Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siapa menyusul pertamina?

Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa jatuh tempo sertifikat bank indonesia milik bumn. tapi, bumn masih punya peluang mencairkan sebagian miliknya. salah satunya oleh pertamina.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH telah memutuskan untuk memperpanjang (rollover) masa jatuh tempo Sertifikat Bank Indonesia (SBI) milik BUMN. Berita yang merupakan antiklimaks ini, dikemukakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin di depan rapat kerja DPR, pekan silam. Sedianya, SBI BUMN itu jatuh tempo 21 Februari berselang. Dan Sumarlin pernah menyatakan, bahwa dana tersebut akan dikembalikan, malah juga bisa disalurkan ke bank-bank swasta. "Masalah ini akan dibahas dengan sangat hati-hati," ujar Menteri yang tampaknya khawatir bahwa pencairan dana BUMN yang jumlahnya Rp 6,2 trilyun bisa mengganggu stabilitas moneter. Belakangan agaknya kekhawatiran itu semakin dominan, hingga diputuskan untuk rollover saja. Padahal secara umum kekhawatiran itu tampak kurang beralasan, karena Gubernur BI Adrianus Mooy dalam Banker's Dinner pekan lalu menyatakan, bahwa Indonesia akan mampu mempertahankan laju pertumbuhannnya tahun ini. Selain itu Mooy optimistis bahwa laju inflasi dan tingkat bunga akan menurun, serta neraca pembayaran akan lebih mantap. Terlepas dari sinyal-sinyal yang tidak paralel itu, akhirnya pihak BUMN dihadapkan pada keputusan bahwa SBI BUMN tak jadi cair. Namun vonis ini ternyata masih menyediakan celah-celah tertentu yang memungkinkan pihak BUMN memperoleh sebagian dari dana milik mereka, asalkan memang untuk keperluan mendesak. Adalah Pertamina, yang pertama kali memanfaatkan peluang itu dan Sabtu pekan silam bahkan sudah mendapat persetujuan dari Sumarlin. Sebagian dana milik Pertamina yang boleh dicairkan akan digunakan untuk meringankan beban yang mejadi kewajiban BUMN tersebut. Dirut Pertamina Faisal Abdaoe pernah menyatakan kepada TEMPO, bahwa BUMN yang dipimpinnnya memerlukan dana untuk memenuhi beberapa kewajiban, termasuk membayar pajak. Dana yang disetujui untuk ditarik itu jumlahnya sekitar Rp 0,5 trilyun, atau sepertiga dari seluruh dana milik Pertamina yang disimpan dalam bentuk SBI. Menurut Menteri Sumarlin, persetujuan untuk pencairan dana BUMN antara lain tergantung pada penggunaannya dan cash flow (arus uang) BUMN yang bersangkutan. Di samping itu, tingkat inflasi serta neraca pembayaran juga menjadi pertimbangan pemerintah. "Jika SBI yang dicairkan nantinya akan didepositokan ke bank-bank, ya, akan ditolak,' kata Menteri lagi. Tampak benar bahwa pemerintah sangat hati-hati. Mengapa? Mungkin karena selama ini banyak BUMN yang nakal. Misalnya, jika perusahaan negara itu tidak memperoleh bunga yang dikehendaki (biasanya di atas bunga pasar), maka depositonya akan segera dipindahkan ke bank lain. Dan ini sering terjadi. Kalau dibiarkan, tidak mustahil ada penghasilan bunga BUMN yang menguap entah kemana. Bukan hanya itu. Upaya pemerintah untuk menurunkan suku bunga juga akan sulit. Sikap hati-hati pemerintah ini agaknya berangkat dari perkiraan, jika SBI BUMN dicairkan maka inflasi dan spekulasi valuta asing dikhawatirkaan akan memanas kembali. Padahal, karena inflasi dan spekulasi pula, Februari tahun lalu Sumarlin terpaksa "menggebrak" dengan menarik Rp 8,3 trilyun deposito 12 BUMN di bank-bank. Dana itu kemudian dikerangkeng dalam SBI di Bank Indonesia. Dari deposito 12 BUMN itu, Pertamina memiliki simpanan Rp 1,5 trilyun. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa hanya SBI Pertamina saja yang boleh cair. Seakan-akan hanya Pertamina sendiri yang butuh, sedangkan BUMN lain tidak. Setelah ditelusuri lebih jauh, Pertamina rupanya memang sedang sulit. BUMN ini tidak saja perlu uang untuk membayar pajak, tapi juga untuk membiayai beberapa investasinya yang tertunda akibat terkena ketentuan Tim Pengendalian Kredit Luar Negeri (PKLN). Tak mustahil, Pertamina juga perlu uang untuk membiayai pengacaranya dalam kasus Haji Achmad Thahir di Singapura yang kini sedang disidangkan di pengadilan Singapura. Bagaimana dengan BUMN-BUMN lain yang relatif tidak sekaya Pertamina? Kendati uang masih ketat, BUMN-BUMN lain tampaknya masih likuid. Seperti dikatakan Direktur Pengawasan BUMN, Fuad Bawazir, selain Pertamina, hingga kini Departemen Keuangan belum menerima permintaan penarikan dana dari BUMN yang lain. Mungkin karena dana mereka tidak sebesar kepunyaan Pertamina dan benar-benar dana nganggur. BUMN potensial yang dananya juga ditarik pemerintah adalah PT Taspen. Deposito Taspen yang dijadikan SBI hanya Rp 370 milyar. Dan itupun merupakan uang bebas, di luar dana milik Yayasan Dana Pensiun Astek serta dana pengembangan koperasi dan pengusaha kecil. Bahkan Desember tahun lalu Taspen masih bisa membeli saham Bukaka senilai Rpp 25 milyar lebih. Dalam kata lain, Taspen memang belum kering benar. Sebenarnya bukan tidak ada BUMN yang menarik dananya. Dari dana BUMN yang dikerangkeng pemerintah (Rp 8,3 trilyun), dalam jangka setahun jumlahnya menciut jadi Rp 6,2 trilyun. Ini berarti, sekitar Rp 2 trilyun telah ditarik oleh pemiliknya. Boleh jadi sebagian dana BUMN yang ditarik itu merupakan dana proyek dari pinjaman lunak Bank Dunia atau ADB, yang ketika penarikan itu tertunda pelaksanaanya. Terlepas dari penarikan dana BUMN tadi, sikap pemerintah ini merupakan pukulan bagi bank pemerintah yang selama ini mengandalkan dana BUMN sebagai salah satu kekuatan utamanya. Di samping itu, sekaligus mematahkan harapan bank swasta yang sudah sejak lama diming-imingi akan memperoleh deposoito milik BUMN juga. Di pihak lain ada pengamat ekonomi yang menafsirkan keputusan untuk rollover SBI BUMN tersebut, sebagai perlakuan tidak fair. "Mereka (maksudnya BUMN) perlu otoritas lebih besar. Kalau begitu buat apa BUMN diizinkan go public?" Dalam nada yang lebih prihatin ia bahkan memperoleh kesan, bahwa semangat deregulasi mulai memudar. "Kelihatannya mereka mau status quo," katanya sedikit menyindir. Bambang Aji dan Iwan Qodar Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus