BANYAK pakar yang meragukan apakah Indonesia bisa memasuki era industrialisasi alias tinggal landas. Padahal, kita sudah bertekad bahwa industri yang akan dimasuki bukanlah terbatas pada impor pabrik-pabrik baja, mobil, kapal terbang. Sementara itu, Bank Dunia menganjurkan, untuk mengembangkan industri komoditi pertanian dan kehutanan karena itulah yang paling cocok. Apa saja itu? Contoh-contoh bermunculan. Kamis pekan silam ada dua pabrik kimia baru diresmikan Presiden Soeharto. Proyek pertama adalah adalah industri mengolah tetes tebu di Karanganyar, Jawa Tengah. Yang lain, pabrik arang aktif di Basirih, Banjarmasin. Kedua proyek itu ekaligus diresmikan Kamis pekan silam bersama empat pabrik pengolah hasil pertanian, yang baru diperluas. Pantas, bila Presiden sendiri yang meresmikan. Di samping investasinya besar menghabiskan Rp lO0 milyar - diperkirakan bisa menghemat devisa sekitar US$ 35 luta setahun. Bahkan bisa diekspor dan menghasilkan US$ 8,7 juta per tahun. PT Indo Acidatama Chemical Industry (PT IACI) merupakan proyek terbesar--investasinya Rp 48 milyar. Didirikan di Desa Kemiri, Jawa Tengah, IACI diperkuat oleh Sudwikatmono yang menduduki pimpinan dewan komisaris, sementara pada kursi dirut duduk Budi Mulyono. Tokoh ini juga yang merupakan pemegang saham terbesar. "Pabrik kami terbesar di Asia Tengara, malah mungkin di Asia," ujar Budi Mulyono, bangga. Istimewanya, menurut Preskom Sudwikatmono, pabrik berstatus PMDN ini merupakan produsen asam asetat dan etil asetat pertama di Asia. "Jelas prospek pasarnya juga bagus," ujar Sudwikatmono. PT IACI mempekerjakan karyawan sebanyak 230 orang, dengan dua tenaga ahli dari Jerman Barat. Industri ini menghasilkan gas etanol, spiritus, asam asetat, dan etil asetat. Produk tadi diekspor ke Jepang atas pesanan Toyo Menka dan Maruben untuk kebutuhan pabrik makanan-minuman, farmasi, dan pabrik cat. Bahan bakunya adalah tetes tebu. Produk sampingan industri gula ini, menurut Sofyan, seorang eksekutif dari PTP IX, sebenarnya sudah diekspor. "Tapi, demi keterkaitan industri dalam negeri, kami tentu akan mengutamakan penjualan ke pabrik nasional," ujarnya. Tak dijelaskan apakah untuk itu PTP akan ikut menyubsidi harga bahan baku kepada PT IACI. Tapi, menurut Budi Mulyono, "Sayang kalau kita tak bisa mengolahnya untuk mendapatkan nilai tambah lebih tinggi." Dewasa ini produksi tetes tebu Indonesia sekitar 1 juta ton, sedangkan IACI hanya membutuhkan sekitar 72.000 ton per tahun. Sejak beroperasi November 1988 sampai Juni lalu tetes tebu itu sudah meraup devisa US$ 4 juta. Tapi, berapa nilai tambahnya tak diungkapkan. Proyek kedua adalah PT Barito Murni Sakti Chemical (BMSC), yang termasuk kelompok perusahaan kayu terbesar, Barito Group. Dan boleh dibanggakan. "Siapa yang bisa membayangkan bahwa limbah kayu seperti serbuk gergaji ada manfaatnya yang besar? Kini serbuk itu bisa kita olah menjadi komoditi ekspor," kata Presiden Menurut keterangan Presdir BMSC Kristianto Hofker, pabrik yang mengolah serbuk gergaji menjadi arang aktif itu, investasinya relatif kecil: Rp 3,6 milyar. Berlokasi di Banjarmasin, PT Barito menampung 65 tenaga kerja, dan sudah meraup devisa sekitar US$ 1,2 juta setahun. Arang aktif in dibutuhkan antara lain oleh industri tekstil (untuk penyerap warna dan pemunculan warna kain) dan proses penyaringan air bersih. Selain kedua pabrik tadi, Presiden juga telah meresmikan perluasan empat pabrik penyedap masakan, yakni PT Palur Raya (Karanganyar), PT Hercules Mas Indonesia (Pandaan), PT Miwon Indonesia (Gresik), dan PT Sasana Inti (Probolinggo). Dua yang terakhir adalah PMA (Korea dan Jepang). Keempat pabrik vetsin itu ratarata masih mengincar pasar dalam negeri.Laporan Kastoyo Ramelan (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini