Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggenjot Kendaraan Ramah Lingkungan

Penjualan mobil listrik di Indonesia masih sangat minim. Pemerintah berupaya menciptakan ekosistem industri yang kondusif dari hulu sampai hilir.

5 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung melihat kendaraan bermotor listrik yang dipamerkan di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Agustus 2019./TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Harga yang mahal menjadi salah satu penyebab rendahnya angka penjualan mobil listrik.

  • Baterai menjadi salah satu faktor harga mobil ramah lingkungan lebih mahal dari mobil konvensional.

  • Pemerintah berupaya menciptakan ekosistem industri yang kondusif dari hulu sampai hilir.

DI depan peserta The 15th MnM’s Week Webinar and Talk Show yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Indonesia secara daring (online), Kamis, 3 Desember lalu, Henry Tanoto memaparkan hasil penjualan mobil ramah lingkungan di perusahaan tempatnya bekerja. Wakil Presiden Direktur PT Toyota-Astra Motor itu mengatakan angka penjualannya meningkat signifikan dalam sebelas tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat pertama kali memasarkan mobil ramah lingkungan di Indonesia pada 2009, Toyota menjual rata-rata hanya dua unit mobil per bulan. Saat ini perusahaan multinasional itu bisa menjual sampai 79 unit per bulan. Henry menyebutkan, secara total, perusahaannya sudah menjual 3.300 unit hingga Oktober lalu. Meski meningkat, jumlah penjualan mobil ramah lingkungan masih kalah jauh dibanding angka penjualan mobil berbahan bakar fosil. “Ini masih di bawah 1 persen dari seluruh penjualan kami,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Toyota adalah pionir pemasaran mobil ramah lingkungan di Indonesia. Mereka awalnya menjual mobil hybrid Toyota Prius yang memiliki dua mesin: motor bakar dan motor listrik. Kedua sistem penggerak tersebut bekerja secara bergantian sehingga memungkinkan penghematan bahan bakar. Perusahaan itu kini memasarkan dua tipe mobil ramah lingkungan lain. Salah satunya mobil plug-in hybrid yang juga memiliki dua mesin tapi lebih canggih karena baterainya bisa diisi ulang dengan sumber listrik dari luar, seperti dari rumah. Terakhir, mereka meluncurkan mobil yang menggunakan tenaga baterai penuh, Lexus UX 300e, pada November lalu.

Sebelum Toyota, beberapa merek lain, seperti Tesla, BMW, Nissan, dan Hyundai, meluncurkan mobil listrik dengan tenaga baterai penuh di Indonesia. Rata-rata harga mobil ramah lingkungan masih di atas angka Rp 400 juta. Padahal, Henry mengungkapkan, selain mempertimbangkan kesesuaian mobil dengan kebutuhan, konsumen sangat memperhatikan masalah harga. Sebanyak 75-85 persen konsumen membeli mobil dengan harga di bawah Rp 300 juta. Sisanya membeli mobil dengan harga lebih tinggi. “Ini mungkin terkait dengan daya beli masyarakat,” ujar Henry.

Salah satu komponen yang membuat harga mobil ramah lingkungan lebih mahal daripada mobil sejenis yang berbahan bakar fosil adalah baterai. Komponen ini menyumbang 35 persen dari seluruh biaya produksi mobil. Pajak untuk mobil jenis ini juga terbilang tinggi. Menurut Presiden Direktur Prestige Corp, yang mengimpor Tesla, Rudy Salim, pihaknya mesti menaikkan harga penjualan karena menanggung biaya pemberitahuan impor barang sebanyak 50 persen, pajak pertambahan nilai 10 persen, dan pajak penghasilan 10 persen. Karena itu, harga jualnya di Indonesia bisa sampai dua kali lipat harga di luar negeri. “Ini yang membuat pasar mobil listrik terbatas,” tutur Rudy melalui pesan WhatsApp, Kamis, 3 Desember lalu.

Ini baru soal harga. Rudy menambahkan, konsumen juga mempertimbangkan masalah prasarana. Hingga kini belum ada infrastruktur pengisian daya listrik sehingga pengecasan hanya bisa dilakukan di rumah. “Padahal di luar negeri adalah suatu hal yang biasa mengisi baterai di tempat umum,” ucapnya.

Pemerintah berusaha mengatasi berbagai masalah ini dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Berbasis Baterai pada Agustus lalu. Fokusnya antara lain menggarap potensi industri baterai di Tanah Air.

Senior Supervisor Mining and Minerals Industry Institute Mining Industry Indonesia (Mind ID), Ratih Amri, mengatakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara membentuk tim yang beranggotakan lintas BUMN dengan induk Mind ID. Holding tersebut membawahkan sejumlah perusahaan tambang, yakni PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Indonesia Asahan Aluminium, dan PT Timah Tbk. “Kalau sudah menguasai hulunya, kita bisa mengontrol persaingan dari sisi biaya,” ujarnya.

Menurut Ratih, Indonesia memiliki cadangan 21 juta metrik ton nikel, melebihi cadangan yang dimiliki negara lain di dunia, yang sudah siap dioptimalkan untuk membuat baterai listrik. Nikel adalah bahan utama pembuatan baterai. Ratih mengatakan hal ini harus segera dimanfaatkan karena bisa jadi dalam beberapa belas tahun ke depan teknologi sumber penggerak motor sudah beralih ke bahan lain. “Ambisinya, pada 2025 kita bisa menjadi produsen baterai global,” tuturnya.

Pemerintah, kata dia, juga berusaha menciptakan ekosistem industri yang kondusif dari hulu sampai hilir. Mereka ingin menggandeng perusahaan seperti Tesla agar membangun industrinya di Indonesia.

Produsen baterai kendaraan listrik asal Cina, Contemporary Amperex Technology Co Ltd, juga akan menanamkan investasi senilai US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 71,9 triliun di Indonesia. Kerja sama sudah ditandatangani bulan lalu. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menambahkan, perusahaan asal Korea Selatan, LG Chem, sedang dalam negosiasi dengan PT Antam Tbk untuk membuat baterai di Indonesia.

Direktur Jenderal Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan, selain akan memproduksi baterai, pemerintah memberikan fasilitas kepada para pengguna mobil ramah lingkungan. Setelah terbit peraturan presiden untuk percepatan kendaraan berbasis baterai tersebut, pemerintah membuat aturan pendukungnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Nantinya pajak penjualan barang mewah tidak lagi ditentukan berdasarkan bentuk kendaraan seperti sebelumnya, melainkan melihat emisi gas buang yang dikeluarkan. Makin besar emisi, makin tinggi pajaknya. Aturan ini akan berlaku pada 2021 (lihat boks).

Taufiek menambahkan, pemerintah juga telah membuat peta jalan Making Indonesia 4.0 dalam bidang otomotif. Rencananya, dalam lima-sepuluh tahun ke depan, pemerintah menginginkan adanya inisiasi produksi lokal sepeda motor listrik. Ketika itu, sudah ada penetapan rencana yang jelas mengenai penghapusan sepeda motor berbasis bahan bakar sambil membangun infrastruktur yang diperlukan dan mendorong adopsi sepeda motor listrik.

Pemerintah, dia melanjutkan, juga membangun pusat riset dan pengembangan komponen elektronik, seperti baterai, dan membuat prototipe untuk mempercepat pengembangan produk. Pada 2030 sampai lima tahun setelahnya, pemerintah berfokus menginisiasi produk lokal mobil listrik dengan proses yang sama. “Kami ingin membangun kemampuan produksi dalam negeri untuk sepeda motor listrik dan mobil listrik di sepanjang rantai nilai,” ucap Taufiek.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus