Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEROMBAKAN susunan direksi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom), Jumat pekan lalu, sepertinya satu rangkaian cerita tak terpisahkan dari upaya pemerintah membersihkan perusahaan negara ini. Betapa tidak: hasil rapat umum pemegang saham Telkom akhir pekan kemarin terasa cukup mengejutkan.
Bekas Wakil Direktur Utama Bank BNI 46, Arwin Rasyid, yang baru belakangan disebut sebagai kandidat direktur utama, akhirnya menduduki posisi itu. Sebagian pos jabatan direksi juga diisi muka baru, kecuali Direktur Keuangan Rinaldi Firmansyah, dan Direktur Jaringan Bisnis Abdul Haris.
Pergantian jajaran direksi kali ini memang terasa berbeda. Seiring perhelatan rapat para pemegang saham yang memilih direksi baru itu digelar, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) sedang membongkar kasus dugaan korupsi di Telkom.
Menteri Negara BUMN, Sugiharto, meminta publik tetap memegang asas praduga tak bersalah. "Semua calon direksi Telkom punya kesempatan," ujarnya sebelum rapat umum pemegang saham (RUPS). Tak terkecuali Kristiono, yang sebelumnya baru menjabat Direktur Utama Telkom selama satu periode.
Sebelumnya, santer kabar kursi direktur utama akan jatuh ke tangan orang-orang yang berpengalaman di industri telekomunikasi. Tak mengherankan bila Kristiono dan bekas Direktur Bisnis dan Jasa Telekomunikasi Telkom, Garuda Sugardo, disebut-sebut bersaing ketat memperebutkan itu kursi. Namun, semua kabar itu kendur dengan terpilihnya Arwin Rasyid.
Apakah Arwin sang bankir dipasang untuk membersihkan Telkom? Ketika disinggung soal kasus dugaan korupsi itu, Arwin tak mau banyak berkomentar. Dia hanya menjanjikan akan bersikap kooperatif bila Kejaksaan Agung memerlukan data.
Memang belum terang betul duduk soal dugaan korupsi di Telkom. Meski Timtas Tipikor telah meningkatkan status dugaan korupsi dari penyelidikan ke penyidikan pada Rabu pekan lalu, Ketua Timtas Tipikor, Hendarman Supandji, lebih banyak diam. Dia hanya mengatakan penyidik telah menemukan dugaan terjadinya peristiwa pidana.
Ia juga mengaku belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. "Saya tidak bisa cerita sekarang, meski kami telah memeriksa lima orang saksi," kata Hendarman, yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Pemeriksaan pun akan dilanjutkan pekan ini.
Sumber Tempo di Kantor Kementerian BUMN menyebutkan, ada beberapa kasus dugaan korupsi di Telkom yang kini diperiksa tim itu. Meski tak bersedia merinci, sumber itu menyebutkan kasus terbesar adalah dugaan korupsi dalam penjualan perusahaan mitra kerja sama operasi (KSO) Telkom, PT Mitra Global Telecommunication Indonesia (MGTI), kepada PT Alberta Telecommunication.
Penjualan pada Januari 2004 lalu itu sebetulnya sudah menuai protes keras dari Serikat Karyawan Telkom Divre IV Wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Bahkan serikat karyawan di wilayah itu sempat mengancam mogok.
Ceritanya bermula dari RUPS Telkom pada pertengahan 2003, yang merekomendasikan agar Telkom membeli (buy out) MGTI. Telkom sempat menawar US$ 220 juta. Di tengah negosiasi, tiba-tiba Telkom membatalkan pembelian itu. Namun, selang beberapa hari, Alberta membeli MGTI senilai US$ 266 juta dengan uang pinjaman dari sebuah lembaga keuangan.
Meski sudah dibeli Alberta, pengoperasian MGTI beralih ke Telkom sesuai dengan kesepakatan amendemen KSO atas MGTI, hingga 2010. "Di sinilah letak persoalannya," kata Sekjen Serikat Karyawan Telkom, Wisnu Adhi Wuryanto. Telkom harus membagi pendapatan operasi kepada Alberta hingga 2010.
Bagi direksi, kata Wisnu, pilihan kendali operasi lebih strategis ketimbang menguasai aset MGTI. Lagi pula, setelah 2010, aset MGTI akan kembali ke Telkom. Langkah ini juga dinilai tak membuat Telkom harus mencari pinjaman baru. Namun, waktu itu Ketua Serikat Karyawan Telkom Divre IV, Syahrul Akhyar, mengungkapkan Telkom dirugikan sekitar US$ 15 juta per tahun akibat amendemen itu.
Karena itu, serikat karyawan menilai Telkom lebih baik membeli MGTI. Apalagi Alberta membeli MGTI dengan uang pinjamanlangkah yang seharusnya juga bisa dilakukan Telkom. Tak aneh bila ketika itu serikat karyawan menyebut penjualan ini akal-akalan untuk mengeruk keuntungan bagi pihak lain.
Sumber Tempo juga mengungkapkan keanehan lain: dalam transaksi itu Telkom telah memberikan jaminan perusahaan (corporate guarantee) senilai US$ 500 juta ketika Alberta meminjam uang untuk membeli MGTI. Artinya, bila Alberta gagal membayar, Telkom yang akan dikejar lembaga keuangan itu.
Ia memperkirakan kerugian negara akibat transaksi itu mencapai Rp 70 miliar. Namun, Sekretaris Perusahaan Telkom, Adek Yulianwar, membantah adanya penjaminan itu. Wisnu juga tak percaya Telkom mau memberi jaminan itu.
Sumber Tempo di Kejaksaan Agung, ketika dikonfirmasi, juga membenarkan kasus ini sedang diperiksa Timtas Tipikor. "Tapi saya tidak bisa bicara banyak," katanya. Dia juga tak menampik, kasus MGTI hanya satu dari sejumlah kasus yang diusut.
Sumber Tempo di Kementerian BUMN juga mengatakan sudah sejak beberapa bulan kantor kementerian ini menelusuri kasus dugaan korupsi di sejumlah BUMN, termasuk di Telkom. Satu di antara hasil penelusuran itu adalah dugaan korupsi dalam pengadaan infrastruktur untuk pengembangan Telkom Fleksi yang berbasis teknologi CDMA (code division multiple access) senilai Rp 400 miliar.
Dalam kasus ini, kata sumber itu, pihaknya menemukan harga untuk pengadaan teknologi CDMA di dua wilayah yang lebih mahal hingga dua kali lipat dari wilayah lain. Padahal, harga CDMA di mana-mana sama. "Saya tidak ingat betul cerita kasus ini, tapi yang jelas dugaan korupsi di dalamnya sangat kuat," katanya.
Adek Yulianwar juga tak bisa memberikan konfirmasi atas dugaan korupsi ini. Sebab, pihaknya memang belum mendapat pemberitahuan dari Timtas Tipikor. Selama ini Telkom hanya mengikuti perkembangan dugaan korupsi itu lewat media. "Jadi, kami tidak tahu kasus apa saja yang kini diperiksa Timtas Tipikor," katanya.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo