Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berhemat dari Mana

Pemerintah kalang-kabut mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak. Akan melarang pemakaian jas.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah terik mentari, Ahmad Sofyan tak henti-hentinya merepet dan mengusap wajahnya yang berpeluh. Pria 32 tahun penunggang sepeda motor kreditan itu terpaksa ikut antrean panjang di stasiun pompa bensin Jalan Kenjeran, Surabaya, Senin pekan lalu.

Semakin lama, antrean yang "bak ular naga panjangnya bukan buatan" itu tak kunjung memandak. Petugas kalang-kabut melayani pembeli—sebagian besar memburu premium atawa bensin. Namun stasiun tak bisa memberikan sebanyak diminta. "Kalau begini terus, bagaimana bisa bekerja dengan tenang?" Ahmad menggerutu lagi.

Ahmad, seperti kebanyakan pengendara kendaraan bermotor lainnya, panik mendengar kabar menipisnya persediaan premium di pelbagai daerah. Akibatnya, sejak dua pekan lalu dia rajin mengisi penuh tangki bahan bakarnya. Pemandangan macam ini terjadi di Sumatera Barat, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

Di Mataram, NTB, pompa bensin terpaksa dijaga polisi dan tentara, demi mengantisipasi onar. Di sana pembeli bersitegang dengan petugas pom bensin karena pembelian dibatasi. Premium untuk kendaraan roda empat maksimal hanya 30 liter, sepeda motor hanya memperoleh 5 liter, dan pembelian dengan jeriken paling banyak 10 liter.

Sesungguhnya, pasokan ke stasiun pompa bensin jauh lebih sedikit. Warman, petugas pom bensin di Jalan Lingkar Selatan Mataram, mengatakan jatah di stasiunnya hanya lima hingga sepuluh kiloliter. Padahal, stasiunnya biasa memperoleh 25 kiloliter. Tak ajaib jika persediaan langsung ludes dalam tiga jam.

Akibatnya, harga bensin eceran pun menari-nari menjadi sekitar Rp 3.250 hingga Rp 3.500 per liter. Padahal, harga patokannya hanya Rp 2.400 per liter. Bayangan keuntungan yang bakal diraup kemudian mendorong para pengecer bersiasat demi memperoleh jatah lebih banyak.

Mereka mengajak anggota keluarganya bergabung dalam barisan dengan membawa jeriken. "Setiap orang bawa satu jerikan berisi 10 liter. Berarti, kalau 5 orang, sudah 50 liter," kata Suli, seorang pengecer, dengan wajah berseri-seri.

Kritisnya persediaan bensin ini ditegaskan Direktur Utama PT Pertamina, Widya Purnama, awal pekan lalu. Dia mengatakan, stok premium berada pada level 12,7 hari, dan solar tinggal 14,5 hari. Normalnya, persediaan aman jika berada pada level 21-22 hari.

Direktur Pengolahan dan Niaga Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi, Erie Soedarmo, menjelaskan angka stok nasional tak menandakan kemerataan persediaan semua jenis bahan bakar untuk seluruh Indonesia. "Itu angka rata-rata," katanya. Dalam kenyataannya, tiap daerah berbeda.

Pangkal masalah ini ialah—itu lagi itu lagi—harga minyak mentah dunia yang meroket hingga sekitar US$ 60 per barel, pekan lalu. Tingginya kebutuhan dan membesarnya ketergantungan terhadap impor menyebabkan keuangan negara kembang-kempot. Data Pertamina menyebutkan, laju konsumsi bensin telah melampaui kuota yang ditetapkan pemerintah, sekitar 10 persen setiap bulan, selama kurun Januari-Mei lalu.

Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak Pertamina, Achmad Faisal, mengatakan sekitar 30 persen kebutuhan premium diperoleh dari impor karena keterbatasan kemampuan kilang. Di pasar internasional, harganya sudah melampaui US$ 60 per barel, atau kira-kira setara dengan Rp 5.000 per liter.

Padahal, setelah sebagian subsidi bahan bakar dicabut, harga premium dalam negeri "hanya" Rp 2.400 per liter. Selisihnya ditomboki negara. Jika tingkat konsumsi tak berubah dan harga minyak terus naik, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, subsidi bisa membengkak hingga Rp 110 triliun setiap tahun. "Ini di luar kemampuan," katanya.

Situasi ini langsung menyulut kesibukan luar biasa di kalangan pemerintah. Berbagai rapat digelar. Pemerintah pun berencana mematok subsidi paling banyak hingga Rp 70 triliun per tahun. Caranya, menekan penggunaan BBM. Maka berserulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar masyarakat menghemat bahan bakar.

Kalla mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan sejumlah peraturan untuk berhemat. Misalnya, membatasi penggunaan solar dan listrik, membatasi penggunaan kendaraan pribadi, hingga melarang pemakaian jas, untuk mengurangi penggunaan pendingin ruangan yang boros listrik.

Harus diakui, Indonesia lagi-lagi tertinggal dibanding negara lain dalam menghemat bahan bakar. Kalla sendiri merujuk pada upaya penghematan di negara lain seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia.

Ketika produksi minyak mentah Malaysia meningkat, mencapai 750 ribu barel per hari pada tahun lalu, laju konsumsi bahan bakar minyak malah turun menjadi sekitar 544 ribu barel per hari. Penyebabnya, pemerintah mendorong penggunaan gas alam hingga satu triliun kaki kubik. Alhasil, negara ini masih mampu menjadi net exporter—karena jumlah ekspor minyak lebih besar dari impornya—hingga 321 ribu barel per hari.

Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin sudah tak terhitung kajian mengenai penggunaan bahan bakar alternatif pengganti minyak. Masalahnya, entah mengapa, sulit betul mewujudkannya. Penggunaan gas alam melalui pipa, misalnya, belum bisa menjangkau rumah tangga dalam skala luas karena pembangunan infrastruktur yang tak murah. Tahun lalu harga elpiji justru naik karena bahan bakunya mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Akibatnya, masyarakat berduyun-duyun kembali ke minyak tanah.

Bahkan PLN baru bisa mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, yakni solar, mulai 2006 mendatang. Padahal, sejumlah pembangkit listrik yang direncanakan menggunakan bahan bakar gas sudah banyak berdiri. Pembangkit itu terpaksa dioperasikan dengan solar demi memenuhi beban permintaan.

Karena kewalahan, PLN akhirnya mengimbau masyarakat agar menghemat listrik pada saat beban puncak, yakni pukul 18.30 hingga 22.00 WIB selama sepekan, pada awal bulan ini. Jika tidak, perusahaan listrik pelat merah itu terpaksa mengadakan pemadaman bergilir. "Ancaman" pemadaman rupanya cukup ampuh.

Menurut Ali Herman, beban listrik dapat dihemat 300-400 megawatt selama sepekan itu. Setiap penghematan sebesar 100 megawatt mampu mengurangi penggunaan solar hingga 175 ribu kiloliter. Jumlah ini cukup sepadan karena penggunaan bahan bakar minyak juga mencapai titik tertinggi selama beban puncak. Makanya program penghematan listrik ini dilanjutkan.

Bisakah hal serupa diterapkan untuk mengatasi krisis BBM, misalnya dengan mengeluarkan kebijakan pengurangan pasokan BBM dalam waktu dekat? "Kami belum memperoleh instruksi seperti itu," kata Erie Soedarmo. Tampaknya pemerintah belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas.

Pemerintah daerah pun belum memiliki prakarsa. Pemerintah Daerah DKI Jakarta, misalnya, memilih menunggu instruksi dari pusat. "Itu wewenang pemerintah pusat," kata juru bicara Pemda DKI, Catur Laswanto. Lho, bukankah ada rencana pembatasan kendaraan di Jakarta? "Itu untuk mengatasi tingkat kepadatan lalu lintas," katanya. "Tidak ada hubungannya dengan BBM."

Menurut Kepala Divisi BBM Pertamina, sektor transportasi dan industri merupakan pengguna terbanyak bahan bakar premium dan solar. Khusus untuk transportasi, pertumbuhan penjualan mobil yang mencapai 36,3 persen tahun lalu—tertinggi di dunia menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia—serta penjualan sepeda motor yang mencapai empat juta unit, turut memberikan andil. "Tapi kendaraan juga menjadi kebutuhan karena digunakan untuk mencari nafkah, seperti ojek dan angkutan kota," kata Faisal.

Tanggapan masyarakat pun beragam. "Naik motor, anti macet dan irit," tukas Dwi Santi, 24 tahun, pengendara Honda Supra X di Jakarta. Lain lagi Gito Prastowo, 50 tahun, pemilik sebuah Toyota Lexus di kota yang sama. "Pemerintah harus memperbaiki dulu transportasi publik," katanya. Tapi tiket busway Rp 2.500, yang dinilai andal menembus kemacetan Ibu Kota, masih dianggap terlalu mahal oleh karyawan perusahaan swasta ini.

Sedangkan bagi Ahmad Sofyan dari Surabaya, pengurangan jatah BBM sama saja dengan memangkas kebutuhan pokok seperti makan, minum, dan merokok. "Yang harus menghemat BBM adalah para pejabat dan orang kaya," katanya. "Masa, sekeluarga lima orang, lantas pakai lima mobil?"

Dara Meutia Uning, Budi Riza, Sita Planasari, Febrianti (Padang), Sujatmiko (Mataram), Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus