Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menguntungkan pengusaha batu bara pemegang kontrak generasi pertama.
Perwakilan tujuh perusahaan hadir memenuhi undangan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot. Pertemuan di Hotel Santika, Gubeng, Surabaya, Jumat malam dua pekan lalu, itu membahas rancangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi. Draf aturan itu akan menjadi dasar kelanjutan operasi tambang tujuh perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang kontraknya segera berakhir.
Dalam rapat yang berlangsung sekitar dua jam itu, perwakilan PT Arutmin Indonesia mengusulkan periode perpanjangan kontrak langsung selama 20 tahun, bukan 2 x 10 tahun seperti konsep yang dipaparkan pemerintah. Perusahaan juga mendorong pemerintah agar segera menerbitkan aturan yang menjadi acuan kelanjutan operasi tambangnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia membenarkan ada pertemuan tersebut, meski ia tak hadir. “Itu khusus untuk PKP2B generasi I,” ujarnya, Rabu pekan lalu. Seorang pejabat yang mengikuti rapat itu bercerita, pemerintah menolak usul Arutmin.
Kementerian Energi telah beberapa kali mengadakan rapat membahas kelanjutan operasi tambang setelah PKP2B ber-akhir. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Heri Nurzaman, diskusi mengenai hal itu telah lama dilakukan. Kementerian mengundang pelaku usaha yang kontraknya akan habis.
Pemerintah mencatat ada tujuh perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang masuk kelompok tersebut. Selain Arutmin, PT Kaltim Prima Coal termasuk pemegang kontrak generasi pertama. Dua perusahaan ini dimiliki PT Bumi Resources- Tbk, kelompok bisnis Grup Bakrie.
Dalam informasi perusahaan, 6 November 2018, Bumi Resources menyatakan tengah menunggu keputusan pemerintah mengenai perpanjangan PKP2B milik Kaltim Prima dan Arutmin. Bumi berminat memperpanjang izin usaha kedua perusahaan dengan mengkonversi status dari PKP2B menjadi IUPK. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh izin selama 20 tahun ke depan.
Pemegang PKP2B generasi I lain yang juga segera berakhir adalah PT Tanito Harum, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.
Kementerian Energi telah merampungkan draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Rancangan itu akan menjadi acuan kelanjutan operasi tambang setelah kontrak PKP2B generasi I selesai. Bila disahkan nanti, dokumen itu merupakan perubahan keenam atas regulasi di sektor pertambangan.
Seorang pejabat mengatakan materi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tapi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku belum menerimanya. “Belum masuk ke saya,” ujarnya saat berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, Senin pekan lalu.
Poin utama perubahan yang diusung antara lain terkait dengan luas wilayah kerja. Pasal 112 draf ketentuan itu menyebutkan pemegang kontrak karya dan PKP2B yang ditandatangani sebelum pengesahan peraturan pemerintah tersebut dapat memiliki luas wilayah kontrak atau perjanjian sesuai dengan rencana kegiatan yang telah disetujui menteri sampai berakhirnya kontrak atau perjanjian, sebagaimana tertuang dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Berdasarkan kontrak karya dan PKP2B, luas wilayah kerja perusahaan mencapai puluhan ribu, bahkan ratusan ribu hektare. Padahal Undang-Undang Minerba hanya mengizinkan maksimal 15 ribu hektare. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara periode 2003-2008, Simon Sembiring, menjelaskan bahwa pemerintah menghormati kontrak karya dan PKP2B hingga berakhir. Tapi pasal 171 undang-undang itu mewajibkan perusahaan yang telah melakukan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi menyampaikan rencana kegiatannya hingga akhir kontrak atau perjanjian. Rencana kerja itu harus mendapat persetujuan pemerintah.
Simon mengatakan, bila rencana kegiatan tak memasukkan seluruh wilayah kerja, sisanya harus dikembalikan kepada pemerintah. Selanjutnya, area ini akan menjadi wilayah pencadangan negara. Tapi, kenyataannya, menurut Simon, “Tak ada perusahaan yang mengembalikan sisa wilayah kerjanya kepada negara.”
Senada dengan Simon, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara periode 2013-2015, Sukhyar, menyebutkan, setelah rezim kontrak karya dan PKP2B berakhir, pengelolaan tambang selanjutnya harus berbasis izin, yakni IUPK. Artinya, luas wilayah kerja juga harus sesuai dengan Undang-Undang Minerba, yaitu maksimal 15 ribu hektare. “Bukan berarti luas wilayah kerja yang disebut dalam rencana kegiatan berlaku selamanya,” ujar Sukhyar. Sisa wilayah kerja, ia menambahkan, harus dikembalikan kepada pemerintah.
Simon menambahkan, bila pemerintah mengacu pada rencana kegiatan perusahaan sebagai dasar penetapan luas wilayah kerja IUPK baru (setelah PKP2B berakhir), ada potensi menabrak Undang-Undang Minerba. Heri Nurzaman menampik hal itu. Ia meyakinkan bahwa pemerintah tidak menabrak undang-undang. “Tidak ada yang mewajibkan harus 15 ribu hektare. Tetap sesuai dengan perencanaan,” tuturnya, Jumat pekan lalu.
Adapun Sukhyar, yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang Minerba, menegaskan bahwa napas peraturan ini untuk membesarkan badan usaha milik negara. Karena itu, wilayah kerja yang telah berakhir kontraknya otomatis menjadi wilayah pencadangan negara. “Itu menjadi privilege BUMN dan BUMD,” katanya.
Poin penting lain dalam draf revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 menyangkut perpanjangan kontrak. Pemerintah mempercepat perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, yakni bisa diajukan paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum PKP2B berakhir. Ketentuan ini sama dengan yang berlaku di sektor mineral.
Sejumlah kalangan menilai, draf revisi peraturan pemerintah itu sarat lobi dan kepentingan pengusaha. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan pemerintah terlalu mengutamakan kepentingan kontraktor untuk mempertahankan dominasi pengelolaan tambang di Indonesia.
Hendra Sinadia membantah ada lobi-lobi pengusaha batu bara. Ia menegaskan, perusahaan membutuhkan kepastian hukum untuk kelanjutan operasi tambangnya. Apalagi, ia menambahkan, pemegang PKP2B generasi I, yang memasok sekitar 80 persen kebutuhan batu bara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), memiliki posisi strategis.
Ihwal lobi-lobi, juru bicara Bumi Resources, Dileep Srivastava, menolak berkomentar. “Terlalu dini untuk berspekulasi,” ucapnya, Jumat pekan lalu. Ia menyebutkan Bumi Resources menunggu keputusan pemerintah mengenai konversi PKP2B menjadi IUPK bagi Arutmin dan Kaltim Prima Coal. “Kami akan mengikuti regulasi.”
RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo