Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengincar Pajak Menggiurkan

Dua versi cerita pajak Bank Danamon. Membutuhkan tambahan modal.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM rehat dari tudingan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK), Bank Danamon punya urusan lain yang tak kalah seru. Bank yang kini milik asing itu bikin setori dengan kantor pajak. Mereka menyoal pajak aset bermasalah yang dialihkan (ATK) ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1998.

Danamon menganggap pengalihan harta itu transaksi jual-beli sehingga ujung-ujungnya mereka punya hak menarik lagi pajak yang sudah mereka bayar. Jumlahnya, menurut konsultan pajak Danamon, Prijohandojo Kristanto, sekitar Rp 5,3 triliun.

Sebaliknya, kantor pajak bersikukuh pemindahan aset bermasalah itu bukan jual-beli, melainkan penghapusbukuan piutang macet yang merupakan obyek pajak. "Aset bermasalah itu kan diganti dengan obligasi pemerintah, jadi kita hitung sebagai penghasilan," kata Direktur Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Direktorat Pajak, Gunadi.

Sumber Tempo menginformasikan versi lain. Bank Danamon, katanya, ingin menarik pajak aset bermasalah itu, yang sebenarnya belum pernah mereka bayar ke kantor pajak. "Jumlahnya sekitar Rp 700 miliar," katanya.

Dia menyebutkan, pada 1998 pengalihan aset bermasalah semua bank yang ikut program rekapitalisasi dilakukan dengan hibah. Nilainya nihil, sehingga tidak bisa disebut jual-beli. Konsep rekapitalisasi menyebutkan harga atau nilai aset yang dialihkan sudah diperhitungkan dalam kebutuhan modal bank. "Jadi hibah, bukan jual-beli," katanya.

Penyerahan aset ketika itu dilakukan dengan asumsi pajak dihapus buku karena termasuk bagian yang direkap pemerintah. Hitungan pajak jika dihapus buku, katanya, 30 persen dari total nilai aset yang ditransfer. Secara fisik, pembayaran atas 30 persen itu sebenarnya tidak terjadi.

Bentuk pengalihan aset itu awalnya tak jelas. Ketika BPPN membenahi hartanya pada 2000-2001, sebuah kantor hukum menyimpulkan bentuk tak jelas itu berbahaya bagi BPPN. Bisa dibilang, lembaga itu belum sah memilikinya sehingga menghalangi penagihan pada nasabah.

Pembenahan kemudian dilakukan. Ketika itu disepakati, pengalihannya berdasarkan jual-beli. Keputusan itu diambil karena hibah tidak bisa dilakukan tanpa akta notaris dan kejadiannya tidak berlaku mundur. Padahal, aset itu sudah tercatat di buku BPPN dua tahun sebelumnya.

Lembaga penyehatan itu bahkan sudah menagih dan merestrukturisasi sebagian aset. "Disimpulkan, konsep hibah tak bisa dipakai," katanya. Diputuskanlah menggunakan konsep jual-beli. Karena jual-beli mensyaratkan harga, dibuatlah transaksi penjualan dengan harga Rp 10 juta.

Duit yang dibayarkan BPPN kemudian dikembalikan bank ke lembaga penyehatan itu. Ini perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan suatu saat BPPN dituduh merugikan negara Rp 10 juta. Sumber itu menambahkan, perjanjian rekapitalisasi dan dokumen jual-beli sangat jelas menyatakan pemindahan itu hibah.

Mekanisme jual-beli digunakan hanya untuk menyiasati pengalihan yang sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Buktinya, aset bank yang saat itu belum dialihkan, seperti Bank Ratu, Bank Prasidha, dan Unibank, pemindahannya dilakukan dengan akta hibah. "Itu sesuai dengan ketentuan," katanya.

Belakangan, sejumlah bank rekap memanfaatkan celah itu untuk "membobol" duit negara. Sumber Tempo mengatakan, dua pekan lalu Komisaris Utama Bank Danamon J.B. Kristiadi dan salah satu Direktur Danamon, Anika Faisal, mendatangi Perusahaan Pengelola Aset. Mereka menekan perusahaan pengganti BPPN itu mengeluarkan surat sakti yang menyatakan pemindahan aset itu adalah jual-beli, bukan hibah.

Pernyataan itu penting. Dengan menyatakan transaksinya jual-beli, bukan hibah, Danamon dan juga bank rekap lainnya bisa meminta "pengembalian" pajak aset tak lancar yang ditransfer pada 1998 itu. Untuk transaksi jual-beli, nilai pajaknya 30 persen dari total aset yang dialihkan.

Nilai aset Danamon yang dipindahkan ke BPPN waktu itu sekitar Rp 2 triliun. Kalau hitungan pajak 30 persen, ada dana sekitar Rp 700 miliar yang bisa ditarik dari kantor pajak. "Mereka memanfaatkan celah peraturan untuk mengambil duit yang sebenarnya tidak pernah mereka setorkan," katanya.

Jika upaya itu berhasil, ia bisa menjadi preseden buruk. Bank rekap lainnya juga tentunya menganggap itu hak mereka dan meminta diperlakukan sama. Dalam rapat itu, kata sumber Tempo, sejumlah petinggi Bank Internasional Indonesia juga hadir. "Bayangkan, berapa lagi duit negara yang akan keluar sia-sia," katanya. Apalagi sebagian besar bank rekap sudah dimiliki asing.

Anika Faisal mengakui hadir dalam rapat itu. "Tapi tidak exactly seperti itu," katanya melalui pembicaraan telepon. Dia menolak berkomentar panjang karena sedang cuti. J.B. Kristiadi, wakil pemerintah di bank itu, tak bisa dihubungi.

Corporate Secretary Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Renny Rorong, mengatakan Danamon salah datang kepada mereka. PPA sudah mengirim surat ke bank itu, menyatakan tidak punya kuasa dalam hal itu. "Saya dengar tim pemberesan sudah mengirim surat ke Danamon," katanya.

Sumber Tempo membenarkan bahwa Tim Pemberesan BPPN sudah mengirim surat menyatakan transaksi itu memang jual-beli. Surat itulah yang akan digunakan Bank Danamon ke kantor pajak, meminta pengembalian pajak.

Koordinator Pelaksana Tim Pemberesan BPPN, Harry Sukadis, tak bersedia memberi komentar. "Saya lagi kursus di luar negeri," katanya, dan segera menutup telepon selulernya.

Kalau dengan surat sakti itu tim pemberesan bersedia mengucurkan duit ke bank itu, dan juga bank lainnya yang pasti akan mengikutinya, berapa lagi duit rakyat melayang sia-sia? Direktur Centre for Banking Crisis, Deni Daruri, menghitung pemerintah mengeluarkan Rp 443 triliun untuk semua bank yang direkap pada 1998-2002. Danamon mendapat Rp 43,5 triliun.

Belum lagi perlakuan khusus berupa pembebasan pajak obligasi sebesar 10 persen. Dari Danamon, negara kehilangan Rp 4,3 triliun akibat kebijakan itu. Ini belum termasuk bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah tiap tahunnya untuk bank yang kini dimiliki perusahaan negara Singapura itu.

Dari puluhan triliun duit rakyat yang dikucurkan untuk bank ini, berapa yang bisa dikembalikan? Hasilnya menyedihkan. Kalau menggunakan angka pengembalian BPPN yang 28 persen, dari Rp 2 triliun aset bermasalah yang ditransfer itu, negara hanya mendapat kurang-lebih Rp 600 miliar.

Dengan pengembalian seupil itu, Danamon hendak mengambil lagi duit negara. Kali ini dari kantong pajak. Kalau mengikuti cerita Danamon, duit yang menurut mereka adalah hak yang sedang diperjuangkan jumlahnya cukup besar, Rp 5,3 triliun. Versi sumber Tempo, nilainya Rp 700 miliar, yang sebetulnya tak pernah mereka setorkan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu, Deddy Rudaedi, mengatakan persoalannya belum selesai karena Danamon banding atas keputusan kantor pajak. "Tapi, yang saya tahu, nilainya tak lebih dari Rp 700 miliar," katanya.

Sumber Tempo menyebutkan, Danamon gigih memperjuangkan duit itu karena akan dijadikan tambahan modal bank. "Itu salah satu cara mereka keluar dari pelanggaran BMPK," katanya. Untuk mengatasi pelanggaran itu, Bank Indonesia mengatakan bank ini membutuhkan tambahan modal Rp 2,8 triliun.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus