Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATELIT itu berdiri anggun di ruangan setinggi 20-an meter. Lebar ruangan itu tiga kali lapangan basket. Di sekeliling ruang, melekat ribuan segitiga putih terbuat dari busa. Di depan satelit, menempel sebuah panel kaca raksasa. "Itu reflektor," kata Philippe Breton, Kepala Pengujian Satelit Thales Alenia Space (TAS), Prancis, Jumat tiga pekan lalu.
Breton menemani Tempo dan beberapa wartawan Indonesia masuk ke ruang yang "sunyi sepi" itu. Ruang uji antena satelit ini salah satu ruang yang paling tertutup di Thales Alenia Space, pabrik pembuat satelit terkemuka di Eropa. Tak sembarang orang boleh masuk ke sana.
Manajer Komunikasi TAS Sabrine Sandrine Bielecki sebelumnya mengatakan hanya akan mengantar kami ke beberapa ruang pembuatan satelit. Dia mewanti-wanti tidak boleh mengambil foto. "Kecuali dapat izin dari saya," katanya. Belakangan, ia mengizinkan kami melongok ke ruang uji. "Ini surprise," ujarnya.
Pabrik seluas 18 ribu meter persegi ini terletak di pinggir Laut Mediterania, Cannes. Berdiri resmi sekitar 16 tahun silam, Thales memproduksi sejumlah teknologi canggih, seperti satelit dan segala infrastruktur yang berkaitan dengan ruang angkasa. Di pabrik ini, Thales mengantongi saham 67 persen. Sisanya dimiliki Leonardo.
Satelit yang diproduksi beragam. Tak hanya membuat satelit komunikasi seperti yang dipesan PT Telkom Indonesia, pabrik ini juga memproduksi satelit cuaca, perekam segala macam habitat di dalam laut, dan satelit untuk keperluan pertahanan. Telkom 3S, satelit berbobot 3,5 ton yang dipesan PT Telkom, merupakan satelit ke-146 yang dibuat Thales Alenia Space. Perusahaan Indonesia lain yang pernah memesan satelit dari Thales Alenia adalah PT Indosat, yakni satelit Palapa D, yang diorbitkan pada 2009.
TAS memiliki sejumlah pabrik yang tersebar di sembilan negara, antara lain Belgia, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris. Mereka memproduksi bagian-bagian satelit. Setelah itu, bagian satelit ini dikirim ke pabrik Thales di Cannes untuk digabungkan. Sejumlah pengetesan ulang dan uji coba dilakukan di Cannes sebelum satelit diangkut ke Guyana—negeri bekas jajahan Prancis—di Amerika Selatan, untuk diluncurkan ke angkasa.
Sedikitnya, ada 2.000 orang bekerja dalam dua giliran (06.00-15.00 dan 15.00-21.00) di pabrik TAS, Cannes. Mereka bekerja dalam diam. "Dari dalam gedung ini kita tidak bisa menelepon ke luar. Mungkin sinyal sudah diblokir," kata Angga Risnando, insinyur Telkom yang selama 18 bulan magang di pabrik satelit itu.
Para pemesan satelit Thales tidak hanya berasal dari negara-negara Eropa, seperti Jerman atau Inggris, tapi juga dari luar Eropa, seperti Korea Selatan dan Brasil. Satelit tersebut dibuat rata-rata sekitar tiga tahun setelah penandatanganan kontrak.
Jumat lalu itu, di ruang uji coba, Philippe Breton menjelaskan bagaimana cara kerja pengujian antena satelit dan fungsi busa-busa lancip putih yang menempel rapat di seluruh dinding ruang. Saat semua perangkat difungsikan, satelit tersebut akan mengirimkan sinyal, yang kemudian memancar dan "ditangkap" oleh busa-busa segitiga dan reflektor di sana. Sinyal itu lantas dipantulkan kembali.
Bentuk segitiga, secara fungsional, membuat penangkapan dan penerusan gelombang yang dikirim antena satelit bekerja maksimal. "Saat pengujian, semua kondisi seperti di ruang angkasa, tidak ada seorang pun di dalam ruangan," tutur Breton. Pengujian dilakukan berjam-jam dan berulang-ulang, bahkan pada hari Minggu. Jika pengujian ini beres alias semua sistem perangkatnya bekerja sempurna, satelit dinyatakan layak "dilempar" ke orbit, menjalankan misi menurut fungsinya.
Lestantya R. Baskoro (Cannes, Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo