NAMA Barito Pacific tiba-tiba menjadi pembicaraan di Hong Kong. Jumat pekan lalu, sebuah koran berbahasa Inggris di sana, South China Morning Post (SCMP) menurunkan berita besar tentang perusahaan kayu milik taipan Prajogo Pangestu mempunyai tagihan tak tercatat (unrecorded claims) sekitar HK$ 1 milyar (sekitar Rp 260 milyar) di Bank of Credit and Commerce International (BCCI) cabang Hong Kong yang kini terancam bangkrut. SCMP memberitakan, Barito telah mengambil pinjaman sekitar Rp 150 milyar dari BCCI cabang Hong Kong dan Tokyo. Seperti diketahui, BCCI cabang Tokyo sudah dilikuidasi menyusul penutupan kantor cabang BCCI di banyak negara sejak Juni 1991 dan para likuidator kini tengah menagih piutang di BCCI Hong Kong. Ada kesan bahwa kredit BCCI Hong Kong kepada Barito telah melebihi batas tertinggi yang bisa diberikan untuk seorang nasabah (ketika itu ditentukan US$ 25 juta atau sekitar Rp 50 milyar) sehingga perlu ditutup oleh BCCI cabang Tokyo. Menurut seorang pejabat di Hong Kong, upaya seperti itu dianggap normal, sah, sesuai dengan prinsip bisnis murni. Kredit sebesar itu bisa saja diberikan kepada Barito yang mempunyai kekayaan bersih lebih dari US$ 2 milyar dan merupakan salah satu nasabah utama BCCI Hong Kong selama 8-9 tahun. Barito dikatakan membina hubungan bisnis yang luas di RRC. Kayu lapisnya banyak diekspor ke beberapa provinsi yang sedang tumbuh pesat di wilayah Cina bagian selatan. Ekspor tersebut berjalan lancar dengan fasilitas letter of credit (kredit bank untuk eksportir yang cair begitu barangnya dikapalkan) BCCI Hong Kong. Selain mempunyai utang, Barito kabarnya juga memiliki tagihan di BCCI Hong Kong dan Tokyo. Soalnya, perusahaan ini dua tahun lalu dikatakan telah membeli surat berharga yang dikeluarkan BCCI di kantor pusatnya di Luksemburg dengan suku bunga mengambang. Surat berharga yang dibeli Barito bernilai sekitar Rp 110 milyar dan menawarkan bunga yang lebih menarik daripada deposito biasa. Ketika itu BCCI, yang mempunyai cabang di banyak negara, masih dipandang sebagai bank kuat dan reputasinya cukup baik. Di Jakarta pun, BBCI mempunyai kantor perwakilan. Setelah para penguasa moneter di Eropa membekukan BCCI di Luksemburg serta sejumlah cabangnya karena terbukti melakukan banyak penipuan dan pencucian uang (money laundering), rasa panik melanda nasabah BCCI di beberapa negara, khususnya di Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat. Juni 1991, hampir semua nasabah BCCI, kecuali di Pakistan, berbondong-bondong menarik simpanannya. Suatu keistimewaan terjadi di BCCI Hong Kong. Pemerintah kolonial Inggris juga bermaksud membekukan kantor BCCI di sana. Jika pengadilan memutuskan BCCI Hong Kong bangkrut, tim yang hendak melakukan likuidasi itu berjanji akan membayar 75% dari semua simpanan masyarakat di situ. Untuk tahap pertama dibayar 25% sedangkan yang 50% lagi akan dibayar jika semua kredit BCCI sudah bisa ditarik kembali. Tapi 40.000 nasabah Hong Kong yang mempunyai simpanan di situ menentang likuidasi tersebut. Sebab ada beberapa bank yang bersedia mengambil alih BCCI Hong Kong. Setelah melalui suatu tender tertutup, option pengambilalihan itu dimenangkan Hongkong Chinese Bank (HCB) akhir Oktober 1991. HCB, yang merupakan bank patungan milik Lippo Group dan pemerintah RRC di Hong Kong, menawarkan tebusan paling tinggi untuk para penabung. Untuk simpanan sampai HK$ 100.000 akan ditebus 100% sedangkan simpanan lebih dari itu akan ditebus 85%. Pembayarannya dilakukan secara bertahap selama tiga tahu. Tapi setelah pihak HCB membalik-balik administrasi BCCI Hong Kong ternyata ditemukan banyak keganjilan. Semula, seperti pernah dikatakan eksekutif dari Lippo Group, Roy E. Tirtadji kepada TEMPO, kekayaan BCCI Hong Kong sekitar HK$ 6 milyar cukup untuk menutup seluruh utang yang tercatat tak sampai HK$ 6 milyar. Namun, pertengahan Desember, berdatangan sejumlah tagihan besar yang tidak tercatat. Menurut koran ekonomi Amerika terbitan Hong Kong, The Asian Wall Street Journal (edisi 21 Februari 1992), mulamula datang tagihan sebesar HK$ 430 juta dari nasabah di luar Hong Kong. Menyusul tagihan sebesar HK$ 580 juta dari BCCI Tokyo, HK$ 125 juta dari Luksemburg, HK$ 85 juta dari London, HK$ 570 juta dari San Fransisco, HK$ 31 juta dari New York, dan HK$ 275 juta dari Kepulauan Cayman. Total hampir HK$ 2.100 juta atau Rp 500 milyar. Tak mengherankan jika pihak Lippo Group memutuskan untuk mengundurkan diri. Noel Gleeson, likuidator yang ditunjuk pemerintah Hong Kong untuk menangani kasus BCCI, menyatakan, adanya tagihan begitu besar dan kemungkinan bahwa tagihan-tagihan baru akan terus berdatangan mendorong pihak Lippo Group untuk mundur. "Dalam keadaan seperti ini, saya kira tak banyak yang bisa kami lakukan," kata Direktur Lippo Hong Kong J.P. Lee, seperti dikutip Asian Wall Street. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah konperensi pers Rabu pekan silam. Namun, bila BCCI Abu Dhabi bisa menawarkan jaminan keuangn yang baru, Lippo mungkin bersedia lagi merundingkan pengambilalihan BCCI Hong Kong. Yang tidak kurang menarik: sekitar separuh dari tagihan-tagihan raksasa itu (senilai HK$ 1,01 milyar), menurut berita harian SCMP, merupakan tagihan Barito Pacific. Koran ini mengatakan, adalah ironis bahwa usaha penyelamatan BCCI Hong Kong oleh Lippo Group digagalkan oleh pihak Barito Pacific. Tapi benarkah demikian? Sabtu lalu, dua eksekutif dari Barito Pacific menegaskan kepada TEMPO bahwa tudingan itu tidak benar. "Pengkaitan Barito dengan Lippo di BCCI Hong Kong itu sama sekali tidak beralasan. Soal Lippo itu di luar keperluan kami," kata sumber yang tak mau disebut namanya. "Jika tagihan kami sampai HK$ 1,01 milyar, itu jumlahnya luar biasa," ujar eksekutif Barito tadi. Sebegitu jauh, beritaberita terakhir mengenai BCCI Hong Kong memang terkesan simpangsiur. SCMP bilang, tagihan itu dari satu perusahan saja sedangkan koran Asian Wall Street menyatakan tagihan itu datang dari mana-mana. Kedua eksekutif itu mengakui bahwa Barito membina hubungan bisnis dengan BCCI Hong Kong sejak akhir 1985 -- berarti sejak tujuh tahun lalu. "Mula-mula kami mendapat LC. Tak besar jumlahnya, tapi kemudian terus berkembang. Dalam hubungan bisnis yang cukup lama seperti itu, tak benar kalau dikatakan ada klaim Barito yang tidak tercatat," tutur sumber dari Barito. Keterangan ini sangat masuk akal. Sumber TEMPO tersebut menambahkan, semua transaksi didukung oleh bukti-bukti yang bersifat legal, normal, mengikuti prinsip-prinsip bisnis. Kalau ada kewajiban pada Barito yang jatuh tempo akan dilunasi. Manakala tagihan sudah saatnya, Barito akan menagih. "Kami mempunyai file delapan kotak besar penuh," ujar eksekutif Barito yang bicaranya tenang tapi sungguh-sungguh ini. Berapa utang dan kewajiban Barito di BCCI Hong Kong, eksekutif tadi menegaskan bahwa itu adalah rahasia perbankan. Angka-angka yang dikemukakan oleh SCMP, menurut eksekutif itu, tidak benar namun tak akan ditanggapi. "Nanti malah tambah ramai. Kita tunggu saja bagaimana keputusan pengadilan," katanya. Sementara itu, likuidator Noel Gleeson menegaskan bahwa dalam sidang pengadilan mendatang, direncanakan 2 Maret nanti, dia akan merokemendasikan agar BCCI Hong Kong dilikuidasi saja. Gleeson juga berjanji bahwa para nasabah akan memperoleh kembali 75% dari simpanan mereka di bank itu. Tak jelas apakah Barito Pacific -- dengan utang dan tagihannya -- masih mempunyai sisa simpanan di sana. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini