Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tawaran pinjaman daring dari pelaku usaha teknologi finansial atau tekfin (fintech) ilegal kian subur pada masa pandemi Covid-19. Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan, Tongam L. Tobing, menuturkan, pelaku pinjaman daring ilegal mencoba meraup untung dari masyarakat yang tengah mengalami kesulitan keuangan. “Pelaku fintech ilegal semakin mudah membuat aplikasi, situs web, dan mengirimkan pesan-pesan penawaran melalui media sosial dan SMS,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tongam mengimbuhkan, Satuan Tugas terus menindak pelaku pinjaman daring ilegal dan entitas yang memberikan penawaran investasi tanpa izin. Ia menyebutkan, sepanjang Oktober lalu, Satuan Tugas sudah memblokir 206 tekfin pinjaman ilegal dan 154 entitas yang melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari OJK. Secara total, sejak 2018, Satuan Tugas telah memblokir 2.923 tekfin pinjaman ilegal.
Menurut dia, modus yang dipakai platform pinjaman ilegal kian bervariasi. Syarat untuk mendapatkan pinjaman pun sangat mudah, yaitu kartu tanda penduduk dan foto diri. Namun, di sisi lain, konsumen dibebani bunga dan biaya yang sangat tinggi serta denda yang tidak terbatas. “Misalkan meminjam Rp 1 juta, hanya ditransfer Rp 600 ribu. Lalu jangka waktu disebutkan tiga bulan, tapi realisasinya hanya dua pekan,” kata Tongam.
Persoalan semakin runyam jika peminjam gagal membayar sebelum tenggat. Cara penagihannya pun semakin kasar. Jika terlambat membayar satu hari atau bahkan satu jam saja, platform pinjaman ilegal akan menyebarkan data pribadi dan mengintimidasi nasabah. Hal itu bisa terjadi lantaran pelaku mendapatkan akses ke nomor kontak di telepon seluler nasabah. “Satuan Tugas mengimbau masyarakat agar meminjam hanya kepada fintech yang telah terdaftar di OJK,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menuturkan, sejak Maret 2019, lembaganya membuka layanan informasi publik dan pengaduan perihal industri fintech lending bernama Jendela. Dalam 10 bulan terakhir, tutur dia, total pengaduan yang masuk ihwal fintech pinjaman mencapai 3.726 laporan. Aduan terbanyak (46 persen) mengenai penagihan tidak beretika, disusul dengan pengaduan soal restrukturisasi (22,52 persen). “Pengaduan yang dihimpun terkait dengan bunga, pelanggaran data pribadi, penagihan tidak beretika, atau restrukturisasi,” ucapnya.
Ketua Umum AFPI Adrian Gunai menambahkan, salah satu tantangan dalam menyikapi kehadiran tekfin ilegal adalah semakin maraknya pesan promosi, penawaran, dan iklan pinjaman. Penawaran yang disampaikan juga disertai iming-iming yang menggiurkan. Berbeda dengan tekfin legal yang memiliki prosedur operasional standar serta kode etik, entitas ilegal cenderung abai dan bertindak seenaknya. “Mereka menyebarkan data pribadi pengguna, melakukan intimidasi. Kami berharap masyarakat waspada dan jangan mudah tergiur,” kata dia.
GHOIDA RAHMAH
Menghalau Rayuan Usaha Tekfin Pinjaman Ilega
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo