Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjual panen ke Pasar Digital

Melalui e-commerce, produk petani menjadi basis produksi perusahaan besar. Dengan mengurangi rantai pasok, pasar lebih lebar.

27 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWIAS Anandita bersantai menemani tiga anaknya bermain di dalam rumah di Wido Martani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Hujan yang mengguyur Yogyakarta sepanjang pekan memaksanya menunda jadwal produksi beras hitam. Gabah hasil panen hanya diangin-anginkan di emperan. "Tidak bisa menjemur," kata pemilik toko online Pondok Alam itu kepada Tempo, Kamis siang pekan lalu.

Dwias salah satu dari sedikit petani yang membudidayakan beras hitam organik. Awalnya itu hanya pekerjaan sambilan. Pria 37 tahun ini kemudian memutuskan keluar dari pekerjaannya di sektor konstruksi setelah ia memulai bisnis bersama istrinya. Bermodal Rp 25 ribu untuk membeli bibit, omzet usahanya kini mencapai ratusan juta rupiah.

Panen perdana beras hitam ia pasarkan door to door sambil menyebarkan brosur sederhana. Untuk memperluas pasar, Dwias memanfaatkan Internet dengan cara memasang iklan gratis dan ikut sejumlah mailing list. Sekarang dia punya situs dan lapak online sendiri. Produknya juga mudah ditemukan di media sosial Instagram dan Facebook serta toko online Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak.

Saat Dwias baru memulai pada 2009, e-commerce belum setenar seperti sekarang. Tapi ia yakin prospek beras hitam bagus karena tren masyarakat menjaga pola hidup sehat terus meningkat. Apalagi, menurut dia, beras hitam bermanfaat menetralisasi kandungan gula dan kadar kolesterol dalam darah serta mempercepat regenerasi sel tubuh.

Meski pasar organik kecil, harganya relatif lebih mahal ketimbang produk pangan lain. Skala bisnis Dwias semakin stabil dengan rata-rata penjualan 25-30 ton per tahun. Omzetnya terbilang lumayan karena satu jenis produk mencapai Rp 25 ribu per kilogram.

Tak hanya menanam dan menjual, Dwias juga mengembangkan produk turunan berupa tepung dan wedang beras hitam organik. Total ada 16 jenis produk pertanian di toko online miliknya. "Semua dijamin organik," ujarnya.

Berkat ketekunan dan keseriusannya berkampanye tentang manfaat beras hitam, produk Dwias kini mulai dikenal. Di dunia maya, pelanggannya telah menjangkau seluruh Nusantara. Ia juga mulai menjajal pasar ekspor ke Malaysia, negara-negara Eropa, dan Australia. "Ada banyak permintaan dari luar, tapi masih saya pelajari teknis perizinannya," kata Dwias.

Dodih, petani sayur mayur di Lembang, Jawa Barat, juga merasakan manfaat toko tani digital. Sebagai sarjana teknik mesin, ia melek Internet. Dengan modal itu, Dodih membentuk Gabungan Kelompok Tani Lembang Agro. Ia membawa kelompok tani tersebut go online.

Selama ini nasib petani di desa Dodih tidak jelas. "Tidak jelas mau tanam apa, tidak jelas pasarnya ke mana, tidak jelas harganya, dan tidak jelas untung-ruginya," ujarnya Selasa pekan lalu. Itu sebabnya, sejak kecil Dodih tak pernah berpikir menjadi petani.

Sikap Dodih berubah ketika bekerja di bagian riset dan pengembangan PT LG Indotech Cikarang, Jawa Barat, pada 2005-2008. Bisnis pertanian, kata dia, adalah bisnis yang tak akan lekang oleh waktu.

Namun, agar menguntungkan, pertanian harus dikelola dengan pola industri. "Artinya harus nyambung hulu hingga hilir," ucap Dodih. Dengan begitu, produk pertanian tidak kalah dengan industri yang memiliki nilai tinggi.

Sejumlah prasyarat harus dipenuhi petani, di antaranya paham apa yang akan ditanam, kapan hendak menanam, berapa jumlahnya, bagaimana sistem tanamnya, dan di mana pasarnya. Semua itu, kata Dodih, ditopang oleh akses informasi. "Petani harus melek IT (teknologi informasi) dan update informasi," ujarnya.

Dodih pertama kali menanam sayur letusen atau selada ungu pada 2008. Letusen, menurut dia, punya nilai jual tinggi karena masih diimpor. Dengan sistem tanam modern, dari seperempat hektare lahan, Dodih panen 2,5-3 ton letusen. "Tapi, begitu panen, kok tidak laku," katanya. Padahal harga saat itu cukup tinggi, sekitar Rp 30 ribu per kilogram.

Setelah Dodih mencari-cari informasi, ternyata bandar menutup akses ke pasar. Karena memonopoli informasi, tengkulak di kampungnya mudah mengatakan tidak ada permintaan.

Dodih akhirnya mencari penjual sendiri, dan bertemu dengan pihak PT Saung Nirwan. Perusahaan ini kebetulan membutuhkan selada ungu untuk diekspor ke Singapura. Dari situ, ia menjalin kontak dan berani membuat kontrak kerja sama.

Karena tuntutan pasokan harus kontinu, Dodih menggandeng petani di desanya menanam selada. Kini anggotanya mencapai 160 orang, dengan total luas lahan mencapai 100-an hektare. Untuk menyebarkan informasi seputar kegiatan kelompoknya, Dodih membentuk tim IT untuk mengoperasikan situs web sejak lima tahun lalu.

Sejak itu, pundi-pundi petani sayur Lembang Agro berlipat ganda. Omzetnya mencapai sekitar Rp 300 juta per bulan. Mereka semakin dikenal dan dicari pembeli, termasuk dari luar negeri. Sejumlah perusahaan bahkan telah menjadikan Lembang Agro sebagai basis produksinya, di antaranya PT Pizza Hut Indonesia, PT Alamanda (eksportir), dan PT Amazing Pump Supermarket.

Tak hanya menanam letusen, Dodih bersama rekannya juga menanam zukini (mentimun Jepang), tomat, bawang daun, buncis, paprika, kacang Kenya, dan cabai. Atas permintaan satu perusahaan, Dodih mulai mencoba menanam bawang bombay. Pola kerja sama ini, menurut dia, menguntungkan kedua pihak. Kontinuitas pasokan konsumen terjamin. Sebaliknya, petani mendapat kepastian jual dengan harga stabil.

Hal yang sama dilakukan Dudi Krisnandi, petani kelor dari Blora, Jawa Tengah. Berawal dari Facebook, ia mengelola sebuah laman sebagai pusat informasi dan pengembangan kelor di Indonesia. Ia juga membuat laman lain sebagai toko online.

Dengan merek Kelorina—akronim dari kelor Indonesia—produk Dudi telah merambah pasar luar negeri dengan omzet miliaran rupiah. Bulan lalu, ia bahkan dinobatkan sebagai Moringa Ambassador Malaysia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengkampanyekan kelor untuk mengatasi malnutrisi. "Awalnya saya tidak ada niat berbisnis, tapi memberdayakan masyarakat sekitar hutan," ujarnya.

Di Blora, Dudi mengelola 3 hektare kebun inti dan 16 hektare lahan petani binaan. Ia juga membina petani di Nusa Tenggara Timur dengan lahan seluas 400 hektare. Setiap bulan, ia menjual 1 ton daun kelor ke pelanggan dalam negeri dan 5 ton buat pasar ekspor. Kelorina mengembangkan beragam produk turunan, dari teh celup kelor hingga sabun dan produk kecantikan.

Ketua Bidang Akses Pasar dan Jaringan Usaha UMKM Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rifda Amarina mengatakan pasar produk pertanian secara digital menjadi tren di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia. Go online farming ini, kata dia, akan menjawab masalah bertahun-tahun di Indonesia. Salah satunya harga pangan yang tidak terukur kapan naik dan turunnya. Contohnya gejolak harga bawang dan cabai.

Rantai pasok yang panjang, menurut Rifda, membuat harga mahal dan mudah dipermainkan pedagang. Selama ini produk dari petani kecil dibeli pengepul. Setelah itu dibeli pedagang besar, lalu turun ke pedagang pasar, asongan, dan ke konsumen. "Separuh masalah tata niaga bisa dipotong di pasar digital," ucapnya Kamis pekan lalu.

Beragam platform bisnis online muncul. Ada yang lewat media sosial, seperti WhatsApp dan Instagram. Ratusan startup bisnis agro lahir memanfaatkan media sosial dan beragam bentuk marketplace serta agregator, termasuk aplikasi tani yang diinisiasi pemerintah.

Salah satunya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ia meluncurkan Aplikasi Petani Jateng. Pemerintah pusat juga mengenalkan aplikasi LimaKilo.id dan TaniHub. "Aplikasi mobile akan meningkatkan penghasilan petani," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, beberapa waktu lalu.

Sayangnya, menurut Rifda, pasar pertanian digital di Indonesia belum ada yang cukup andal. Ada risiko lain menyangkut kegagalan pasar karena kurangnya infrastruktur pendukung, handling dari petani yang masih ala kadarnya, dan jalur logistik yang mahal.

Agus Supriyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus