Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mengkritisi Pengupahan Mahasiswa Magang

Meski bekerja penuh waktu, survei mendapati cuma 23 persen peserta magang dapat upah. Perlu peraturan pengupahan pemagangan.

 

21 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi pekerja magang. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pengupahan pemagangan masih jadi wilayah abu-abu.

  • Survei mendapati hampir 80 persen peserta magang tak mendapat upah, meski sebagian besar bekerja penuh waktu.

  • Peneliti kebijakan publik menyatakan perlunya peraturan pengupahan peserta magang.

Praktik magang, apalagi yang tak berbayar, menimbulkan polemik terkait dengan hak dan kewajiban pemagang dalam relasi kerja di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemagangan, yang secara umum diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020, sering dianggap sebagai sarana praktik sebelum memasuki dunia kerja, memperoleh jejaring profesional, dan mengembangkan kapasitas individu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, meski para pemagang dipekerjakan penuh waktu layaknya pekerja, permenaker tersebut tak mengamanatkan kompensasi berupa upah, melainkan hanya berupa uang saku yang meliputi “biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan” yang layak. Yang lebih parah lagi justru pada peserta magang akademik, terutama pelajar dan mahasiswa.

Relasi kerja yang diatur dalam permenaker di atas sebenarnya merujuk pada “percantrikan” (apprenticeship), yakni pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke posisi jabatan tertentu. Sedangkan magang yang melibatkan pelajar dan mahasiswa tidak bertujuan untuk itu, melainkan untuk tujuan pembelajaran (internship)—dan kegiatan ini belum memiliki payung hukum yang formal di Indonesia.

Akibatnya, meski juga kerap dipekerjakan secara penuh waktu, pemagang akademik bahkan tak mendapat hak uang saku sama sekali.

Para pekerja kantoran saat istirahat siang di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta, 22 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Hasil sementara dalam penelitian saya (belum dipublikasikan) memberi gambaran bagaimana alih-alih mengasah kompetensi pemagang, praktik magang akademik justru menempatkan mereka dalam posisi yang rentan di tempat kerja. Banyak dari mereka bekerja penuh waktu tanpa upah dan hak kerja layak.

Studi ini melibatkan 215 responden pekerja magang selama menjadi pelajar atau mahasiswa. Berdasarkan jenjang pendidikan mereka ketika magang, sebanyak 88 persen merupakan mahasiswa, sedangkan 12 persen berjenjang sekolah menengah. Di antara mahasiswa, sebanyak 66 persen dari rumpun ilmu sosial dan humaniora, sedangkan 34 persen dari rumpun ilmu sains dan teknologi.

Instansi magang mereka berada di sektor lembaga publik (44 persen); swasta (41 persen); dan sebanyak 15 persen lainnya tersebar di sektor lain, seperti badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/D), sektor pendidikan, serta nonprofit.

Lemahnya Pemagang Akademik dalam Hierarki Kerja

Akibat absennya regulasi, banyak pemberi kerja di Indonesia menyamakan beban kerja pemagang akademik dengan pekerja formal. Misalnya, mayoritas pemberi kerja sering menerapkan durasi kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Padahal regulasi ketenagakerjaan berlaku hanya jika ada hubungan pekerja dan pemberi kerja secara formal, bukan dalam konteks magang akademik. 

Tak hanya itu, para pemagang dibebankan mekanisme target, kewajiban, kontrol, serta sanksi yang diberlakukan selayaknya pekerja penuh waktu. Namun, berbeda dengan pekerja, pengelompokan pemagang akademik sebagai orang yang masih belajar atau mencari pengalaman juga membuat mereka rentan ditekan dalam “kultur kepatuhan” terhadap atasan dan instansi.

Seluruh dinamika tersebut membuat pekerja magang akademik justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja—tanpa timbal balik yang setara buat mereka.

Hasil survei, misalnya, menunjukkan bahwa 53 persen responden pemagang menyatakan mereka sering kali bekerja di luar jam kerja hingga terpaksa membawa pekerjaan ke rumah karena beban kerja yang tinggi. Target yang harus mereka selesaikan juga setara dengan pekerja. 

Ini bisa berupa penanganan keluhan pelanggan, rapat, membuat laporan, menginput data, atau mengobservasi yang menyebabkan pemagang bekerja lembur. Bahkan beberapa responden menyatakan pernah bekerja lembur sampai dinihari dan sebanyak 3 persen bekerja lebih dari delapan jam per hari untuk menyelesaikan target.

Tak hanya itu, para responden kami juga melaporkan berbagai tekanan kerja akibat beberapa hal lainnya, termasuk

- hambatan teknis yang meliputi miskomunikasi, alat dan instrumen kerja yang tidak berfungsi, dan pendelegasian tugas yang buruk;
- fasilitas pembelajaran yang tidak sesuai dengan ekspektasi, dari minimnya ruang untuk berpendapat hingga mentor yang kurang andal dan responsif; serta
- diskriminasi karena status mereka sebagai pemagang yang posisinya dianggap rendah.

Selain itu, sebanyak 72,6 persen responden menyatakan tidak memiliki kesempatan untuk memilih minat pekerjaan dan kompetensi yang mereka inginkan saat magang. Pemagang justru hanya bisa menerima beban kerja yang diberikan oleh tempat magang, bahkan oleh oknum pekerja yang melimpahkan beban kerja penuh waktu mereka kepada pemagang.

Baca: Kampus Dukung Program Magang Baru Mahasiswa

Mayoritas Tak Diupah dan Tanggung Ongkos Sendiri

Meski sering menanggung beban dan target kerja yang sama dengan pekerja penuh waktu, kekosongan hukum dan kerangka kerja pemagang akademik sebagai “pembelajar” membuat mereka tidak punya jaminan hak-hak kerja yang layak serta adil.

Banyak dari mereka harus mengandalkan “kebaikan hati” pemberi kerja untuk memberikan upah. Misalnya, hanya 23,72 persen responden pemagang akademik yang menyatakan menerima upah. Di antara mereka, mayoritas hanya dibayar Rp 1-2 juta oleh perusahaan.

Sedangkan bagi mereka yang melaksanakan program magang pemerintah, seperti lewat Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mayoritas dibayar sebesar Rp 2-2,9 juta.

Ongkos produksi yang harus ditanggung oleh pemagang akademik pun menjadi salah satu persoalan besar. Sebanyak 65,58 persen responden menyatakan tidak diberi kompensasi ongkos transportasi dan uang makan. Bagi mereka yang menerima, besarannya per bulan mayoritas hanya Rp 200-400 ribu.

Padahal banyak pemagang harus menanggung ongkos transportasi dan uang makan sebesar Rp 400-720 ribu per bulan. Banyak dari mereka membayar bahan bakar kendaraan dan banyak pula yang menggunakan moda transportasi umum untuk pulang dan pergi magang.

Ilustrasi pekerja magang yang mendapat tugas. Shutterstock

Pemangkasan Biaya Produksi

Relasi kerja magang akademik juga menunjukkan adanya fenomena penggeseran risiko kerja dan ongkos produksi dari perusahaan ke pemagang. Pada sektor swasta atau profit, ada banyak kasus juga ketika kompensasi justru diberikan oleh negara, misalnya program MBKM yang disebutkan sebelumnya.

Sebagai gambaran, lewat skema magang akademik seperti pada program MBKM, ada Rp 55,9-78,3 miliar anggaran yang seharusnya menjadi ongkos pengupahan dari 216 perusahaan “mitra” yang justru ditanggung oleh pemerintah.

Padahal skema ini mempermudah perusahaan melihat dan menguji talenta, kecocokan, serta kualifikasi profesional spesifik dari pegawai—dengan biaya rendah atau bahkan tanpa ongkos rekrutmen. Di satu sisi, program ini pada kenyataannya memang memfasilitasi program magang yang lebih layak pada pekerja magang. Di sisi lain, mekanisme ini menunjukkan adanya penyimpangan amanat regulasi kewajiban hak atas upah layak dalam relasi kerja yang idealnya dibebankan kepada pemberi kerja.

Selain itu, karena adanya batasan kuota, tidak semua pendaftar program magang yang diupah pemerintah dapat diterima.

Baca: Industri Manfaatkan Magang untuk Menjaring Tenaga Terampil

Mendorong Program Magang Layak

Dalam praktiknya, alih-alih ditempatkan sebagai pembelajar, mayoritas pemagang akademik justru terjebak dalam sistem sukarelawan (volunteer) yang hanya mengandalkan kebaikan hati pemberi kerja untuk sekadar mendapatkan kompensasi atas ongkos produksi.

Dengan skema ini, posisi tawar pemagang—apalagi pemagang akademik—yang secara politik lebih lemah menyebabkan mereka sering kali harus pasrah dengan mekanisme kerja yang rentan.

Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menutup celah regulasi yang ada terkait dengan pemagangan, baik akademik maupun non-akademik. Harus ada kerangka hak dan kewajiban yang adil beserta mekanisme pendisiplinan untuk pemberi kerja agar tidak ada lagi praktik magang yang tak layak.

Menegaskan kelayakan upah atau uang saku juga dapat mencegah praktik ketidakadilan karena timpangnya ongkos produksi yang dibebankan kepada pemagang. Batasan minimum ini perlu dikaji, misalnya menggunakan survei kelayakan upah dan survei pengeluaran ongkos kerja oleh pemagang di setiap daerah.

Jika merefleksikan magang dalam kultur akademik, penting untuk menjamin regulasi yang menempatkan pemagang sebagai pihak otonom agar dapat memilih kompetensi yang mereka ingin dalami selama magang. Target dan beban kerja ditentukan berdasarkan kesepakatan yang demokratis antara pemagang, pemerintah yang menaungi relasi kerja, dan pemberi kerja dengan memperhatikan hak-hak kerja layak.

---

Artikel ini ditulis oleh Anindya Dessi Wulansari, peneliti di Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan dosen di Universitas Tidar, Magelang. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus