kini sering ke luar negeri karena "kesejahteraan" itu bisa dihitung sebagai biaya, sedangkan fiskal bisa diperhitungkan pula sebagai pajak yang dibayar di muka. Sementara itu "Untuk mengurangi PPh perorangan itu sulit. Karena perorangan tak bisa memiliki 2 NPWP," kata Hadi Setiamihardja. Cara populer untuk menghindari PPh individu yakni dengan tidak mengurus NPWP. Tapi aparat pajak kini tak bisa dipandang enteng. Menurut Tadjuddin, Direktur Pengawasan Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak pemeriksaan sudah mulai dilaksanakan sejak 1988. Dari 400.000-500.000 SPT yang masuk setiap tahun telah diperiksa 10.000-16.000. Sebagian besar yang ketahuan melanggar langsung dikirimi SKPT (Surat Ketetapan Pajak Tambahan) dengan sanksi 50% dan bunga 2% atas kelambatan pembayaran per bulan. Jika bandel mungkin saja diseret ke pengadilan. Ini terjadi pada PT Calisco dan PT Dobisco (1986) dan PT Kebayoran Inn (1987). MW, Biro Jakarta, Bandung, dan Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini