Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pusing kepala di cilegon

Pabrik baja lembaran tipis PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI) mengalami kesulitan keuangan. padahal, CRMI menyerap 70% bahan baku baja tebal produksi PTKS. pemerintah menyuntikkan dana.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMECAHKAN pusing kepala pabrik baja lembaran tipis PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI) memang alot. Perundingan terus-menerus dilakukan, usulan demi usulan terlontar sudah. Anggota parlemen pun merasa perlu bertanya mengenai kebenaran isu penyertaan modal pemerintah (PMP) yang bakal diinjeksikan ke tubuh CRMI yang sakit-sakitan. Kendati Pemerintah telah membantah isu PMP dalam CRMI, toh sampai Senin malam pekan ini, kabarnya, Departemen Keuangan masih membahas soal CRMI. Nasib CRMI memang malang. Hanya dalam dua tahun setelah berproduksi, pabrik yang terletak di kompleks industri baja di Cilegon, itu menghadapi masalah keuangan yang berat. Proyek bernilai US$ 800 juta ini mengalami kerugian total sekitar US$ 120 juta, dan utangnya sudah menggelembung sampai US$ 496 juta. Namun, Pemerintah menganggap CRMI sebagai industri strategis, karena lembaran baja tipis (CRS) sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik kendaraan bermotor dan industri ringan. Lagi pula, CRMI menyerap 70% bahan baku baja tebal alias baja canai panas produksi PT Krakatau Steel (PTKS). Kalau CRMI bernapas senin-kemis, PTKS pun mestinya bisa sesak napas jika produksi baja tebalnya tak terserap. Walhasil, Pemerintah memandang perlu untuk menyelamatkan, dan kalau perlu terus menyusui, proyek CRMI. "Jangan lihat siapasiapa pemilik CRMI. Yang penting, keputusan untuk menyelamatkannya memang memenuhi ukuran-ukuran ekonomi," ujar Menko Ekuin Radius Prawiro. Keputusan Pemerintah menyelamatkan CRMI ini tak sepi dari kritik. Di tengah kondisi keuangan Pemerintah yang berat dan banyak subsidi yang mesti dipangkas di sana sini, kok kini malah swasta disuntik Pemerintah. Padahal, CRMI diprakarsai swasta dengan niat membantu Pemerintah mendirikan pabrik CRS yang padat modal itu. PTKS sebagai wakil Pemerintah memegang 40% saham, PT Kaolin Indah Utama yang mewakili kelompok Liem Sioe Liong dan Ciputra 40%, dan sisa 20%-nya dikempit Sestiacier SA (Belgia). Kontrak pembangunan CRMI senilai US$ 600 juta ditandatangani dengan dua perusahaan Prancis dan dua perusahaan Spanyol, pada Agustus 1982. Namun, saat itu First Pacific Bank (Hong Kong), sebagai penasihat keuangan CRMI, malah menaruh angka USS 808 juta untuk proyek ini.Selisih 208 juta dolar itu, menurut First Pacific, untuk membayar cicilan utang, biaya atas tanah, modal kerja, ongkos kirim, dan biaya-biaya tak terduga. Para investor hanya menyetor US$ 245 juta, sedangkan sisanya ditutup dengan utang. Kabarnya, utang dari luar negeri itu bisa diberikan para peminjamnya tanpa jaminan dari Pemerintah. Konon, kehadiran Liemlah yang membuat utang itu dikabulkan. Tentu ada syaratnya: 40% saham harus dipegang swasta yang dikenal baik oleh pihak pemberi pinjaman. Pinjaman diperoleh dari kredit ekspor Prancis US$ 230 juta dan kredit ekspor Spanyol IJS$ 9S juta. Di samping itu, US$ 218 juta pinjaman komersial telah dihimpun oleh Asia Pacific Capital Corp., perpanjangan tangan Citibank di Hong Kong. Dengan uang di tangan CRMI, pembangunan sudah bisa dilaksanakan mulai Maret 1984. Sebulan kemudian, Pemerintah mengulurkan bantuannya. Sebelum CRMI berproduksi, sesuai dengan perjanjian, hanva PTKS dan PT Giwang Selogam yang holeh mengimpor CRS. Tapi pada akhir 1987 monopoli Giwang Selogam dipatahkan. Dan muncul PT Krakatau Baja Permata (KBP), yang memegang monopoli CRS impor itu. KBP dihentuk oleh para investor CRMI: PT Kaolin Indah Utama (60%) dan PTKS (40%). Sampai sekarang belum ketahuan berapa keuntungan yang diperoleh dari monopoli impor sejak 1984 tadi. Sepanjang 1987 saja, menurut koran The Asian Wall Street Journal terbitan S Juli 1989, tak kurang dari US$ 300 juta nilai impor yang dilakukan Giwang Selogam. Sedangkan KBP sendiri kabarnya telah membuka utang US$ 210 juta dari Bank Dagang Negara. Dana ini, menurut kalangan perbankan di Jakarta, sebagian dituangkan ke CRMI. Artinya, ini adalah indikasi kuat bahwa CRMI mengalami kesulitan keuangan dan permodalan yang cukup rawan. Pihak investor swasta CRMI, kabarnya, enggan menaruh modal tambahan untuk menyehatkan perusahaan. Sebab, bagaimanapun, utang yang dibuat CRMI, yang sudah harus mulai dicicil tahun depan, mesti dibayar. Mau tak mau Pemerintah, melalaui PTKS sebagai pemegang 40% saham CRMI, mesti turun tangan. Dana US$ 75 juta yang berasal dari bridging loan Bank Indonesia disuntikkan PTKS ke tubuh CRMI. "Karena ada suntikan dana baru, maka CRMI menerbitkan saham baru," kata Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo kepada Bambang Aji Setiaji dari TEMPO, pekan lalu. Pada Februari lampau, pihak CRMI tiba dengan usulan, antara lain, agar saham PTKS dinaikkan dari 40% menjadi 85%. CRMI dan KBP tetap berdiri sebagai badan hukum yang terpisah. Pinjaman yang dibuat tiap badan hukum ini akan dibayar dengan sistem offtake pricing yang berlaku sekarang. Pembayaran awal US$ 50 juta harus dibagi rata antara pinjaman dalam Eurodollar dan kredit ekspor. Kredit ekspor dari Prancis dan Spanyol perlu diundur jatuh temponya dalam tiga tahun, dan grace period tiga tahun sejak 1991. Sedangkan jatuh tempo dan tenggang pembayaran cicilan pinjaman dari Bank Dagang Negara mesti diperpanjang masing-masing selama tiga tahun. Setelah usulan ini diajukan, sejumlah perundingan dan usulan masuk dari Kelompok Penasihat Keuangan yang sengaja disewa Pemerintah, PTKS, dan First Pacific Bank. First Pacific Bank, yang berafiliasi dengan kelompok bisnis Liem di Hong Kong, mengusulkan tiga hal utama. Pertama, pabrik CRS itu disewakan saja kepada PTKS dengan tarif US$ 122 juta per tahun untuk masa 15 tahun. PTKS mula-mula harus membeli persediaan CRMI senilai US$ 157 juta, dan bahwa para pemegang saham swasta "menyerahkan" saham mereka dalam CRMI, dengan syarat bahwa mereka harus dibebaskan dari utang KBP yang sampai akhir Juni lalu mencapai US$ 263 juta. Butir pertama ini kontan ditolak PTKS. Karena dianggap terlalu mahal dan bisa menyebabkan CRMI terus-terusan dilanda kerugian selama masa sewa 15 tahun itu. Butir kedua usulan ini juga ditolak, lantaran CRMI beroperasi atas dasar mekanisme offtake pricing - PTKS harus membayar seluruh kebutuhan dananya, termasuk modal kerja. PTKS menerjemahkannya bahwa ia mesti membayar dua kali untuk hal yang sama. Demikian pula halnya dengan butir ketiga. Bila PTKS menerimanya, berarti ia mesti menanggung utang berjalan yang digantikannya dalam CRMI. Dan ini sama sekali tidak menguntungkan. Lagi pula, kalau PTKS juga harus menanggung utang KBP yang mencapai US$ 263 juta tadi, dan itu sama sekali tidak bakal mendatangkan penghasilan. Sedangkan usul dari Departemen Perindustrian mencatat, antara lain, bahwa PTKS bisa melakukan pengaturan dengan CRMI dalam hal produksi CRS. CRMI melulu bertindak sebagai pabrik yang menerima order dari PTKS, memilah baja tebal menjadi lembaran baja tipis, dan untuk itu memperoleh semacam uang jasa. Dan inilah yang disebut sebagai tolling arrangement dalam usulan itu. Dengan rancangan tersebut, maka modal kerja CRMI bisa ditekan, selain juga bisa menekan pajak pertambahan nilai. Begitu bunyi proposal Departemen Perindustrian. Namun, agaknya rapat-rapat yang menyangkut CRMI pekan-pekan ini akan mencapai kesepakatan lebih mendetail. Gambaran sementara menunjukkan, Pemerintah akan menjadi pemegang saham utama. Ada juga suara yang menduga-duga, boleh jadi 100% saham CRMI bakal pindah ke tangan Pemerintah. Kalau suntikan dana US$ 290 juta komplet bisa dilakukan, artinya saham Pemerintah bakal bergerak naik. Ada kemungkinan CRMI akan dimerjer alias digabungkan dengan perusahaan afiliasinya, KBP. Dan nama baru yang diusulkan adalah PT Cold Rolling Mill Indonesia Utama (CRMIU). Merjer ini sangat penting, karena bagaimanapun KBP telah menuang utang yang dibuatnya sebesar US$ 210 juta dari BDN ke CRMI. Sumber-sumber yang layak dipercaya mengemukakan bahwa Pemerintah bisa mengambil alih kredit ekspor CRMI dan meminjamkannya kembali kepada CRMI dengan kondisi yang sama. Dengan demikian, CRMIU bisa berutang lagi kepada para kreditur, dan mampu pinjam US$ 300 juta kepada bank-bank di dalam negen. Tungky Ariwibowo percaya, CRMI tak akan terus dirundung malang. Ia mengambil pengalaman PTKS, yang di akhir 1974 babak belur keuangannya, tapi kemudian bisa bangun lagi setelah diselamatkan oleh tim penyehatan krisis Pertamina dulu. Ia yakin, kelak produk CRMT bakal menjadi lebih murah dari CRS yang diimpor. "Pokoknya, CRMI adalah proyek jangka panjang," kata Tungky. Mudah-mudahan, persoalan yang melibatnya juga tak akan berkepanjangan.Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum