Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisnis Seks di Singapura
(judul asli: No Money, No Honey)
Penulis: David Brazil
Penerbit: Pustaka Primatama, Cetakan Pertama Juni 2005, 232 hlm + xiv
For all the women who
loosened theirs lips (only!)
and opened their hearts (only!)
for me
Kalimat di atas me-nunjukkan dedikasi seorang penulis untuk narasumber-pa-ra pelacur di Singa-pura. Sebuah ne-geri yang terkenal berdisiplin, bersih, dan steril, namun menyimpan sisi kelam tentang bisnis seks di kawasan lampu me-rah. Dari tingkat gu-rem sampai elite.
Ya, David Brazil-penulis buku asal London (juga wartawan), menetap di --Singa--pura sejak 1988-de--ngan lancar mengungkapkan kehidupan malam di negeri itu, sefasih ia membicarakan topik perjalanan, fashion, sepak bo-la, sejarah Singapura, sampai ma-kanan kari daging pada artikel majalah dan koran di sana.
Penulisan ini kaya desk research dan data di lapangan. Meng-ung-kap kehidupan yang sejak masa Stamford Raffles (1819-1823) men--duga akan me-narik perhatian kaum adam dari seluruh penjuru Asia. Baru pada 1898, ne-geri ini mulai dikenal de-ngan aktivitas mesum: ada 200 rumah bordil yang mempekerjakan 3.000 pekerja seks dari Tiongkok.
Prostitusi berlanjut sam-pai tahun 1930-an, ketika nama Malay Street po-puler sebagai kawasan mesum Negeri Singa. Setelah pe-rang, daerah itu berpin-dah ke daerah Selegie, Jalan Besar, Lavender, Bales, dan Desker Road. Dan pada 1959 mulai pindah ke bagian barat, dan Desker Road masih beroperasi hingga kini.
Kini, setidaknya ada 6.000 pekerja seks-belum termasuk angka tak resmi-menurut data badan dunia- yang menangani tenaga ker-ja dan kesehatan (ILO dan WHO). Pasokan penjaja cinta dari Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indo-nesia belum masuk hitungan. Pelacur Indonesia-asal Batam-terdapat di kawasan Geylang antara Lorong 10/12 dan sepanjang Talma Road. Sering kali, menurut David, mereka digerebek polisi susila.
Di sana hukum supply and demand, yakni ada penjaja dan ada pelanggan, cukup mempenga-ruhi tingginya angka pe-lacuran. -Data yang diambil dari penelitian tahun 1989 oleh Depar-temen Kesehatan --Si-nga-pura menunjukkan --satu dari sepuluh lelaki Si-ngapura (dari subyek 2.115 orang responden) pernah terlibat seks bebas, kategori berhubungan dengan orang tidak dikenal (pe-lacur).
Daerah lampu merah lain yang cukup dikenal adalah Geylang, Or-chard To-wers, Orchard Road, Desker -Road, Flanders Square, dan Keong Saik Road. Ini ter-ungkap dalam bab II, saat David me-neliti dari ber-bagai macam aspek industri bisnis seks di sana.
Pada bab III, sisi kisah nyata, David mewawancarai 12 wanita yang ter-libat dalam berbagai level, mulai ting-kat berkelas sampai kelas jalanan, misalnya di lorong gelap dengan ta-rif rendah. Deskripsi data pengadil-an juga diungkapkan, seperti uang ha-sil kerja yang dirampok pelanggan, pembunuhan, atau -per--kelahian karena rebutan pelanggan yang berujung di meja hijau. Promosi seks juga didukung iklan dari buku telepon yang dibuat biro teman kencan (escort agencies).
-Kendati prosti--tusi te-rang -ben--de-rang-mudah di-te-mu-kan se-ca-ra langsung-pe-me-rin-tah Si-nga-pura mem-be-ri tole-ran-si se-tengah ha-ti. Mereka me-nye--butnya ka-wasan tidak terjamah, "Di ma-na kami -mem--biarkan orang-orang se-perti itu -apa adanya," kata Mente-ri Senior Lee Kuan Yew kepada Newsweek pada tahun 2000. Ini diperkuat omonga-n Men-teri Perdagang-an dan Indus-tri, George Yeo, kepada Asiaweek, yang me-ngatakan mereka tidak mengiklan-kan prostitusi. "Tiap orang Si--ngapura tahu ada Ge-ylang dan apa yang terjadi di sana."
Kendati setengah hati, -pe--r--angkat hu-kum dan apa-rat kepolisian-namanya- -po-lisi susila-tetap melakukan pe-nang-kapan muncikari dan penjaja cinta. Di Geylang, pendapatan para muncikari bisa menca-pai Rp 16 juta-24 ju-ta sebu-lan. Namun, hukumannya sepa-dan bi-la tertangkap. Pada 1993, pernah ada yang dipenjara selama empat tahun lebih dan didenda ratus-an juta. Bahkan ibu rumah tangga yang membiarkan flat di Range Road dijadikan pertemuan para pelacur juga dihukum enam -bulan dan dikenai denda Rp 55 juta.
Dalam satu bagian khusus, pria ke-lahiran Dublin ini membahas pandang-an mengenai penyakit seksual yang di-hadapi para pelacur. Ini akibat ulah me-reka yang mau menerima seks tanpa pengaman. Pelacur asal Thai bahkan berani pasang harga lebih rendah dari pelacur lokal.
Buku yang laris manis di bandara Singapura (sekitar Rp 90 ribu) dan diterbitkan oleh Pustaka Primatama, mi-lik Pandu -Ganesa-Ke-tua Pa-guyub-an Karl May Indonesia-sempat di-tolak masuk se--buah toko bu-ku besar. Namun, tanpa pen-jelasan lisan maupun tertulis. "Kabar se-ca--ra -nonformal yang saya te-ri-ma, di-anggap -por--nogra-fi," ka-ta Pan-du, yang aktif mencari ta--hu kena-pa buku yang dicetak 3.000 eksemplar itu ditolak.
Belakangan, buku yang diberi pengantar oleh Bondan Winarno itu bisa dijual kembali-sempat terjual ha-nya be-berapa hari-mulai pekan depan. "Baru tadi (Selasa pekan lalu) saya diberi kabar, ada lampu -hijau," ujar Pandu, bernada gembira.
Kini buku negeri jiran itu bisa ber-san-ding de-ngan pro--duk lokal, yang juga menampilkan seks sebagai me-nu uta-ma tapi tentu beda ka-rena minimnya data dan riset.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo